Bab 6: Dilema

1202 Kata
Mira menyembunyikan tas berisi beberapa pakaiannya di bawah kasur. Hari ini adalah hari terakhir suaminya tidur di rumah, dan besok pagi sudah akan kembali ke Surabaya. Mira tahu, bahwa kemungkinan besar Prima akan bersitegang dengannya besok pagi sebelum berangkat ke Surabaya, tapi dia tak mau menunggu di rumah mertuanya dan menikmati omelan tiap hari, selain itu ia juga mencurigai Prima sedang menjalin hubungan dengan perempuan lain. Gelagat Prima yang lebih sering memegang ponsel itu membuat Mira curiga sekali. Mira pernah memeriksa ponsel sang suami tapi tak menemukan gelagat aneh di ponsel suaminya, hal itu semakin membuat Mira penasaran dan menaruh curiga saja. Pintu kamar dibuka, Prima masuk dan meletakkan ponselnya di atas nakas sebelum merebahkan diri di atas kasur, “besok kalau mas sudah balik, kamu baik-baik di rumah. Pokoknya gak usah jualan,” kata Prima pada Mira. Mira hanya mengangguk tanpa mengiyakan dan memilih berbaring di sampingnya. Malam beranjak, Mira dan Prima akhirnya sama-sama terlelap. Keesokan paginya, Mira bangun lebih awal, setelah salat subuh, ia langsung memasak buat sarapan dalam porsi banyak, rencananya ia juga akan membawa bekal yang cukup untuknya dan Prima selama perjalanan ke Surabaya. Tak ada yang curiga dengan kegiatannya di dapur, meski ia terlihat sedikit buru-buru dan gelagapan. “Berangkat jam berapa, Prima?” tanya ibu. “Setengah tujuh, bu. Lebih pagi lebih baik biar gak kepanasan di jalan,” jawab Prima. “Kapan kamu mau beli mobil? Masak pake motor melulu?” tanya sang ibu seraya melirik ke arah Mira. “Sudah dapat mobil dari kantor untuk dinas,” jawab Prima, “jadi buat apa beli mobil?” “Kenapa gak dibawa?” tanya Ibu, “ibu bisa pamerin ke tetangga,” “Bukan mobil sendiri, apanya yang dibanggain, bu?” tanya balik Prima. “Kamu itu, makanya beli sendiri, kalau gak mau pake, biar diparkir aja di rumah, kakakmu bisa pake,” kata ibunya lagi. “Pengeluaran kami masih banyak, bu. Lagi pula, aku juga sudah hampir melahirkan,” gemas dengan mertua, Mira akhirnya menimpali. Sengaja ia bilang seperti itu, agar ibu mertuanya sadar bahwa selama ini hampir sebagian besar gaji suaminya habis untuk kebutuhan dan gaya hidup mertua dan iparnya itu. “Kamu aja yang boros gak bisa ngatur keuangan,” balas ibu mertua pada Mira. Prima menghela napas berat, kesal juga pagi-pagi sudah mendengar perdebatan antara ibu dan istrinya. Ia tahu, dalam situasi ini, Mira sama sekali tak bersalah, bahkan uang belanjanya baru akan naik bulan depan sedangkan ia sudah diangkat jadi manager selama enam bulan lebih. Prima mengakui bahwa pengeluarannya lebih banyak untuk kakak dan ibunya, dan kini ia juga harus membagi uangnya dengan July. Terkadang, Prima bersyukur karena Mira tak pernah mempermasalahkan uang yang diberikannya, bahkan Mira tak banyak tanya. Karena Mira merasa suaminya memenuhi kebutuhan ibu dan kakaknya. “Ya sudah aku berangkat,” kata Prima seraya berdiri dari meja makan. Mira juga ikut berdiri karena mau bersiap-siap tapi Prima pikir bahwa Mira hanya akan mengantarnya ke teras rumah. Sayangnya, setelah selesai mencuci piring dan masuk ke kamar lalu keluar kamar dengan tas yang besar, Prima baru menyadari kalau Mira serius dengan ucapannya yang akan ikut dengannya ke Surabaya. “Mau ke mana kamu, Mir?” tanya sang mertua. “Mau ikut mas Prima ke Surabaya, aja, bu. Di sini juga Mira gak ngapa-ngapain. Jualan juga sudah gak boleh, kan? Dari pada Mira dituduh selingkuh, mending ikut mas Prima saja,” kata Mira. Sang mertua diam, sedangkan Prima bingung bagaimana caranya mencegah Mira ikut dengannya ke Surabaya. Jika saja Mira tahu kalau Prima sudah mengontrak rumah dan tak lagi kost karena agar bisa bebas berdua dengan July, maka semuanya akan runyam. “Baguslah, eh tapi, uang bulanan ibu kamu tambahin, Prim. Karena gak ada istrimu, ibu harus belanja dan masak sendiri,” kata ibu Prima. “Mir, kamu di rumah saja, temani Ibu. Siapa yang jagain kamu kalau aku kerja? Mana kamu lagi hamil, kan?” Prima mencoba membujuk Mira lagi. “Aku baik-baik saja, mas. Udah masuk empat bulan, udah gak mual dan muntah,” kata Mira bersikeras. “Meski begitu, keberadaan kamu di Surabaya akan membuat mas semakin cemas dan gak konsen kerja. Mas ini kalau udah terjun ke lapangan, bisa pulang malam, loh,” kata Prima. “Gak papa, mas. Lagian kan kalau kost-kostan banyak orang mas, jadi kalau ada apa-apa sama aku bisa ke tetangga kost,” kata Mira. “Ajak saja istrimu, Prim,” saran sang ibu. “Aku ke Surabaya kerja, bu. Mana bisa aku ajak Mira?” tanya Prima kesal. “Aku gak akan gangguin mas,” kata Mira, “aku akan diam di rumah, kalau bosan aku bisa merajut,” kata Mira lagi. Prima mendesah berat, bingung harus bagaimana agar ia tak membawa serta Mira ke Surabaya. “Gak usah ikut aku ke Surabaya, aku janji akan lebih sering pulang,” kata Prima memberi solusi. “Biar saja lah istrimu ikut, biar dia ngurusin kamu di sana,” kata sang ibu. Mira mengangguk setuju. “Tapi, bu,” “Ayo mas, keburu siang dan panas di jalan,” ajak Mira bersemangat. Prima kalut dan bingung, padahal ia sudah buat janji temu dengan July di rumah kontrakan siang ini dan Prima yakin July sudah menunggunya di sana. Lalu kemana Prima akan membawa Mira tinggal ketika mereka sampai di Surabaya nantinya? *** “Jika kamu tidak mau menggugurkan bayimu, Jul. Kamu harus minta Prima bertanggung jawab padamu,” kata Lusi akhirnya. July merasa lega, akhirnya sahabatnya itu memberi solusi yang baik yang ia harapkan, “tapi jangan minta pak Prima buat ceraikan istrinya,” kata Lusi lagi. Wajah July berubah, ia pikir Lusi akan mendukungnya sampai akhir untuk bisa menjadi istri Prima. “Kamu mau aku jadi simpenan pak Prima?” tanya July dengan amarah yang ia tahan. Lusi menggeleng ke arahnya. “Nggak, Pak Prima harus bawa kamu ke hadapan istrinya dan menjelaskan semuanya. Artinya, kamu harus siap jadi istri keduanya,” jawab Lusi, “kamu sudah menghancurkan rumah tangga pak Prima, jangan memintanya berpisah dari istrinya, July, jika tidak kamu akan menjalani hidup yang sulit. Kamu tidak akan bahagia hidup di atas penderitaan orang lain,” kata Lusi. July terdiam, ia bingung harus menanggapi saran Lusi bagaimana. “Aku jadi yang ke dua?” “Bukankah sekarang kamu juga sudah jadi yang kedua?” “Apakah istri mas Prima akan menerimaku?” “Aku gak tahu, yang jelas jangan lakukan kejahatan lagi. Sekarang jalankan konsekuensinya saja,” kata Lusi kembali. “Jika mbak Mira tidak menerimaku, bagaimana?” “Pasti ada jalan yang terbaik nantinya. Yang jelas, kamu minta maaf dulu padanya,” kata Lusi. Percakapan antara July dan Lusi saat mereka baru pulang dari restaurant dan kembali ke kostan July masih terngiang di otak July hingga kini. Rasa enggan meminta maaf pada Mira menganga lebar di hati July. Bahkan bayangan Mira yang marah dan berbuat brutal padanya malah terbayang terus di benaknya. Aku harus bagaimana? July gelisah. Di rumah kontrakan milik Prima itu ia mondar mandir tak jelas. Sejak Prima semalam memberitahunya bahwa ia akan kembali dan mereka bisa bertemu di rumah kontrakan, pagi-pagi sekali July sudah berada di rumah itu. July berniat mengatakan saran Lusi pada Prima, meminta pendapat lelaki itu karena ia sendiri merasa takut jika harus menemui Mira.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN