15. HAL MENYAKITKAN

1913 Kata
Andrea baru saja keluar dari toilet untuk buang air kecil. Dibantu oleh Laila, ia kembali berbaring di tempat tidur. Hari kedua dirawat, kondisinya sudah mulai membaik. Nafsu makannya sudah normal dan pusingnya sudah hilang. Namun dokter masih perlu memantau perkembangannya dan diminta untuk beristirahat dulu. Ada kemungkinan besok atau lusa ia sudah boleh pulang. “Kamu mau makan sesuatu?” tanya Laila. Andrea menggeleng. “Enggak Tan. Terima kasih.” “Kalau lapar, Tante sudah belikan kamu cake rasa coklat. Siapa tahu kamu pingin.” “Iya, nanti saja,” jawab Andrea lemah. “Tante, kondisiku sudah membaik. Kalau Tante mau pulang, enggak apa-apa kok.” Laila tersenyum, lalu menyentuh tangan Andrea. “Kamu pasti kurang nyaman ya, kalau Tante ada di sini?” “Enggak, bukan begitu. Tante bilang kalau papa juga kurang enak badan, jadi sebaiknya temani papa di rumah.” “Iya Andrea. Tante datang ke sini juga atas keinginan papa kamu, selain karena Tante mau tahu kondisi kamu. Sekarang Tante lega karena kamu sudah membaik.” “Aku sangat menghargai kebaikan Tante.” “Iya Re.” Saat Laila sudah pulang, kini Andrea hanya seorang diri di kamar. Ia beranjak dari tempat tidur, untuk mengambil ponselnya yang sudah selesai diisi daya. Disaat yang bersamaan, ia mendengar suara pintu diketuk. Andrea menoleh, melihat siapa yang akan masuk ke kamar tempatnya di rawat. Wajah Andrea tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya, saat melihat seseorang yang tidak terduga datang ke ruangan itu. Laki-laki yang selama ini memiliki sikap dingin dan keras, tengah berjalan masuk. Tidak itu saja, di tangannya juga membawa parsel berisi aneka buah, yang terbungkus cantik dan rapi. “Pak Naka?” “Selamat siang,” ucap Naka kaku. Andrea hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat. “Pak Naka kenapa di sini?” “Saya sedang menjenguk kamu. Buat apa lagi?” “Oh? Silakan duduk Pak.” Naka meletakkan buah tangan yang ia bawa, di atas meja. “Santai saja. Kamu berbaring saja.” Akhirnya Andrea kembali ke tempat tidur, sedangkan Naka duduk di kursi yang ada di sebelah Andrea. Suasana mendadak sunyi dan canggung. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan. “Kamu ….Bagaimana keadaannya? Dokter bilang kamu sakit apa?” “Dokter bilang saya kelelahan. Selain itu, tekanan darah saya rendah, makanya sering pusing,” jawab Andrea. Naka mengangguk pelan. “Sepertinya ini gara-gara saya karena kamu sering lembur, makanya sampai kelelahan.” “Tidak Pak. Mungkin memang waktunya sakit.” “Mana ada hal seperti itu. Selain banyak pekerjaan, mungkin ada faktor lain juga yang menyebabkan kamu sakit,” ucap Naka. Matanya masih terus menatap Andrea yang sesekali terlihat menunduk. “Saya …Saya minta maaf karena menyuruh kamu bekerja sampai melewati batas jam kerja semestinya.” “I-Iya Pak Naka. Saya tidak mempermasalahkan itu. Yang penting sekarang kondisi saya sudah membaik.” Andrea benar-benar tidak paham mengenai apa yang terjadi pada Naka. Datang menjenguk dan minta maaf. Ia pikir laki-laki itu tidak akan peduli terhadap keadaannya karena sejak kemarin, tidak sekali pun menghubunginya sekadar menanyakan kabar. “Apa saya mengganggu waktu istirahat kamu?” “Tidak Pak Naka,” jawabnya. “Maaf Pak Naka karena sudah merepotkan anda. Harusnya anda tidak usah menjenguk, karena saya tahu anda sangat sibuk.” “Iya. Makanya kamu harus cepat sembuh agar bisa bekerja. Tugas kamu banyak, tidak ada yang menyelesaikan.” “Mungkin lusa saya sudah bisa bekerja Pak.” Wajah Naka mendadak panik. “Tidak perlu secepat itu. Kalau dokter mengharuskan kamu istirahat sepulang dari rumah sakit, lakukan saja. Saya tidak mau kamu pingsan dan menimbulkan masalah seperti waktu itu.” Sontak Andrea ingat dengan insiden tersiramnya laptop milik laki-laki di sebelahnya. “Pak Naka, soal kejadian itu. Saya akan perbaiki laptop milik Pak Naka. Saya usahakan tidak ada kerusakan yang parah dan tetap berfungsi seperti sedia kala.” Naka mengibaskan tangannya. “Sudah nanti saja, jangan bahas soal itu sekarang. Yang ada kamu makin tertekan dan lama sembuhnya.” “Baik Pak,” jawab Andrea. “Pak Naka sudah makan siang?” “Sudah.” Andrea tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Semua hal yang ada di kepalanya, yang bisa dikeluarkan sebagai topik pembicaraan, menguap begitu saja. Ia tidak pernah berada di dalam situasi secanggung ini. Berduaan bersama Naka yang biasa dengan sikap keras dan galak, kini justru kalem dan pendiam. Tiba-tiba di tengah suasana sunyi, Andrea merasa haus. Ia mencoba untuk bangun dari posisi tidur untuk mengambil air yang ada di meja sebelah tempat tidur. Hal ini pun menarik perhatian Naka. “Kamu mau ke mana?” “Saya mau ambil air, Pak.” Naka langsung bergegas membantu Andrea bangun dengan cara memegang tangan wanita itu. “Biar saya bantu.” “Terima kasih.” Tubuh Andrea terasa kaku saat disentuh oleh bosnya. Dengan sigap Naka juga membantu Andrea mengambil air. “Ini airnya.” Andrea mengangguk, sembari menerima gelas tersebut. Diteguknya air dengan pelan agar tidak tersedak. Tidak lucu jika hal itu terjadi di hadapan Naka. Setelah selesai, gelas tersebut kembali diambil oleh laki-laki itu, lalu diletakkan di tempat semula. “Terima kasih Pak Naka,” ucap Andrea tulus. “Apa keluarga kamu tidak ada yang menemani di sini? Kalau butuh sesuatu, kamu lakukan sendiri?” “Kemarin ada orang tua saya. Tadi pun ada yang menemani, tapi sudah pulang. Saya masih bisa sendiri Pak karena kondisi saya sudah membaik,” jawab Andrea. Naka pun mengangguk. “ Ternyata apa yang papa saya katakan tentang kamu benar.” “Pak Naka ngomong apa?” “Tidak. Bukan hal penting.” Setelah beberapa waktu berlalu dan suasana masih saja canggung, akhirnya Naka beranjak dari duduknya. Laki-laki itu menghela napas pelan sambil melihat jam yang melingkar di tangannya. “Saya tidak bisa berlama-lama karena harus kembali ke hotel. Jadi saya pergi sekarang.” “Iya Pak Naka. Sekali lagi terima kasih karena sudah menjenguk saya. Maaf kalau merepotkan dan mengganggu waktu anda. Dan satu lagi, maaf kalau pekerjaan anda jadi berantakan karena saya tidak masuk kerja,” jelas Andrea. “Iya. Semoga kamu cepat sembuh.” Begitu Naka pergi dari ruangan itu, Andrea langsung menghela napas panjang. Sejak tadi semua hal terasa takut untuk dilakukan. Sikap Naka yang tidak seperti biasanya, terasa aneh baginya. “Jadi karena aku sakit, sikapnya melunak?” *** Naka berjalan begitu cepat ketika menuju ruangan kerjanya. Baru sampai parkiran hotel, ia menerima telepon dari ayahnya. Dirja sedang mengunjungi Autumn dan ingin singgah untuk menemuinya. Jadilah Naka buru-buru agar ayahnya tidak terlalu lama menunggu. Tetapi Naka tidak memberitahu ayahnya kalau baru datang dari menjenguk Andrea. “Papa, kenapa datang mendadak?” tanya Naka ketika sampai di dalam ruangan. Dirja duduk santai di sofa yang ada di sana. “Mana Papa tahu kalau kamu tidak ada di sini. Awalnya Papa mau pulang, tapi ada berita tidak mengenakkan yang Papa dengar dari Suta.” Naka memilih duduk di sofa terpisah dengan ayahnya. “Berita apa, Pa?” Dirja menyilangkan kaki, lalu menatap putranya dengan tatapan tajam. “Suta bilang kalau Andrea dirawat di rumah sakit. Benar begitu?” “Iya. Lalu?” “Dia sakit karena kelelahan?” Naka mengangguk. “Iya Pa. Papa ke sini Cuma mau tanya soal itu?” “Andrea seperti itu karena kamu memperlakukan dia dengan buruk Naka.” “Maksud Papa?” Naka semakin bingung dengan apa yang dikatakan ayahnya. “Naka, selama ini Papa tahu kalau kamu bersikap tidak baik kepada Andrea. Kamu selalu mencari kesalahan dia bahkan hampir setiap hari mengajaknya lembur. Papa juga tahu kamu pernah terlambat datang ke rapat, karena kamu mabuk, hingga menyebabkan kerugian waktu bagi karyawan lain. Dan yang terakhir, kamu ingin mengganti Andrea sebagai sekretaris karena dia melakukan kesalahan. Benar apa yang barusan Papa katakan?” tanya Dirja tanpa memutus kontak mata dengan Naka. Naka berdeham, sambil membenarkan letak dasinya. Ia tidak menyangka ayahnya akan tahu sedetail ini. “Selain dari Mas Suta, pasti Andrea juga mengadu, kan?” “Sekali pun Andrea tidak pernah mengadu, Naka. Meski Papa meminta, tapi dia tidak melakukannya karena dia bekerja secara profesional. Kakakmu yang mengatakan semuanya karena merasa kasihan dengan Andrea atas perilaku kamu.” “Pa, soal lembur itu hal yang wajar. Namanya juga bekerja, harus siap dengan pekerjaan mendadak. Masalah aku mabuk, itu tidak disengaja dan aku sudah minta maaf. Dan soal Andrea menumpahkan teh pada leptopku, wajar aku marah dan aku ingin mencari penggantinya karena menurutku dia tidak bekerja dengan baik. Kesalahan kecil yang dilakukan beberapa kali, aku juga bisa habis kesabaran,” jelas Naka. Penjelasan Naka membuat Dirja menggeleng heran. “Ini bukan Naka yang Papa kenal. Papa tahu betul, bagaimana sifat kamu. Apa yang kamu lakukan ke Andrea, hanya bertujuan agar Papa memecat kamu dari jabatan sekarang sehingga kamu bisa kembali ke Australia. Iya kan?” “Papa sudah tahu kalau aku belum siap kembali,” gerutu laki-laki itu. “Naka!” Bentak Dirja. “Mau sampai kapan kamu seperti ini? Kamu sangat egois. Demi memenuhi keinginan kamu, tega menjadikan Andrea sebagai korban. Kamu harus tahu, apa yang kamu lakukan itu semua sia-sia. Papa tidak akan pernah izinkan kamu kembali ke Australia.” “Pa …” “Papa belum selesai bicara!” Potong Dirja yang sudah begitu emosi. Bahkan duduknya berubah tegak. “Dengar baik-baik. Wanita itu sudah meninggal, mau sampai kapan kamu menghindari kenyataan itu? Dia sudah tidak ada di dunia ini tapi bukan berarti kamu terus hidup dalam kesedihan. Kamu sudah dewasa, bersikaplah sesuai dengan umurmu.” “Aku sudah berusaha, tapi rasanya di tempat ini terlalu banyak kenangan tentang Nadya dan rasanya menyakitkan, Pa.” “Lawan semua kenangan itu, jangan mau kalah!” “Papa enggak tahu bagaimana usahaku,” gumam Naka dengan nada sedih. Dirja menarik napas, lalu mengembuskan pelan. “Kalau sikap keras dan pemarah kamu hanya demi memberontak kepada Papa, jangan korbankan Andrea. Selama ini, dia sudah menjalani hidup yang cukup keras. Andrea tidak hanya bercerai dari suaminya tapi dia juga harus kehilangan calon bayi yang ada di dalam kandungannya. Jangan tambah beban dan lukanya dengan sikap kamu. Dia terlalu baik, Naka. Papa sengaja meminta dia menemani kamu, karena dia orang yang pintar dan pekerja keras. Kalau kamu memang ingin dia berhenti jadi sekretaris kamu, bilang baik-baik. Mungkin akan Papa kabulkan. Tapi kalau kamu mau berhenti membantu Suta mengelola hotel, Papa tidak akan pernah setuju, apalagi alasannya karena Nadya yang sudah meninggal!” ucap Dirja penuh penekanan. Kalimat panjang lebar yang diutarakan sang ayah, membuat Naka terdiam dengan raut wajah kaget. Ia tidak terkejut jika ayahnya membahas Nadya, tetapi kenyataan mengenai Andrea yang membuatnya tertampar. Ia tidak tahu kalau sekretarisnya pernah kehilangan calon bayinya. Selama ini, ia tahu Andrea hanya bercerai dengan suaminya. Selebihnya ia buta mengenai kehidupan wanita itu. “Papa datang ke sini, untuk mengatakan hal itu. Mungkin Papa terlalu berlebihan membela Andrea. Tapi Papa melakukannya karena alasan yang kuat. Selain karena hasil kerjanya yang baik, dia juga wanita biasa. Sama seperti mama dan kakak iparmu, memiliki perasaan yang sensitif. Jadi tolong manusiakan dia, dan jangan sakiti perasaannya dengan sikap kasar kamu. Jika dia salah, minta dia bertanggung jawab secara baik-baik.” Dirja beranjak dari duduknya. “Papa pulang dulu. Kalau ada waktu, jenguk Andrea dan minta maaf kepadanya.” Selepas kepergian Dirja dari ruangannya, Naka masih diam di posisi semula. Wajahnya kaku dan nampak sedang memikirkan sesuatu. Entah kenapa fakta yang ia dengar soal Andrea, begitu mengganggu perasaannya. Segala bentuk pertanyaan, terus berputar di kepalanya. “Pantas saja dia selalu bertahan dengan sikap kasarku. Ternyata dia sudah pernah mengalami hal yang lebih menyakitkan dari apa yang aku lakukan kepadanya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN