Bab 7: Dilema 2

1449 Kata
Prima gelisah. Sepanjang perjalanan bersama dengan Mira ke Surabaya membuatnya mengendarai sepeda motornya dengan pelan. Ia bingung harus membawa Mira ke mana. Prima sangat yakin kalau July sudah menunggunya di rumah. Pelan-pelan Prima menyesali semuanya, menyesali perselingkuhannya yang tak sengaja dengan July lalu menikmati kesenangan itu. Semula ia pikir kalau Mira tak hamil juga, ia akan menceraikannya dan menikahi July dengan alasan Mira tak bisa memberikannya keturunan. Tapi sejak Mira hamil, Prima sangat bahagia hingga ia ingin bermain-main saja dengan July sampai bosan lalu meninggalkannya. Tapi semuanya diluar ekspetasi Prima sama sekali. Kehamilan July membuatnya bingung dan tak tahu harus bagaimana menyikapinya. Prima tentu saja tak mau kehilangan Mira setelah tahu dia hamil anaknya, apalagi posisi pekerjaannya sudah bagus gara-gara rekomendasi dari adik iparnya. Prima makin tak mau meninggalkannya. Tapi meninggalkan July yang juga sedang hamil, juga tak mungkin dilakukan oleh Prima. Prima tahu bahwa July sendirian di Surabaya, itu kenapa ia sangat bebas menemui gadis itu, siapa yang sangka kesenangannya malah membawanya ke masalah yang rumit. Prima tak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika kelak ia akan berpisah dari Mira, selain ia akan kesulitan bertemu dengan buah hatinya, ia pasti akan kehilangan pekerjaannya dan itu membuatnya sangat frustasi. Jadi Prima berencana akan menjaga Mira tetap di Mlalang dan July di Surabaya, merawat keduanya secara bergantian, menyembunyikan July selamanya dari Mira. Tapi, yang terjadi sekarang ini sungguh membuat Prima bingung, keinginan Mira yang mengikutinya ke Surabaya membuatnya takut kalau Mira akan memergoki perselingkuhannya dan bakalan meninggalkannya. Lalu apa yang akan ia lakukan kalau Mira meninggalkannya dan membuatnya kehilangan semuanya? Ia tak bisa membayangkannya. “Mas! Mau sampai kapan kita sampai di Surabaya kalau jalannya hanya dua puluh terus?” Mira protes di belakang, membuat Prima sadar kalau ia sangat pelan menjalankan motornya. “I-iya,” jawab Prima seraya menambah kecepatan laju motornya. Mira sadar kalau Prima tengah memikirkan sesuatu yang cukup serius. Ia makin penasaran dengan apa yang sedang Prima sembunyikan darinya. Aroma parfum itu masih tajam di ingatan Mira dan seperti yang pernah Amila- sang adik- ceritakan soal suaminya yang berselingkuh darinya serta gelagatnya yang aneh, membuat daftar kecurigaan Mira semakin memanjang. Mira tak ingin rumah tangga yang telah ia bangun bertahun-tahun dengan Prima kandas hanya karena perempuan lain. Selama ini ia telah berusaha sekuat tenaga bertahan dalam rumah tangga yang penuh dengan ujian. Tak hanya dicemooh oleh keluarga Prima soal ia yang tak kunjung hamil, ia juga dihina mati-matian karena tak punya sosok ayah lagi yang bisa melindunginya, sedangkan kondisi sang ibu yang sebagai janda dan hanya mengandalkan hasil panen dari sawah selalu dipandang rendah oleh keluarga Prima. Sebenarnya Mira tak tahan tinggal di rumah mertuanya, ia ingin membangun rumah tangga sendiri dengan tinggal terpisah dari orang tua Prima. Tapi, Prima sebagai anak lelaki satu-satunya di keluarganya tak bisa meninggalkan sang ibu, jadi Mira mengalah dan memilih diam selama ini sembari terus berusaha serta berikhtiar untuk bisa hamil. Mira sangat beruntung karena Amila terus mengirimi ibunya uang, uang dari Amila itu terkadang ia pinjam untuk program kehamilan yang ia ikuti, baik secara medis atau tradisional. Untungnya, Amila tak mempermasalahkan berapapun uang yang ia pakai dan cara mengembalikannya yang berangsur pelan-pelan. Usaha dan ikhtiar Mira berhasil, ia hamil dan ia sangat senang sekali, begitupun Prima. Sejak kehamilan itu, Mira semakin kuat menjaga tali pernikahannya agar tak putus. Sayang, gelagat Prima yang aneh membuat Mira curiga dan dia yakin kalau sang suami telah berkhianat di belakangnya dan Mira tak akan membiarkan sang suami pergi darinya. Ia tak mau anaknya hidup tanpa sosok ayah. “Aku haus, mas,” bisik Mira di belakang. “Kita mampir di warung pinggir jalan,” jawab Prima seraya mencoba mencari warung di pinggir jalan yang memiliki lahan parkir lumayan luas. Setelah menemukan warung yang pas, ia segera membelokkan sepeda motornya dan memarkirnya di depan warung, “mau makan sekalian?” tanya Prima dan Mira menggeleng. “Minum aja, panas banget, mas sih naik motornya kayak keong, lama banget. Masak dari Malang ke Sukerojo aja dua jam?” sungut Mira kesal. Prima hanya tersenyum kecut. Mira dan Prima masuk ke dalam warung, Mira memesan es jeruk dan Prima kopi hitam. “Aku ngerokok dulu di luar,” pamit Prima ke Mira dan istrinya itu mengangguk seraya menyeruput es jeruknya. Di luar, Prima mengeluarkan ponselnya, berharap ia bisa mengirim pesan singkat ke July agar kekasih gelapnya itu tak berada di rumah kontrakannya. Sayangnya, baterai ponselnya habis dan tinggal dua persen saja. Ia memang sengaja semalam tak mengecas ponselnya, Prima pikir karena baterai ponselnya habis saat sampai di Surabaya, makanya nanti saat Mira meneleponnya ia bisa beralasan. Tapi siapa yang sangka kalau Mira ikut ke Surabaya dan ia menyesali karena tak mengecas baterai ponselnya. Saat baru saja mengetik pesan, ponselnya tiba-tiba mati, membuat Prima mengumpat kesal. Ia tak tahu lagi bagaimana caranya menghubungi July nantinya. “Katanya mau ngerokok, mas?” pertanyaan Mira itu membuat Prima kaget hingga ponselnya jatuh. Gelagat aneh sang suami semakin ketara saja di mata Mira. “Rokoknya ternyata ketinggalan di rumah,” kata Prima lagi dengan meringis. Mira mengangguk dan menghampiri suaminya. “Habisin kopinya, mas. Minumku sudah habis, yuk jalan lagi,” kata Mira dan Prima mengangguk. “Kamu gak capek?” tanya Prima dan Mira menggeleng. “Nanti di kost kamu kan aku bisa langsung berebah,” jawab Mira dan Prima makin salah tingkah dengan jawaban istrinya tersebut. Prima menyalakan motornya, belum juga Mira naik ke boncengan, motor sudah jalan duluan, membuat Mira teriak memanggilnya. Beruntung, orang-orang yang ada di sana juga membantu Mira untuk meneriaki suami, dan ada orang yang mencegat Prima, hingga Prima sadar dan berbalik ke arah Mira. “Gimana sih, mas, masak istrinya ditinggal?” sahut abang-abang tukang ojek pada Prima yang nampak kikuk. “Aku kira kamu sudah naik, Mir,” jawab Prima. “Kamu kenapa sih, mas? Kayak banyak pikiran gitu?” tanya Mira kesal karena sikap Prima yang salah tingkah sampai-sampai lupa membonceng istrinya sendiri. “Nggak papa, ya udah yuk, jalan lagi,” ajak Prima. “Jangan ditinggal lagi istrinya, mas,” sahut abang-abang ojek yang lainnya. “Iya, bang, gak sengaja,” jawab Prima dengan senyum garing. Mira makin yakin kalau suaminya sedang bingung dan kalut, karena kalau tidak Prima tak akan ceroboh seperti tadi. Sampai di Surabaya, motor Prima melambat dan ia berputar-putar di jalan besar saja. “Kost kamu masih jauh, mas?” tanya Mira tak sabar. “Eh, iya,” “Kenapa kita muter-muter terus, sih?” tanya Mira lagi. “Mana ada kita muter-muter? Surabaya emang besar, Mir,” kata Prima. Mira diam, ia makin yakin suaminya sedang bingung harus membawanya kemana. Untuk itu ia memutuskan menghapal jalan yang mereka lalui dan saat Prima mengulangi jalan yang sama, Mira kembali beraksi. “Kita udah lewatin jembatan layang itu dua kali, loh, mas, aku bahkan udah nyapa abang penjul rujak manis di seberang sana sambil dadah-dadah dua kali. Ini juga udah adzan dzuhur, mas. Jadi, mau sampai kapan kamu bawa aku muter-muter gini?” tanya Mira. Prima gelagapan, hingga tiba-tiba saja motornya berhenti di tengah jalan dan terpaksa Mira turun dan Prima mendorongnya ke tepi jalan. “Aku …” “Motor kamu sampai kehabisan bensin, mas. Dari Malang ke Surabaya, masak lima jam, mas?” tanya Mira lagi. Wajah Prima pucat. “Sebenarnya aku sudah pindah kost, Mir,” kata Prima akhirnya memilih berbohong. “Ke mana?” “Belum tahu,” jawab Prima. “Lah kok belum tahu? Barang-barang kamu, gimana?” kejar Mira bertanya, “kalau pindah kan berarti udah pindahin barangnya juga, mas?” tanya Mira lagi. Prima menelan ludah. “Kost yang lama kebakaran, jadi barang-barang mas juga ikut kebakaran,” kata Prima kembali berbohong, tapi dahi Mira berkerut heran. Merasa aneh dengan jawaban suaminya, hanya saja dia berusaha tenang. “Astaga, kenapa kamu baru bilang sekarang, mas? Mana kamu gak bawa baju dari rumah,” kata Mira pura-pura cemas. “Takut kamu cemas saja, jadi rencananya aku hari ini akan nginap di kost teman, makanya sebenarnya kamu tadi gak usah ikut saja,” jawab Prima. “Kamu aneh, mas. Udah tahu kost lama kebakaran dan barang-barang kamu juga udah ludes kebakar, kok bisa kamu gak bawa baju dari rumah, gimana mau kerja besok?” tanya Mira. Prima diam. Ucapan Mira tak diantisipasinya dan membuatnya tak bisa menjawab lagi. “Gimana kalau kamu pulang ke Malang aja? Aku antar ke terminal?” tawar Prima, Mira menggeleng. “Dalam situasi kayak gini, mana mungkin aku ninggalin kamu, mas. Sekarang kita cari kost baru saja, tapi sebelum itu kita belanja kebutuhan kamu dulu, gimana?” tawar Mira. Prima meringis, ia tak menyangka usahanya kembali sia-sia, malah membuat pengeluarannya semakin membengkak, “ayo mas, kita cari bensin dulu,” ajak Mira bersemangat sedangkan Prima menghela napas berat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN