•BG - Syarat cerdas

1221 Kata
“Cinta pada pandangan pertama memang ulung terjadi. Tetapi saat ucapan awal yang dinilai, itu lebih menawan.” ..... “Gue hamil.” ungkap wanita itu pada pria berjas cassual di hadapannya. Pria itu hanya diam tak menampilkan ekspresi apapun. “Gue minta lo nikahi gue.” Pria itu menggerakan gelas single di genggamannya secara memutar di atas meja kaca menimbulkan bunyi dentingan di kesunyian. Menatap wanita itu, dia bersuara. “Berikan satu alasan kenapa saya harus menikahi wanita yang bahkan namanya saja saya tidak tau.” “Karna gue hamil anak lo.” Pria itu berdengus sinis. “Kebodohan remaja. Saya sebenarnya enggan berurusan dengan anak kecil. Tapi karna minuman itu, kamu harus terlibat. Mungkin itu takdirmu.” menatap intens ke arahnya. “Sebatas siri.” Wanita itu melebarkan mata. “Gue mau nikah resmi. Dan kalo lo berbiat cerain gue setelah anak ini lahir, lo harus tau, gue nggak akan pernah mau!” “Kalo itu tergantung.” wanita itu mengeryit meminta kejelasan.”Kalo bayi itu laki-laki, saya dengan senang hati akan resmi menikahi kamu.” “Jika sebaliknya? Apa lo akan menelantarkan kami?” pria itu menggidikkan bahu samar. “Siri, atau tidak sama sekali?” tanyanya yang lebih tepat seperti sebuah ancaman. Wanita itu mengeraskan rahangnya dengan wajah memerah menahan amarah. Dengan santai pria itu berdiri memutari meja dan berhenti tepat di samping wanita itu. “Nama?” iris coklat wanita itu melirik tajam sekilas. Menghela napas berat. “Ratu Avantika.” Sembilan bulan kemudian... “Aku mohon jangan cerain aku, mas...” “Tidak. Sesuai perjanjian.” “Aku mohon... setidaknya untuk anak kita.” “Cukup Ratu! Kamu sudah berlebihan. Mulai dari memanipulasi usg, kamu benar pembohong besar!” Mata Ratu menggelap. Matanya mengitari setiap sudut ruang serba putih itu. Mendapati pisau buah di atas nakas, Ratu menaruh tisu di tangannya lalu mengambil benda tajam itu. Dengan gerakan cepat ia menaruhnya di genggaman Giordanz untuk diarahkan ke pergelangan tangan kirinya sendiri. Srett Pisau itu berhasil menumpahkan cairan merah. Tidak sampai di situ, ia mengarahkan lagi ke lehernya. Giordanz sangat panik melepas pisau yang ia genggam. “Apa kamu sudah gila, ha?!” pekiknya. Ratu berdengus sinis di sela ringisannya. “Dua puluh tahun. Pembunuhan berencana maksimal dua puluh tahun. Kamu siap?” Giordanz bergemelutuk menahan emosi. “Jadi bagaimana tuan Giordanz Pamungkas yang terhormat?” wajah Ratu semakin pucat. “Rubah yang licik.” Ratu tertawa sebelum kesadarannya perlahan menghilang. ••• Ujian Akhir Semester satu telah tiba. Seluruh siswa Sma Merah Putih terlihat sibuk membolak balik lembaran buku sembari bibir terus-terusan bercebik mengulang apa yang tertulis disana. Lain hal dengan yang dilakukan lima sekawan yang tengah santai di bawah pohon rindang yang terletak di pinggir lapangan basket. “Lo gak belajar Bi?” Gwen bertanya di sela-sela kegiatannya merotasi bola basket dengan telunjuk. Beby yang sedang berbaring dengan paha Galuh sebagai bantalan kepalanya menggeleng. Galuh sendiri sibuk bermain ponselnya. Sesekali tangan kirinya mengelus rambut Beby. Selain rooftop, spot yang sekarang mereka tempati memang termasuk nyaman untuk kelimanya. Memang tidak se-private rooftop. Tetapi pohon yang memiliki diameter besar itu lumayan menutupi hiruk piruk langkah kaki manusia lainnya. Ditambah posisinya berada jauh dari bangunan sekolah. “Gue denger, sekolah lain belom pada UAS. Kenapa sekolah kita melenceng sendiri?” ucap Gildan dengan wajah kesal. Gwen langsung menghentikan kegiatan spin-ball nya. “Dan, lo emang mau berantem ya sama gue? Kemarin lo sendiri yang mau cepet-cepet UAS. Kenapa sekarang bacot lo beda?” “Kenapa lo yang marah? Suka-suka gue lah!” “Eh, Glen! Kemana?” Beby memanggil Glen yang sedari tadi diam itu tiba-tiba berdiri hendak pergi. “Kelas. Di sini ada makhluk astral.” tentu saja semua tahu siapa yang dimaksud Glen. Untuk hari pertama pelaksanaan UAS sendiri, terdapat tiga mata pelajaran yang harus siswa kerjakan. Mungkin bagi sebagian orang merasa aman-aman saja. Meski aman dalam berbeda versi. Ada aman karena memang menguasai materi berdasar kisi-kisi, dan merasa aman karena memang tidak ingin ambil pusing soal nilai. Jika Beby, Galuh, Glen dan Gwen termasuk di salah satu versi aman tersebut, kali ini Gildan gusar sendiri. Entah kenapa sedari tadi cowok berjambul itu sibuk sendiri mencari jawaban sana sini. “Bi,” desisnya tidak mau tertangkap basah oleh pengawas yang terkenal galak. Beby hanya diam menulikan telinga. Sebenarnya Gildan akan tahu begini. Percuma saja meminta pada Beby-nya di saat-saat seperti ini. Karena dari awal perjanjian, Beby sudah mewanti-wanti tidak akan memberi contekan saat Ujian maupun Ulangan. TAPI SAAT INI DIA SANGAT BUTUH!!! Lebih tepatnya Mapel Matematika yang saat ini sedang di kerjakan. Jadi, Gildan punya gebetan baru di sekolah lain. Ceweknya itu super duper gemesin menurut Gildan. Pengen banget langsung bawa pulang katanya. Tetapi, setelah di deketin, cewek itu galaknya minta ampun. Mungkin sebelas duabelas sama bu Ratna, yang saat ini menjadi pengawas di kelasnya. Dan singkat cerita, cewek gemesin itu memberi syarat kepada Gildan. Kalau Gildan bisa mendapat nilai tujuh puluh delapan atau lebih untuk ulangan Matematika, maka cewek itu bersedia ngedate seminggu dengan waktu yang di tentukannya. Tawaran yang menggiurkan bukan? Siapa tahu bukan cuma ngedate. Eh? Tetapi sepertinya itu bukan jalannya. Gildan melihat jam dinding di tembok depan kelas. Waktu ujian tersisa limabelas menit lagi. Dan lembar kerjanya baru terisi setengah. Itupun ia dapatkan dari hasil lirik melirik. Sudahlah. Sekarang ia memaku pada judul lagu Afgan. Jodoh Pasti Bertemu~~~ “Muka lo jelek amat.” cetus Gwen semenit setelah bu Ratna keluar kelas dan melihat wajah temannya itu tertekuk. “Dia takut gagal ngedate.” Beby menyahuti diselingi kekehan geli. Melihat wajah bingung Gwen, Beby menceritakan apa yang diceritakan Gildan padanya saat merengek meminta jawaban tadi. Sontak mereka tertawa. Bahkan Glen pun termasuk didalamnya. “Temen biadab! Lo lagi, giliran gue menderita lo baru berkespresi.” hardiknya terutama menunjuk Glen. Glen berangsur meredah tawanya. Menatap Gildan seperti biasa. Datar. “Siapa ceweknya.” Gildan mencebikkan bibir mendapatkan pertanyaan tidak sesuai nadanya. “Bilangin, gue suka.” ucapnya tiba-tiba. Tatapan keempatnya langsung beralih. Terlebih Gildan. Matanya seolah ingin keluar saat itu juga. “Lo jangan asal ngomong. Gue yang duluan incer dia!” “Suka gak kenal kata duluan. Salahin dia kenapa kasih syarat terlalu cerdas sama elo.” Beby dan Galuh saling pandang. Tersenyum lalu mengangkat bahu memperhatikan drama aneh di depan kembali. “Cerdas? Dia cuma kasih standar KKM gitu dibilang cerdas. Malahan gue rasa, cewek gemesin gue itu sengaja kasih syarat yang mudah. Biar bisa ngedate sama gue.” Glen menyungging senyum miring. “Justru itu. Dia itu realis dan tepat menilai orang kayak lo. Coba pikir, dikasih standar KKM aja lo kelabakan. Apalagi nilai sempurna?” dan seketika tawa Gwen pecah disusul kekehan geli Beby dan Galuh. “Bener-bener. Ucapan Glen lebih masuk akal.” jitakan keras menyusul setelah penuturan Gwen utarakan. “Masuk akal pala lu!” Gildan menggeleng keras. “Nggak-nggak! Pokoknya Jelita punya gue!” “Oh, namanya Jelita.” Gildan lagi-lagi menggeleng-geleng akan kebodohannya. “Gak—maksud gue—akh! Terserah! Yang pasti jangan pernah deketin dia. Titik.” “Jelita, Jelita anak Muda Bhakti?” celetuk Beby mendapat senyuman dan tatapan kesal bersamaan dari kedua orang itu. “Ups! Maaf, gak sengaja.” memberi jari telunjuk dan tengah, dengan wajah menyesal ia perlihatkan pada Gildan yang sudah kebakaran jenggot. Habis sudah rencananya. Sepertinya, Gildan harus siap melawan Glen. •••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN