•BG – Peduli

1141 Kata
“Sebesar apapun egomu, tindakanmu mencerminkan sebagian hatimu.” ..... Keadaan Beby sangat-sangat buruk sekarang. Rambut yang acak-acakan, wajah memerah, pun pakaian yang kusut di keluarkan. Bukan hanya penampilannya, perasaanya pun tak kalah berantakan di rundung kekesalan. Dugh Beby menubruk seorang gadis pembawa botol kecil berisikan tinta hitam. Dan naasnya, semua cairan hitam pekat itu berpindah ke tubuhnya. Amarahnya yang seharusnya berangsur hilang, sekarang justru berkobar bahkan lebih besar. Dan demi apapun, celakalah bagi sang pembangkit singa murka. Tanpa babibu Beby mencengkeram rambut gadis itu. Serangan Beby seperti hewan liar yang sedang mengamuk. Tanpa ampun. Gadis dalam cengkeramannya berteriak histeris menunjukan ringisan kesakitan. “Lepasin Kak. Sakit.” Tiba-tiba Beby merasakan tubuhnya melayang dengan sebuah tangan melingkar di pinggangnya. Beby meronta meminta diturunkan. Tapi orang itu terus berjalan membawa Beby dalam diam. Orang itu menurunkan Beby di sebuah brankar. Mereka di uks. Betapa terkejutnya Beby, ternyata orang yang membawanya itu adalah Vino Adrian Giordanz. Saudara tirinya. Beby yang hendak melayangkan protes terurung merasakan sesuatu yang dingin menyentuh kulit wajahnya. Vino membersihkan cipratan hitam di wajah Beby yang lumayan banyak. Jarak keduanya hanya satu jengkal. Dan iris cokelat gelap milik Beby tanpa disadari memperhatikan sosok di hadapannya. Wajahnya terlihat jelas blasteran. Hidungnya mancung. Netra hazelnya tajam namun teduh, dan alis tebal bersiku miringnya itu sangat kontras dengan kulit putihnya. Dan ketika bibir ranum itu berucap, Beby mengerjap kaget. “Tutup mata.” suara bass nya menginterupsi. “Lo jang—” belum sempat melanjutkan, Beby spontan menutup mata kala Vino mengusap kelopak matanya dengan facial lotion. “Udah.” mendengar itu Beby perlahan membuka mata. Beby terus memperhatikan gerak-gerik cowok di sampingnya yang sedang membenahi kapas dan botol facial lotion yang digunakan untuk membersihkan wajahnya tadi. Hingga sebuah suara mengalihkannya. “Beb?” Beby menoleh ke ambang pintu. Ternyata itu suara Galuh. Galuh mendekat ke arahnya. “Lo nggak papa kan? Kenapa bisa masuk uks? Apa gara-gara berantem sama Rere tadi? Mana yang sakit?” cecarnya panik. “Enak aja. Lo pikir gue selemah itu. Gue nggak papa. Cuma ya ini, gara-gara cewek lo, dua kali baju gue basah. Emang resek banget tuh cewek.” “Gue beliin lagi yang baru. Lo tunggu sini.” Beby menahan lengan Galuh yang hendak pergi. “Udah nggak usah. Masuk ini Seni sama Ketrampilan kan?” Galuh mengangguk. “Bagus deh. Gue juga lagi nggak mood belajar.” “Terus lo mau kemana?” “Pura-pura sakit.” Beby tersenyum lebar memperlihatkan gigi putihnya. “Gue temenin.” “Bilang aja lo juga males.” keduanya tersenyum. Beby sempat mengedarkan pandangan mencari keberadaan Vino. Tapi sepertinya cowok itu sudah pergi. Keduanya menghabiskan waktu sembari menunggu bel pulang dengan mengobrol tentang banyak hal. Sesekali mereka bermain game online dengan hukuman benturkan jidat untuk yang kalah. Padahal jika dipikir, siapa yang menangpun akan mendapat sakit yang serupa bukan? “Ih, curang ah!” rungut Beby. Galuh tertawa gemas mengacak rambut Beby. “Udah. Kalah ya, kalah aja. Jadi, sini jenongnya.” “Apa lo bilang? Gue nggak jenong yah!” “Kalo bukan jenong, terus mau di sebut apa? Lebar?” Beby langsung menghujani cowok itu dengan pukulan dimana-mana. “Udah-udah, Bi. Nggak capek apa.” napas mereka tak beraturan. “Sekarang giliran hukuman.” Galuh beringsut menangkup kedua sisi wajah Beby. Tatapan mereka saling beradu intens. Galuh semakin memangkas jarak hingga dahi mereka bersatu. Beby refleks menutup mata rapat menimbulkan kerutan bersiap membuat Galuh tersenyum masih dalam posisi yang sama. Tet tet tet Bunyi bel menyadarkan Beby. Galuh sudah kembali pada duduknya. “Kok nggak sakit?” heran Beby. “Sengaja.” “Udah jenong, kalo ditambah benjol kan nggak lucu, Bi.” lanjut Galuh membuat Beby ingin mengubur cowok itu hidup-hidup. “Pulang sama siapa?” Beby lupa ini. Ia tadi berangkat bersama Vino. Apa pulang juga harus bareng? Tapi Beby males banget. Tapi kalo dia nungguin? Tapi... bomat lah! Batinnya. “Kalo minta lo anter?” Galuh terkekeh lalu mengangguk. “Ya udah. Lo tunggu di sini bentar. Gue mau ambil tas kita dulu.” Beberapa menit kemudian Galuh kembali dengan dua tas ditangannya. Galuh menyodorkan tas marun bergaris putih milik Beby, serta jaket jeans miliknya. “Gue nggak papa.” “Pake.” “Nggak mau.” “Pake, Bi.” “Kasih alasan kuat, kenapa gue harus pake jaket lo?” Galuh menghela napas samar dan memberi kode dengan mata ke arah baju Beby. Beby mengikuti arahan Galuh. Dan ketika itu pula ia langsung menyambar uluran Galuh. “Makanya, kalo di suruh itu jangan banyak nanya. Malu sendiri kan.” Beby memajukan bibir bawahnya kesal dan malu. “Nggak ada terima kasih. Kancing gue copot juga karna cewek preman lo kan?” Beby melenggang pergi. Galuh menatap geli gadis yang sudah berlalu keluar uks itu. ••• Untuk hari ini sepertinya tidak ada kata bebas. Gadis berambut hitam sepunggung itu harus rela menghabiskan waktunya di istana bak neraka ini. Dengan kegiatan itu itu saja, tak pelak menghilangkan aura muram di wajahnya. Bagaimana tidak? Dari sepulang sekolah, kerjaanya main handphone, nyemil, minum, udah. Berulang selalu sama. Siapa yang nggak bosan? “Jatoh tau rasa lo!” cibir Beby memperhatikan Yero yang tengah berjinjit di atas kursi mencoba mengambil mainan di dalam lemari besar penuh dengan segala macam mainan khusus anak laki-laki itu. Bruk “Huaaaaa...hiks hiks...” “Baru juga dibilangin.” Beby berbalik menuju lift tak peduli dengan tangisan Yero. “Bunda... Yero jatuh... sakit.. Yero berdarah bunda...hiks hiks...” Beby berdecak mendengarnya. Ia berbalik dengan wajah kesal. “Bangun!” Yero sontak mendongak. Pipinya sudah membekas air mata. Dengan berkaca-kaca di lihatnya Beby penuh melas. “Kakak... tolongin Yero.” melihat itu Beby sedikit tersentuh hingga raut wajahnya tak sejutek tadi. Berdehem menyamarkan rasa kasihannya, ia berjalan mengambil P3K di dapur. Gadis itu berjongkok dihadapan Yero dan dengan telaten memberi betadine ke luka Yero. Jika saja yang memberi obat itu bunda atau daddy-nya, Yero pasti akan berteriak kesakitan. Tapi anak kecil itu tidak cukup berani berlaku sama dengan kakak perempuanya itu. Dari awal Yero tidak pernah berbicara apalagi dekat dengan Beby. Yero bahkan jarang bertemu dengan Beby kecuali di ruang makan. Selesai menutup luka Yero dengan plester, gadis itu berdiri kembali. “Yero?” panggil Leina dari lift mendekat. “Kamu kenapa sayang?” tanyanya cemas melihat kain berwarna kulit di lutut putranya. Beby yang melihat itu, langsung pergi dalam diam. “Tadi Yero naik di kursi mau ambil mobil-mobilan. Tapi kursinya joget joget, jadinya Yero jatoh.” jelas Yero mengerucutkan bibir lucu. Leina tersenyum. “Kak, Beby baik Bun.” Leina mengeryit. Wanita itu membantu Yero berdiri. “Iya. Kak Beby yang obatin luka Yero. Yero pikir kak Beby bakal marah-marah. Soalnya matanya melotot gitu, Bun.” lanjut Yero. Leina tersenyun mendengarnya. Mengetahui dia tidak butuh banyak cara. Cukup tau. Dan cukup pemahaman. “Kita ke atas sayang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN