Bab 7
Suara tawa khas Abiyu terdengar dari belakang. Ziyad bangkit perlahan dan bertumpu pada lutut, mengulurkan tangan menarik Yhara sekali lagi hingga gadis itu bisa duduk.
Keduanya menunduk dan pura-pura sibuk dengan debu tak kasatmata di pakaian. Abiyu mendekat dan menepuk-nepuk pundak Ziyad sambil berucap,"mesra-mesraan kok di halaman, ke kamar sana!"
Ziyad spontan mendelik dan menatap wajah sahabatnya itu yang tengah menyeringai. Kemudian Ziyad memegangi lengan Abiyu dan beranjak berdiri. "Bukannya nolongin, malah ngeledek!" protesnya.
"Abisnya lucu, tumpang tindih kayak pohon kesayangan Fauzan noh." Abiyu menunjuk ke satu-satunya pohon bonsai di dalam pot yang diletakkan di teras kamarnya dan Fauzan.
Ziyad mendengkus dan beranjak pergi. Sejenak melupakan Yhara yang masih terdiam di tempat. Kemudian dia kembali lagi dan membantu Yhara untuk berdiri sembari berseru,"bangun soranglah, jangan manja!" (sorang = sendiri)
"Abang pun ngape gak balek agik? Pandai jak bah aku bangun sorang!" balas Yhara sambil menghempaskan tangan Ziyad. (Abang pun ngapain juga kembali lagi? Pandai aja aku bangun sendiri!)
Ziyad terperangah mendengar ucapan sang istri yang meneruskan langkah memasuki kamar sambil menghentakkan kaki. Sementara suara tawa Abiyu semakin mengencang, tak peduli Ziyad memelototinya sambil jalan menuju kamar.
Setibanya di dalam, Yhara tampak berbaring sambil menghadap ke tembok pembatas kamar mandi. Ziyad bergerak duduk bersila dan menyandarkan tubuh ke pinggir tempat tidur. Pura-pura kembali fokus dengan tayangan di televisi, padahal sebenarnya pikiran tengah berkelana.
Masih terasa kehangatan tubuh sang istri saat mereka tak sengaja bertindihan. Walaupun sudah sering tidur satu kasur, tetapi selama ini keduanya menjaga jarak dan memasang barikade di tengah tempat tidur.
Ziyad menyugar rambut dan meremas kepala beberapa kali. Entah kenapa tiba-tiba dia menjadi b*******h pada perempuan di belakang. Matanya terpejam saat membayangkan lembutnya kulit Yhara, dan aroma tubuh gadis itu yang sangat khas masih tercium.
Pria bermata tidak terlalu besar itu menghela napas berkali-kali, berharap hal tersebut bisa membuatnya lebih tenang dan melupakan insiden tadi.
Sementara Yhara masih berusaha menahan hasrat ingin mengomel panjang lebar pada pria di belakang. Bisa-bisanya Ziyad membentaknya tadi dan membuat Yhara tidak terima. Hatinya sakit. Seumur-umur dia jarang sekali dimarahi orang tua dan juga neneknya. Diomeli di depan Abiyu tadi membuatnya merasa malu.
Tanpa sadar bulir bening menitik dari sepasang mata sipit itu. Yhara menyusutnya dengan kasar. Berusaha untuk tidak terus menangis, tetapi yang terjadi malah sebaliknya, tangisannya meledak dan membuat suara isakan itu mencubit hati Ziyad.
Pria itu akhirnya berdiri dan duduk di pinggir tempat tidur. Menyentuh punggung Yhara yang masih tersedu-sedu. "Ra, maafin abang," ucapnya pelan.
Yhara tidak menjawab, melainkan sibuk mengusap wajahnya yang basah oleh lelehan air asin. Gadis itu nyaris menjerit saat tangan Ziyad tiba-tiba melingkari pinggangnya yang ramping.
"Balas marahin abang aja, jangan nangis terus," ujar Ziyad sambil menghidu aroma sampo dari rambut Yhara yang terurai.
"Abang jangan bentak Ara di depan orang, malu!" seru gadis itu dengan suara serak.
"Iya, maaf, abang salah. Tadi ... gak sengaja gitu."
Sesaat hening, yang terdengar hanya suara volume televisi. Yhara menekan-nekan hidung dengan ujung kausnya. Masih bingung untuk bergerak karena pelukan Ziyad malah bertambah erat.
Sekarang pria itu malah mengangkat rambut Yhara dan merapatkan tubuh mereka. Embusan napas Ziyad terasa di belakang leher Yhara dan membuatnya merinding.
Tiba-tiba Ziyad menempelkan bibir di pundak Yhara. Menghirup aroma tubuh gadis itu yang membuatnya merasa ... entahlah, dia juga bingung. Yang pasti, sang adik mulai bereaksi dan membuatnya tidak nyaman.
Susah payah dia mengendalikan diri, tetapi senjata tumpul itu semakin menguat. "Aduh, gimana nih?" batin Ziyad. Benar-benar bingung dengan hasrat yang tiba-tiba muncul tanpa permisi.
"Bang," panggil Yhara.
"Ehm?"
"Lepasin."
"Hmm."
"Aku mau minum. Mulut kering habis nangis."
"Tunggu, abang ambilin."
Ziyad akhirnya melepaskan pelukan dan bergegas mengambilkan minuman buat Yhara. Memberikannya pada gadis itu dan memperhatikan saat Yhara menghabiskan air dalam beberapa tegukan saja.
Tanpa sadar Ziyad meneguk ludah kala melihat leher jenjang Yhara yang terekspos ketika gadis itu menghabiskan minumannya. Si adik yang masih mencuat kembali menguat. Mendesak hingga muncul tercetak di celana pendek yang dikenakan.
Yhara tertegun saat melihat Ziyad memandanginya nyaris tanpa kedip. Sedikit takut saat pria itu beranjak mendekat dan duduk menempel dengannya. "Geseran, Bang. Masih lega itu," ujarnya dengan suara pelan.
Namun, Ziyad malah bergeming. Pria itu menarik tangan Yhara dan mengusapnya dengan lembut. Membuat gadis itu terpana dan sedikit bingung dengan reaksi pria itu yang tiba-tiba berubah.
"Ra, abang boleh nggak ... ehm ...."
"Apaan?" sahut Yhara cepat.
"Cium kamu."
Yhara terperangah. Menoleh dan mendapati sang suami tengah menatapnya dengan mata berkilat. Gadis itu langsung menunduk karena merasa pipinya memanas. Benar-benar bingung harus berbuat apa.
Ziyad mengulurkan tangan kiri dan mengangkat dagu Yhara hingga tatapan mata keduanya bertemu. Pria itu mengulaskan senyuman sambil memajukan wajah.
Kala bibirnya menyentuh pipi Yhara, gadis itu memejamkan mata. Ziyad menggeser bibir sedikit demi sedikit hingga menyentuh sudut bibir gadis itu. Perlahan tapi pasti, Ziyad memberanikan diri untuk mengecup benda kenyal dan hangat itu dengan lembut.
Gerakannya yang konstan membuat Yhara tanpa sadar membuka mulut dan membiarkan Ziyad menikmati indera pengecapnya itu dengan pelan. Gumaman lirih terdengar dari mulut Yhara dan menambah hasrat sang suami semakin meningkat.
Ziyad menarik tubuh Yhara dan memeluknya dengan erat. Mengecap madu gadis itu dengan rakus. Berharap perempuannya tidak menolak untuk memberikannya hak sebagai seorang suami.
Dering ponsel milik Ziyad memecah keheningan. Yhara yang tersadar langsung menarik diri dan mendorong tubuh Ziyad menjauh. Keduanya saling menatap. Napas pun masih tersengal-sengal. Sebelum akhirnya Yhara beringsut ke pinggir tempat tidur dan berdiri, jalan menuju kamar mandi.
"Aduh, siapa sih nelpon-nelpon? Ganggu!" gerutu Ziyad sambil turun ke lantai dan meraih ponselnya yang masih semangat berdering. Melihat nama sang mama dia pun segera mengangkat telepon.
"Ya, Ma," sapa Ziyad.
"Assalamualaikum, Bang," sahut Salma dari seberang sana.
"Ehh, iya, waalaikumsalam," jawab Ziyad malu-malu.
"Lagi ngapain?"
"Ciuman, ehh!"
Tawa melengking sang mama terdengar nyaring di telinga. Ziyad menjauhkan ponsel sambil meringis menahan malu karena keceplosan ngomong.
"Lagi nyuci, Ma," ralatnya setelah Salma berhenti tertawa.
"Nyuci Yhara?"
Ziyad menepuk dahi dengan gemas karena godaan mamanya itu membuatnya benar-benar malu.
"Ehm, maksudnya Yhara yang lagi nyuci." Ziyad tetap berusaha membela diri.
"Halah, kayak mama nggak pernah muda aja. Taulah pengantin baru pasti sering itu." Kembali candaan Salma membuat Ziyad meringis malu.
"Au ahh. Mama nelepon mau ngomong apa?" Ziyad berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Mau nanya urusan kuliah Yhara, gimana?"
Ziyad langsung bercerita tentang rencananya esok hari bersama Yhara. Salma mendengarkan dengan saksama dan sesekali menyela untuk menanyakan hal lain.
"Yhara mana? Mama mau ngomong."
Ziyad memanggil Yhara yang langsung mendekat dan mengambil alih ponsel dari tangannya. Yhara membalikkan tubuh agar Ziyad tidak menangkap basah pipinya yang masih menghangat karena teringat perbuatan mereka tadi.
"Ya, Ma, ini Yhara," ucap gadis itu sambil mendekatkan ponsel ke telinga.
"Hai, Sayang. Nyucinya udah?" tanya Salma.
"Nyuci?" Yhara mengernyitkan dahi dengan bingung.
"Hu um, nyuci bibir abangmu."