“Baik itu diwajibkan. Tapi jangan ada mau baru baik!”
....
Di dalam kamar di temani sunyinya malam, Beby hanya bisa melihat ke luar dibalik jendela.
Andai saja ada Gildan cs, ia pasti tidak akan murung seperti sekarang.
Saat ini Giordanz, ayahnya sedang pergi dalam rangka urusan bisnis. Sedangkan Ratu, wanita itu entah pergi kemana.
Yang jelas, yang tinggal ia, Leina dan tentu kedua anak laki-lakinya.
Semua asing baginya. Mungkin ini yang disebut tempurung tertukar. Dimana ia lebih nyaman di luaran sana ketimbang di dalam rumahnya sendiri.
Tok tok tok
Tanpa menoleh ke arah pintu yang baru saja diketuk dari luar, Beby mempersilahkan orang itu masuk.
“Ini s**u coklatnya, non.” suara itu terasa baru di telinganya. Beby pun berbalik dan mengeryitkan dahi.
“Pembantu baru?” gadis itu mengangguk dengan wajah menunduk.
“Saya permisi dulu, non.” tak ada jawaban.
Beby berbaring menengadahkan pandangannya. Pikirannya melayang pada hasil ulangannya nanti.
Ya, tidak terasa satu minggu telah berlalu dan kini para siswa tinggal menunggu hasil kerja mereka. Butuh sekitar 2-3 minggu waktu penerimaan rapor.
Memikirkan itu, Beby hanya bisa pasrah. Setiap kali rapor itu sampai ditangan Giordanz, ia jamin lima menit setelahnya tubuhnya akan penuh memar.
Kenaikan kelas sebelas lalu, ia mendapatkan peringkat dua di kelas. Namun nilainya cukup tinggi sehingga jika di urutkan keseluruhan jurusan IPS, dia hampir menyamai juara satu di kelasnya yang sekaligus menyandang juara paralel angkatan mereka.
Tapi nyatanya ayahnya tak pernah puas. Selalu dibandingkan dengan saudara tirinya, Vino Andrian Giordanz. Dan kalo sang ayah tidak puas, otomatis itu berlaku sama bagi Ratu.
Dibawah sana, tepatnya di ruang keluarga, Leina beserta Yero dan Vino tengah menonton tv bersama.
“Bang, gimana ulangannya?”
“Lancar Bun,”
“Bang,” Leina beringsut mendekati Vino. Yero terlihat sedang sibuk bermain robot-robotan di karpet bulu tebal.
“Iya Bun?”
“Beby, kalo di sekolah gimana sih?” pertanyaan itu berhasil mengangkat satu alis hitam tebal Vino.
“Biasa.”
“Ah masa sih? Beby kan cantik banget gitu, masa biasa aja?” Leina kurang puas. “Dia pasti banyak yang deketin ya? Pasti temennya banyak.”
“Cuma empat orang. Cowok semua.”
“Apanya? Temennya?” Vino menggidikkan bahu sekali tanpa menghilangkan fokusnya pada TV.
“Mungkin.” Leina menghela napas pasrah sedikit kesal. Putranya yang satu ini memang buta akan sekeliling. Kurang pergaulan.
Dari arah dapur pembantu baru tadi datang membawa nampan. Meletakkan beberapa macam camilan dan gelas berisi teh tawar hangat.
Leina berbinar mengingat sesuatu. “Mia, Vino bilang kamu adik kelasnya. Berarti kamu satu sekolah sama Beby juga dong?” gadis bernama Mia tersenyum canggung mengangguk pelan.
“Ceritain tentang Beby sama saya ya?” Mia melirik Vino yang hanya diam.
“Kak Beby terkenal pinter di angkatannya. Dia juga punya empat sahabat cowok yang akrab banget. Mereka disebut G4B1.”
“Kenapa disebutnya gitu?”
“Itu diambil dari huruf depan mereka berlima. Jadi nama empat cowok itu awalnya G, dan B itu untuk kak Beby. Mereka deket...banget. Kemana-mana pasti mereka bareng. Dan kalo mencarpun, salah satu pasti ada yang bareng kak Beby.” Mia menjadi relax. Bahkan entah sejak kapan ia sudah duduk di samping Leina.
“Waw! Semacam friendship goals gitu ya,”
“Bener tante. Tapi dari yang aku liat, karna itu juga kak Beby jadi banyak heters nya di sekolah.”
“Loh, kenapa?”
“Lebih tepatnya cewek-cewek sih.”
“Oh, itu mah klasik. Nggak papa, orang cantik emang banyak resiko.” Mia tersenyum sopan menanggapi.
“Mia Mia, taukan persahabatan antara perempuan dan laki-laki itu pasti gak murni hanya sebatas itu. Pasti salah satu dari mereka, pacar Beby mungkin?” meski sedari tadi diam, bukan berarti Vino tuli. Ia menggeleng menyayangkan sifat kepo bundanya.
“Kalo itu sih susah tante. Karena mereka selalu bilang cuma temen. Tapi ada satu yang keliatan deket banget sama kak Beby. Bahkan belum lama ini, kak Beby pernah adu mulut sama pacar dari temennya itu.”
“Emang siapa namanya?”
“Galuh Panca Utama. Mereka berlima sekelas kok tante.”
“Ah... tante jadi makin penasaran. Nggak kayak anak cowok tante. Masa remajanya gak menarik. Ditanya tentang perempuan, dia pasti pura-pura tuli. Nggak asik!” Mia tersenyum geli melihat anak dan ibu itu.
“Mia,” panggil Leina sendu. Mia berdehem.
“Iya tante?”
“Kamu mau yah, jadi temen Beby?” Mia sontak membeliak. Boro-boro jadi temen, nggak sengaja nabrak aja udah mau dianiaya.
Vino yang merasa situasi mulai canggungpun berdiri. “Vino ngantuk. Mia, kamu tolong bawain salad buah ke kamar.” Mia mengangguk lalu berlalu pergi tanpa menjawab permintaan Leina. Mia berhenti saat Vino menaiki anak tangga. Ia tersenyum memandang punggung yang semakin jauh itu.
“Kayaknya, aku suka sama kak Vino.”
•••
“Pegang gasnya. Kalo mau jalan, baru masukin gigi.”
“Gigi berapa?”
“Dua.”
Di hari minggu ini, sasuai perjanjian Galuh akan membantu Beby belajar mengendarai motor R-15 miliknya. Tidak langsung moge. Mereka belajur berangsur-angsur. Kemarin Beby sudah bisa membawa sepeda roda dua. Dan saat ini giliran motor biasa yang Galuh pinjam dari temannya.
Beby menekan gigi motor hingga menjukkan angka dua. Manarik gas motor perlahan, Galuh yang membonceng dibelakangnya terus memberi arahan dengan sesekali pujian agar dia bisa.
“Di depan ada tikungan, entar setirnya belokin ke kiri. Awas, beloknya pel—”
Bruk!
Belum selesai memberitahu, mereka berdua sudah jatuh di rumput halus pinggir taman.
“Lo gak papa kan Beb? Mana yang sakit?” Galuh beringsut menghampiri Beby yang terlentang. Tepat di atasnya, ia menyirat kekhawatiran yang tinggi.
“Nggak papa. Cuma lecet dikit doang.” pandangannya jatuh pada motor berwarna hijau di samping mereka. “Tapi motornya...”
“Jangan dipikirin.” Galuh membantu Beby duduk. “Mau langsung pulang?”
“Um... abis ini lo mau kemana?” ucapnya malah balik bertanya.
“Anter lo pulang. Terus nelpon Glen, buat anter motor Beni. Emang kenapa?”
“Ini masih jam lima loh Gal, gimana kalo—” Beby menatap cowok tampan asal Bandung itu ragu. “Gue ikut. Yayaya? Please...”
“Tapi kaki lo?”
“Nggak papa kok. Cuma lecet dikit doang. Boleh ya?” Galuh menggigit bibir atasnya menimang. Dan senyum Beby merekah saat anggukan Galuh berikan.
“Makasih.” memeluk singkat Galuh. Galuh membalas tersenyum.
“Gue calling Glen dulu.”
“Biar gue aja.” Beby mengambil ponselnya dan mendial-up nomor Glen.
Di seberang sana Glen sedang membujuk Jelita untuk pergi dengannya. Terjadi tarik menarik antar keduanya.
Jelita yang merasa tidak kenal dengan Glen, tentu saja terkejut dan was-was pada cowok itu.
Awalnya, Jelita tengah duduk sendiri di cafe dan tiba-tiba Glen datang menghampirinya. Glen memperkenalkan diri dengan wajah datar. Dan yang membuat Jelita takut adalah, Glen bahkan tahu namanya. Apa dia penguntit? Pikirnya kala itu.
“Lepasin! Lepasin gue bilang!”
Nada dering dari saku celana jeans hitam milik Glen berbunyi. Masih dengan mecengkeram pergelangan kanan Jelita, Glen menjawab panggilan itu.
“Kenapa Beb?” Jelita membeliak mendengarnya. What? Beb?
Jelita menatap marah cowok yang masih setia berbicara dengan seseorang.
“Gue kesana.” itulah yang terakhir Glen katakan sebelum menutup sambungan dan memasukan ponselnya kembali. “Akh!” Glen mengusap-usap pelan hasil gigitan Jelita.
“Dasar kadal! Punya pacar masih aja deketin cewek lain.” dari jarak 10 meter Jelita memandang jijik Glen.
Glen hanya menghela napas lelah dan memilih pergi ketika Jelita sudah tak terlihat.
Dan di tempat Beby dan Galuh berada, mereka tak menyadari ada sepasang mata sedalam safir memperhatikan keduanya dengan benda pipih bercasing papan catur menempel di telinga kanannya.
“Dia baik-baik aja, Bun.”
•••
Ketika Glen sampai di taman, ketiganya langsung saja berangkat untuk segera mengembalikan motor milik Beni.
“Lo tau rumahnya kan?” tanya Galuh memekik pada Glen agar suaranya tak teredam ributnya kendaraan lain.
“Nggak.”
“Lah? Terus ini gimana? Lo gak coba hubungin Beninya dulu?” usul Beby di telinga kiri Galuh.
“Udah gue coba Bi. Tapi dia gak angkat.”
“Gue taunya belokan kompleksnya doang. Apa kita tanya-tanya aja ya?” dibelakang Beby mengangguk.
Mengandalkan ingatannya, Galuh berbelok di salah satu gang.
Galuh berhenti di pinggir jalan yang diikuti Glen dibelakang. Ia mengambil ponsel dan memberikanya kepada Beby.
“Kita tanya orang-orang, entar lo tunjukin foto Beni.” Beby mengangguk mengerti.
Melajukan motor kembali, beberapa kali mereka bertanya pada orang yang berlalu lalang, namun satupun tidak ada yang mengenal Beni.
“Permisi mas. Mas kenal orang ini gak?” Beby bertanya pada lima pemuda yang sedang nongkrong bareng.
Salah satu dari mereka berdiri yang kini tepat berhadapan dengan Beby.
“Beni?” Beby mengangguk senang.
“Bener mas.”
“Lo-gue aja.” sanggah pemuda itu.
“Jadi rumahnya dimana yah?” tanya Beby merasa risih karena terlihat jelas cowok di depannya itu memperhatikannya intens.
“Ikutin gue.” cowok itu mengambil motornya. Bebypun berlalu menghampiri Galuh dan Glen.
“Gimana Bi?”
“Dia mau nunjukin langsung katanya.” menaiki motor Galuh, mereka mulai mengikuti kemana pemuda tadi pergi.
Mereka berhenti di depan rumah berukuran lumayan besar berwarna jingga dan hijau.
Mengetuk pintu utama, Galuh memberi salam. Tak lama kemudian decitan pintu terdengar.
“Woi! Tau dari mana rumah gue?”
“Modal nanya. Lagian lo susah banget dihubungin.”
“Hp gue mati bro. Sorry.” keduanya terlarut dalam obrolan sampai Beni lupa mempersilahkan mereka masuk.
“Boleh kenalan? Gue Reno.” suara dari samping menyentak Beby. Pemuda itu tersenyum. Menyodorkan tangan, Beby pun menyambutnya.
“Beby.”
“Sayang dong, yah?” Beby meringis paksa. Kalau bukan karena pemuda itu yang menunjukan jalan, ogah banget.
Terdiam cukup lama, meski tak melihat Beby merasa lelaki bernama Reno itu menatapnya.
Dan perasaan anehnya terjawab ketika Reno mendekatkan diri.
“Di belakang lo ada sesuatu.” awalnya Beby hanya diam, tetapi ketika sesuatu terasa meraba pinggulnya, Beby tentu tidak tinggal diam.
“Jangan kurang ajar ya!” Galuh yang tengah mengobrol dengan Beni berbalik. Glen yang berdiri di samping kanan Beby pun terkejut.
“Gue cuma mau buang sesuatu tadi.” bela Reno.
“Kenapa Bi?” tanya Galuh.
“Dia mau megang-megang gue.” penjelasan itu mengundang tatapan tajam dari Galuh dan Glen.
“Kurang ajar!” dan adu pukul pun terjadi. Galuh dan Glen membabi buta memukuli Reno yang hanya bisa menangkis kala mendapati serangan dari kanan kirinya.
Beni sebagai pihak netral mencoba memisahkan. Tetapi sama sekali tidak melerai apapun.
“Beby, suruh udahan kek.” pinta Beni.
“Biarin aja. Cowok kayak gitu emang harus diajar.” kalau sudah begini, Beni tidak bisa berbuat apa-apa.
......