“Bunga mawar cantik karena warnanya. Bunga raflesia indah karena salah satu bunga langka. Begitu juga dengan manusia. Aku dan dia berbeda.”
.....
Sembari menunggu rekapan nilai, seperti biasa sekolah akan mengisinya dengan kegiatan yang dinamakan class meeting.
Pertandingan diantaranya ada volly ball, basket, dan futsal.
Untuk pengisiannya sendiri, Osis mewajibkan tiap kelas mengirimkan regu.
Dari kelas XI IPS 3, yaitu kelas Beby dan Gildan cs, mereka tak akan melupakan kegiatan ini. Walau b****k di materi, keempat cowok backing-an Beby itu tidak lemah di olahraga. Bisa dibilang, mereka hanya menyukai kegiatan yang berbau olahraga.
Jelas karenanya, ke empatnya bahkan masuk kedalam setiap regu kelas mereka. Di tim basket ada mereka, futsal ada mereka dan begitu pula di tim volley.
Tidak ada yang berkomentar. Justru sebagian siswa sekelas merasa senang karena tidak harus capek-capekan.
Jika itu tim laki-laki, lain hal dengan tim perempuan. Perempuan di kelas mereka terkenal genit-genit dan anti panas. Otomatis dengan kegiatan outdoor begini, mereka saling dorong-mendorong menunjuk siapa saja yang ikut asalkan jangan diri sendiri.
Kalau Beby sendiri siap-siap saja. Hanya dia tidak mau berkomentar apapun. Bukannya didengar, ia pasti akan di omongkan yang tidak-tidak. Jadi, terserah saja.
•••
Laut mana laut? Saat ini Beby ingin sekali menenggelamkan diri hidup-hidup.
Singkat cerita. Ada dua jenis kabar. Pertama kabar baik dan yang kedua adalah kabar buruk.
Baiknya, setelah adu cekcok menentukan siapa saja yang akan ikut bertanding, Fendi selaku KM memutuskan semua perempuan diwajibkan ikut. Mereka di pecah untuk bagian lomba masing-masing. Karena dihitung dari jumlah tidak memenuhi tiap regu, ada beberapa orang yang main lebih dari satu jenis pertandingan. Dan Beby termasuk dari beberapa orang itu. Beby dimasukan ke dalam tim volley dan juga futsal.
Dan untuk kabar buruknya, itu terjadi saat ini yang dirasakan Beby.
Main volley, ketika lawan memberi bola, teman-temannya malah menghindar dan beberapa berteriak tidak jelas. Sehingga setiap bola datang, Beby yang selalu menangkisnya. Tapi tentu saja itu tidak cukup. Sama hal dengan futsal. Bahkan pertandingan ini lebih parah lagi. Bayangkan saja, kiper yang seharusnya ada di depan gawang, sang kiper regunya malah berteduh di bawah pohon pinggir lapangan dengan kipas tangan pink digenggamannya.
Dan karena semua itu juga, dibabak pertama mereka sudah kalah. Yang otomatis tidak bisa melanjutkan kepertandingan berikutnya.
“Pengen makan orang!!!” Beby terengah masuk ke dalam kelas kemudian duduk di tempat duduknya.
“Kenapa lagi Bi?” tanya Galuh.
“Kalian bayangin yah, gue tadi main kayak cuma main sendiri tau gak. Di kelas ini ceweknya pobia bola semua. Stres!”
“Sabar. Lagian kayak gak tau cabe-cabe di sini aja. Makanya gue males macarin cewek disini. Kecuali, kalo lo mau sama gue sih.” sambar Gildan cengar-cengir. Semua terkekeh dengan tingkah konyol teman mereka yang satu itu.
“Kantin Bi?” tawar Galuh menghiraukan Gildan.
“Minta mineral aja deh. Gue mau ke lapangan lagi.”
“Ya udah entar gue bawain.” Galuh, Gildan dan Gwen pergi ke kantin. Sedangkan Glen dan Beby pergi ke lapangan untuk menonton pertandingan yang sekarang dari perwakilan XI IPA 1 dan XII IPS 2.
Beby sangat tahu siapa yang tengah bermain basket saat ini. Orang yang sangat berpengaruh dalam hidupnya. Orang yang membuat ia selalu diangkap kurang dan kurang. Dia adalah Vino.
Cowok itu memang mengambil jurusan IPA. Entah alasannya apa, Beby sama sekali tidak ingin tahu.
“Si Vino cakep banget gila.”
“Iya. Udah putih, tinggi, ganteng, cool lagi. Perfect banget. Sayang susah dideketin.”
“Iya, tapi yang gue denger dia lagi deket sama adik kelas tau. Gak percaya banget gue.”
“Masa sih? Tapi Vino tuh beneran yah, dia itu dingin tapi baik. Pelit senyum, tapi kalo sekali senyum, beuh! Killer abis. Pasti kalo jadi istrinya bahagia banget ya. Makin pengen milikin jadinya. Hahaha...” bisik-bisik itu terdengar menjijikan di telinga kesayangan Beby. Ia sampai menggidikkan bahunya dengan bibir berkomat kamit menyebut 'amit-amit' berulang.
Tanpa diintruksi, mata hazelnya kini bukan fokus pada permainan di tengah lapangan sana. Melainkan memperhatikan objek pembicaraan kedua gadis lebay di sampingnya tadi. Vino dengan jersey kuningnya begitu mencolok bertemu kulit putihnya. Beberapa kali Vino terlihat mendominasi permainan dan berhasil memasukan bola ke ring lawan.
Hingga tidak terasa pluit di bunyikan menandakan permainan telah selesai. Dan sekaligus menyatakan kemenangan telak untuk tim Vino.
•••
Di hari kedua class meeting, Beby yang sudah tidak memiliki kegiatan lagi hanya bisa memberi dukungan kepeda empat temannya yang masih berjuang melawan kelas lain.
“GLEN!!! GALUH!!!”
“AYO GILDAN GWEN!!!”
“GO 4G GO 4G GO!”“
Tetapi kebisingan itu mengganggunya. Suara nyaring alias cempreng milik kaum hawa di sana sangat memekakkan telinga.
Tidak ingin menjadi budeg dadakan, Beby memilih mengasingkan diri. Langkah kakinya membawa ia ke Lab komputer.
Menempati salah satu meja, Beby mulai mengakses komputer. Di kotak pencarian, hanya satu yang Beby fikirkan. PRAMUGARI.
Profesi yang dari kecil dicita-citakannya. Bukan karena bisa keliling dunia atau karena hidup mewah. Keinginan itu ada karena keadaan keluarganya.
Dimana dengan alibi kerja, Beby bisa pergi jauh dari rumah menghindari konflik-konflik yang ada. Tidak perlu berpura-pura betah seperti apa yang dilakukan maminya.
Tetapi sekali lagi keinginannya itu ia harus urungkan. Yah, siapa lagi pelampiasan ambisi Ratu Avantika kalau bukan dirinya?
Lulus SMA, kuliah, dan terjun dalam dunia bisnis yang sesungguhnya. Aturan main yang sudah terancang manis sejak lama.
Melihat sekelompok perempuan berseragam khas di samping pesawat yang amat besar di monitor begitu menyenangkan dimatanya. Hasratnya sangat dalam untuk yang satu ini. Andai saja—
“Bi?” seruan mendadak itu menyentaknya. Itu Galuh.
“Hmm?”
“Ayo!” Beby mengangguk, men-nonaktifkan komputer dan turut mengikuti Galuh.
.....
Hari itu tiba. Setiap tahunnya, yang mengambil rapor milik Vino dan Beby adalah Leina.
Untuk informasi saja, meski nama keduanya menyandang kekeluargaan yang sama, namun belum banyak yang tahu bahwa dua orang itu adalah saudara tiri.
Jujur, meskipun Ratu terlalu menekannya, tetapi ia lebih baik kalau wanita itu yang menjadi walinya. Jikalaupun tidak, ia lebih memilih tidak ada yang datang.
Tapi sepertinya itu tidak akan terjadi. Melihat dari realita ia hanya anak dari istri pertama yang berstatus 'siri', pasti tidak akan dilakukan oleh seorang Giordanz Pamungkas. Menjadi yang pertama, tetapi bukan yang utama. Bahkan tidak dianggap. Itulah status ibu kandungnya.
Sampai sekarang Beby tidak mengerti apa yang maminya harapkan. Karena harta? Ya, mungkin karena itu.
“Beby Naisyila Giordanz?” Leina dengan kebaya putih sederhananya maju ke depan kelas. “Selamat bu Leina. Beby mendapatkan peringkat satu.” ucap bu Helen selaku wali kelas Beby. Leina tersenyum membalas, kembali ke tempat duduk.
Selang beberapa menit, Leina berdiri lalu menghampiri bu Helen kembali untuk undur diri, karena ia harus mengambil rapor Vino juga di kelasnya.
Dan hasil yang diterimanya pun tak jauh berbeda. Vino kembali menjadi rangking satu di kelasnya. Dan sekaligus menjadi juara paralel IPA seangkatan (lagi).
Kini Leina, Vino dan Beby berada dalam mobil MPV hitam yang dikemudikan Pak Danang, salah satu supir keluarga Giordanz.
“Bunda selalu bangga sama kalian berdua.” tutur Leina duduk diantara kedua remaja itu. “Karna kalian udah bikin bunda senyum sepanjang jalan tadi, sekarang bilang sama bunda, kalian mau hadiah apa? Hm?” menatap kanan lalu ke kiri.
“Vino simpen. Gak sekarang.” suara Vino menanggapi.
“Ok. Entar kalo ada yang kamu mau, langsung tagih ke bunda.” Leina beralih pada Beby yang hanya bergeming. “Kalo kamu sayang?”
“Nggak perlu.” hanya itu dan keadaan menjadi hening sampai mereka tiba di rumah.
“Papi sudah menduga, kamu pasti tidak akan mengecewakan. Sesuai ekspektasi.” komentar Giordanz sesudah melihat buku bersampul warna turquoise di tangannya.
Perhatiannya hanya jatuh kepada Vino dan Leina. Sedangkan Beby yang jelas-jelas berdiri sejajar dengan keduanya sama sekali tidak diliriknya. Menyapapun tidak.
Merasa percuma, Beby melangkahkan kaki hendak menuju lift. Baru selangkah hendak menunju benda itu, perkataan Giordanz kembali menyesakkan.
“Jangan pernah gunakan lift. Itu saya peruntukkan untuk orang yang saya cintai dan orang-orang yang berguna.” dan artinya dia tidak ada dalam golongan keduanya. Tidak dicintai, tidak pula berguna.
Tanpa membalik badan untuk sekedar membalas ucapan, Beby melanjutkan langkahnya yang sekarang memilih manaiki undakan anak tangga.
Gadis berusia 16 tahun itu lupa akan satu hal. Satu hal lagi yang disebut beban. Ratu Avantika. Wanita yang sekarang tengah berdiri di tengah kamarnya.
“Karna kamu mendapat peringkat satu, mami bisa tolerin hukuman kamu sekarang. Kenaikan kelas nanti kamu harus sama kayak Vino.” ia berdiri tepat di samping telinga putri satu-satunya itu. “Jangan banyak main.” Ratu berlalu pergi meninggalkannya sendiri.
Tatapan Beby kosong lurus ke depan. Mengkedipkan mata saja rasanya enggan ia lakukan. Ia merasa sangat lelah akan semua ini.
Di luar sana, ia dibanjiri pujian. Dengan pencapaiannya sekarang, orang tua normal seharusnya memberinya kata selamat dengan penuh kasih sayang.
Tapi apa yang ia dapat?
Kurang kurang kurang dan kurang. Dia bingung harus bagaimana lagi? Apa yang sebenarnya mereka inginkan?
Kenapa harus memakai tolok ukur untuk kemampuan seseorang. Ia akan sangat paham jika itu dipergunakan agar ia pintar. Tetapi jika sudah begini, segalanya akan selalu kurang. Karena setiap orang punya kesanggupan dan kemampuan yang berbeda.
Tubuhnya terasa tak berenergi. Luluh lantah sudah pertahanannya. Melipat kaki perlahan, netra hazel yang sudah berkaca itu ia sembunyikan diatas lipatan kaki.
Kelemahannya pun jatuh. Menangis. Dalam sunyi berbalut pedih, tangisan tertahan yang bisa ia ungkapkan. Sesekali menggigit punggung tangannya agar suara lemah itu tidak terdengar.
Terdiam dalam tangis dari mata dan batinnya yang tersiksa.
.......