Bab 8
Suasana di luar rumah terasa cukup sepi. Mungkin karena jalan di depan rumah bukan jalan raya utama, sehingga kendaraan yang melintas tidak terlalu banyak.
Suara jam dinding yang terus berdetak menemani Yhara yang kesulitan untuk tidur. Dia tidak berani untuk berbalik ke kiri, takut beradu pandang lagi dengan Ziyad. Tanpa sadar tangannya terulur menyentuh bibir. Masih terasa lembutnya ciuman mereka tadi dan membuat Yhara tersenyum tanpa sadar.
"Ra, udah tidur?" tanya Ziyad dengan suara pelan.
Yhara bergeming, bingung hendak menjawab apa. Gadis itu menahan napas saat menyadari bila Ziyad perlahan mendekat. Pria itu mengusap lengan istrinya, berharap Yhara belum tertidur.
"Ra," panggil Ziyad yang sekarang sudah menempelkan tubuh di belakang Yhara.
"Ehm?"
"Abang ... ehm ... boleh nggak ... ehm ...."
"Boleh apa?"
Ziyad mengeluh dalam hati. Dia bingung untuk menyatakan saat ini menginginkan Yhara karena desakan batin, tetapi takut gadis itu menolak.
Sementara Yhara berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Dia tahu apa yang dimau oleh suaminya. Meskipun masih muda, tetapi Yhara paham tentang hal itu.
***
Malam sebelum pernikahan dilaksanakan, Liana mengajaknya bicara empat mata. Tante satu-satunya dari sang ayah itu menyampaikan informasi tentang hak dan kewajiban seorang istri pada suaminya.
"Tante yakin kamu pasti paham tentang hubungan manusia lain jenis kan, Ra?" tanya Liana.
Yhara mengangguk mengiakan. Dia pernah membahas hal ini dengan teman-teman dekatnya, setelah mereka mendapatkan pelajaran tentang sistem reproduksi perempuan.
"Lakukan bila kamu sudah siap dan ikhlas. Anggap saja sebagai ibadah. Tapi ingat, bicarakan dengan suami bila kamu merasa belum puas," imbuh Liana.
"Malulah, Tan," sahut Yhara.
"Loh, kenapa harus malu?" Liana terkekeh geli mendengar ucapan ponakannya yang cantik itu. "Dalam berhubungan intim itu harus take and give. Jangan take doang, atau give doang," lanjutnya yang membuat pipi Yhara memanas.
"Tan, pas pertama itu ... sakit nggak?" tanya Yhara dengan rasa penasaran.
"Itu alamiah, Sayang. Kan lepas segel," jawab Liana seraya mengulaskan senyuman. "Makanya jangan langsung itu, harus pemanasan dulu."
"Senam gitu, ya?" Raut wajah Yhara tampak sangat polos saat menanyakan hal tersebut.
Tawa melengking Liana membuat sang nenek menoleh dari layar televisi yang tengah menayangkan sinetron favoritnya. Namun, perempuan tua itu kembali fokus dengan televisi, lupa untuk bertanya penyebab tawa sang anak begitu kencang.
"Kissing, Sayang. Naluriah itu pasti terjadi nanti. Tante rasa Ziyad pasti lebih paham tentang hal itu. Semoga saja dia tipe pria yang nggak egois," jelas Liana yang semakin memerahkan pipi sang ponakan.
"Aku ... belum pernah kissing, Tan." Yhara menunduk untuk menutupi rasa malunya.
"Nggak apa-apa, Sayang. Justru bagus. Kamu memberikan diri suci seutuhnya pada suami." Liana mengusap rambut Yhara dengan penuh rasa sayang.
Dalam hati Liana merasa sedikit khawatir melepas Yhara untuk menikah di usia yang masih sangat muda. Namun, dia tidak bisa menolak karena ini merupakan permintaan almarhumah kakak iparnya yang merupakan ibunya Yhara.
Liana cukup mengenal Salma dan Aldi, orang tua Ziyad. Sayangnya dia tidak terlalu mengenal sosok Ziyad. Hanya mampu mengingat pria muda berparas tampan yang dulu kecilnya sangat badung.
***
Sentuhan di lengan sekarang berpindah ke pinggang dan pinggul. Ziyad menggeser rambut Yhara dan mengecup belakang leher istrinya dengan pelan.
Pria berbibir tipis itu berusaha bersikap hati-hati untuk menyentuh Yhara. Dia ingat pesan papanya, untuk memperlakukan Yhara dengan lembut.
"Jangan memaksa bila Yhara nggak mau, Bang. Ingat, kalian belum saling mengenal terlalu dalam. Berikan kesempatan padanya untuk terbiasa dengan dirimu," ucap Aldi, tepat di malam sebelum esok harinya Ziyad terjebak dalam pernikahan.
Ingatannya terputus saat mendengar suara lenguhan lirih dari bibir Yhara. Ziyad menyunggingkan senyuman kecil, cukup senang ternyata Yhara menikmati sentuhannya.
Perlahan Ziyad memutar tubuh sang istri hingga mereka saling berhadapan. Tangan kirinya mengusap wajah Yhara dengan lembut seraya mengulaskan senyuman manis. Yhara membalas dengan senyuman tipis yang tampak canggung.
"Udah boleh kan?" tanya Ziyad dengan suara pelan.
Yhara terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk membenarkan. Ziyad mendekatkan wajah dan mendaratkan kecupan di dahi Yhara. Kemudian menuntun gadis itu mengucapkan doa sebelum penyatuan mereka.
"Bang."
"Ehm?"
"Pelan-pelan," bisik Yhara.
"Belum juga ngapa-ngapain, Ra," tukas Ziyad.
Yhara tersenyum malu. "Ngingatin doang, kali Abang lupa," timpalnya.
Ziyad tersenyum lebar, kemudian kembali mengecup pipi sang istri beberapa kali sebelum akhirnya melanjutkan serangan ke bibir lembut Yhara.
Kriet. Kriet. Kriet.
Suara garukan di pintu sontak menghentikan aktivitas keduanya. Ziyad beradu pandang dengan Yhara yang tampak bingung dengan asal suara tersebut.
Kriet. Kriet. Kriet.
Suara itu terdengar kembali, bahkan lebih kencang. Tak lama kemudian suara lain terdengar dan membuat Ziyad mendengkus.
"Mau ke mana?" tanya Yhara saat Ziyad beranjak menjauh.
"Kayaknya Ariel lolos lagi lewat jendela kamar sebelah," jawab Ziyad sambil jalan menuju pintu.
Benar saja, kucing jantan hitam putih itu tengah berdiri di depan pintu saat Ziyad mengintip dari balik gorden. "Aduh, bisaan kamu, ya," ujarnya sambil membuka pintu dan mengangkat tubuh kucing itu sambil mengelus bulunya yang lembut.
Ziyad terus mengobrol dengan Ariel. Lupa dengan sosok sang istri yang memandanginya dari atas tempat tidur.
Yhara yang sekarang benar-benar mengantuk akhirnya tak kuasa menahan hasrat ingin bercengkrama dengan bantal. Perempuan muda itu merebahkan diri kembali dan menutup mata. Dalam beberapa menit saja dia sudah terlelap.
Setelah puas mengobrol dengan Ariel, Ziyad memasukkan kucing itu ke kandang sambil berujar,"mulai sekarang kamu tidur di sini, karena papa udah ada yang nemenin tidur."
Pria berkulit kuning langsat itu mengusap kepala Ariel beberapa kali sebelum menutup dan mengunci pintu kandang. Tak lupa untuk memasang gembok kecil, karena kucingnya yang ini sangat pandai membuka pintu.
Ziyad melangkah memasuki kamar dan tertegun saat melihat Yhara telah tertidur dengan gaya khasnya, yaitu mulut menganga. Pria itu hanya bisa pasrah dan membatin karena sang adik lagi-lagi harus menahan hasrat.
***
Derum motor dari rumah petak lain membangunkan Yhara. Gadis itu merutuki diri yang sampai melewatkan waktu salat Subuh. Dengan cepat dia beranjak menuju kamar mandi, menjalankan ritual membersihkan diri selama hampir dua puluh menit.
Tatkala keluar hanya membungkus tubuh dengan handuk bermotif bunga mawar merah, gadis itu bersitatap dengan sepasang mata beriris hitam milik Ziyad yang memandanginya dengan lekat.
"Abang mau sarapan apa?" tanya Yhara basa-basi sambil jalan menuju koper, membuka benda biru tua itu dan menarik kaus di bagian paling atas. Tak lupa menyelipkan pakaian dalam ke lipatan kaus, kemudian berdiri dan menarik celana panjang hitam dari gantungan di dekat lemari.
"Kopi aja, gulanya dua sendok kecil," jawab Ziyad dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
Yhara mengangguk dan berdiri kaku. Memberi kode dengan menggerakkan dagu pada Ziyad untuk ke kamar mandi.
"Kenapa? Kepalanya sakit?" tanya Ziyad sambil mengerutkan dahi.
"Bukan itu. Abang mandi gih. Aku mau ganti baju," jelas Yhara.
"Oh, ganti aja di sini." Ziyad mengulaskan senyuman lebar yang dibalas Yhara dengan pelototan.
"m***m!"
Ziyad tertawa kecil. Merasa senang telah menyandai istrinya yang masih membeliakkan mata. Kemudian pria itu mengalah dan beringsut ke pinggir tempat tidur. Berdiri dan jalan gontai menuju kamar mandi. Berhenti di depan pintu dan menoleh sambil bertanya,"Ra, nggak mau mandiin abang?"