“Ketahuilah, selalu ada maksud dari sesuatu yang tertunda.”
.♻.
Handphone nya hilang. Beby baru menyadarinya ketika hendak memainkannya sebelum tidur. Seingatnya, saat menuju pulang benda pipih itu masuk ia pegang. Dan asumsi kalau benda itu tertinggal di mobil, itu paling masuk akal.
Tetapi itu tidak terlalu jadi masalah untuknya. Dia bukan tipe gadis yang misuh-misuh kehilangan benda penyelam dunia maya itu.
Bisa saja saat ini juga ia mengambilnya di mobil. Tapi tubuhnya sangat lelah dan memilih tidur adalah hal yang manusiawi.
Di kamarnya, Vino tengah menyenderkan punggungnya pada senderan ranjang sambil menimang apa yang harus ia lakukan pada handphone milik Beby yang ditemukannya.
Setelah cukup lama berpikir, rasa ingin tahunya mengendalikannya.
Menekan tombol utama, foto Beby tersenyum terpampang disana. Vino menelan salivanya berat. Ia tiba-tiba gugup. Kepalang tanggung, digesernya layar touch I-phone itu.
Tidak terkunci.
Andai saja ada password dan sejenisnya, mungkin lebih mudah. Tetapi kalau lapang begini, ia makin penasaran.
Vino memeriksa dari satu aplikasi ke aplikasi lainnya. Mulai dari yang bersifat umum, hingga pribadi. Contohnya kontak.
Hanya terdapat lima kontak yang tersimpan. Keempat adalah nomor sahabatnya dan untuk satunya itu sendiri nomor pemilik handphone. Mungkin sebagai pengingat.
Bahkan nomor orang tuanya dia tidak punya?
Beralih pada w******p. Inilah sumber datangnya notif berjibun yang menimbulkan bunyi sedari tadi. Menscrole ke bawah, banyak sekali nomor tanpa nama mengirim pesan maupun voice note.
Setelah memeriksa semuanya, Vino menyimpulkan bahwa Beby itu orang yang tidak terbuka meski pada benda dekatnya. Jika ingin tahu, ya harus akrab dulu.
Memperhatikan sejenak wallpaper-nya Vino kemudian memilih merebahkan diri dan tidur.
....
Keesokan paginya, dengan segera Beby mengecek ponselnya di mobil yang saat ini sedang di cuci Pak Dadang.
“Pak, bapak liat hp saya gak? Tadi malam ketinggalan di mobil.”
“Nggak ada, Non. Dari pertama saya bersihkan, tidak ada benda apapun yang tertinggal.” Beby mencebik kecil.
“Yaudah Pak. Makasih. Tapi kalo seandainya bapak liat, bapak kasih tau saya yah,”
Ketika majikannya berbalik, Pak Dadang mengingkat sesuatu.
“Non Beby!” Beby berhenti berjalan.
“Iya?”
“Saya baru ingat, sehabis saya solat subuh, Den Vino yang kasih kunci mobil ke saya. Den Vino juga bilang, kalo ada yang cari sesuatu, suruh cari Den Vino saja.” jelas pria berusia 50an itu.
“Oh, yaudah ntar saya tanya dia. Makasih Pak.” Pak Dadang mengangguk dan melanjutkan pekerjaanya.
Sebenarnya Beby malas kalau harus berurusan dengan makhluk bernama Vino itu. Tetapi ia butuh ponselnya kalau tidak mau terkurung di rumah bak neraka selama 2 minggu libur semester ini. Jadi, mau nggak mau ya harus MAU!
Beby mencari Vino dari dapur, perpustaan di rumahnya, bahkan ia harus sudi menginjakkan kakinya di area kamar lelaki itu. Namun hasilnya nihil.
Dan satu-satunya kunci terdapat pada Nyonya Leina Weraldi. Wanita yang menyebut dirinya Bunda.
Huh!
Lagi-lagi ia harus melakukan sesuatu diluar kemauannya.
Leina, wanita yang berusia lima tahun diatas ibu kandungnya itu terlihat sedang membuat s**u di gelas bening panjang.
“Ekhem.” terlalu gengsi memanggil sekaligus bingung mengambil atensi, hanya deheman itu yang menurutnya pas.
Leina menengok ke arah suara lalu tersenyum hangat setelah tahu siapa pelakunya.
“Kenapa sayang?”
Cukup lama bibirnya mengatup rapat diselingi beberapa kali sapuan lidah mencoba merangkai kata tanya yang tepat.
Kenapa nanya aja jadi susah gini, sih?!
“Beby?” tegur Leina ulang meyentak Beby.
“Liat Vino?” Leina mengeryit sebentar.
“Kamu cari Vino? Bunda liat dia tadi bawa bola basket. Mungkin di taman? Kamu cek aja.” dioper lagi.
Tanpa mengucapkan apapun Beby beranjak menuju taman yang berada di belakang rumahnya.
Benar saja sosok yang dicarinya ada disana. Sedang mendrible bola dan memasukkan ke dalam ring berulang kali. Cowok itu tidak sendiri. Di bangku taman dekat dengan Vino bermain terdapat seorang gadis lengkap dengan gelas berisi minuman ditangannya.
“Modus jadiin pembantu. Pembantu pribadi.” rutuknya sebelum melangkah semakin mendekat. Kini tatapannya sudah datar menubruk mata Mia hingga gadis itu berdiri dan menunduk.
“Mana handphone gue?” Vino sontak berhenti dari aktivitasnya dan menengok.
“Di kamar.”
“Ambilin.”
“Ambil sendiri.” Beby naik pitam. Dari tadi dia sudah kesana kemari naik turun tangga, dan sekarang cowok itu bilang apa?
Didekatinya Vino di depan ring dan melempari cowok itu tatapan tajam.
“Maksud lo apa nyuruh-nyuruh gue? Jangan gara-gara semua orang di rumah ini muji-muji lo, lo jadi seenaknya sama gue.”
“Seperti yang kamu lihat? Saya sibuk. Jadi kalo memang urgent, kamu bisa ambil sendiri di kamar.”
“Lo bener-bener ya—-” mengetatkan gigi, emosinya sudah di ubun-ubun. Menarik napas panjang lalu dihembuskannya perlahan.
Sebelum pergi, Beby berbalik dan terdiam di tempat. Pikirannya membawa ia mengingat sesuatu ketika melihat pembantu baru tersebut. Meneliti dari atas sampai bawah.
Dia ingat. Gadis itu adalah orang yang sama yang tempo hari memberinya noda tinta akibat tabrakan di koridor sekolah.
“Lain kali yang gue tabrak satu sekolah. Bawa kerja semua biar makin rame.” ucapnya dengan keras sebelum menjauh pergi.
•••
Fakta tak selamanya sesuai harapan.
Kalimat bijak itu mewakili apa yang sekarang terjadi pada Beby.
Rencana awal, G4B1 akan berangkat ke puncak untuk mengisi liburan selama tiga hari disana. Namun seketika angan-angan kebebasan sementara itu musna.
Ketika makan malam, Giordanz dengan kekuasaannya memberitahu bahwa ia ingin mengajak keluarganya pergi ke Bandung.
Giordanz memang mempunyai beberapa Villa di berbagai daerah. Salah satunya terletak di Bandung.
Pukul 16.35 mereka langsung berangkat dari Jakarta ke Bandung menggunakan pesawat yang hanya memakan waktu kurang lebih 30 menit.
Tidak sulit untuk Giordanz untuk mencari atau menyewa kendaraan. Di setiap Villa ia memperkerjakan orang untuk merawat serta meninggalkan mobil. Sehari sebelum pergi Giordanz sudah menghubungi Mang Ade, penjaga Villa agar mencarikan orang yang bisa menjemput di bandara.
Setelah menempuh perjalanan selama satu jam lebih lima belas menit mereka akhirnya sampai.
Villanya lumayan besar dengan nuansa sedikit modern. Pencahayaan lampu jingga di sampingnya mempermewah memantul dengan warna cat tembok senada.
Beby menempati kamar pertama dari pintu masuk. Terdapat tiga kamar lainnya yang diisi oleh Vino, Ratu dan untuk kamar utama ditempati Giordan, Leina dan Yero.
Membuka jendela kamar, Beby langsung disuguhkan indahnya hijau kebun teh. Letak Villa didataran lebih tinggi semakin menambah nilai plus pemandangan lika liku dibawah sana.
Dihirupnya udara malam berbaur asrinya desa itu. Menenangkan.
Setidaknya ada sesuatu yang membuatnya tenang disini.
“Kalo liat ini, jadi inget nenek.” gumamnya. “Kenapa gue gak pergi aja sama mereka? Mumpung gue disini. Gak akan ada yang nyari gue ini. Iya bener.” diambil I-phone miliknya yang kemarin ia ambil sendiri di kamar Vino.
“Satu jam pake motor?” hasil setelah mengecek di google map.
“Beby! Keluar Sayang, makan dulu.” seruan Leina terdengar dari balik pintu.
Sebagai pengingat, rencananya belum bisa dilaksanakan hari ini.
•••
Malam berikutnya Beby melancarkan aksinya. Keluar saat dirasanya semua orang terlelap, dengan jaket dan celana jeans hitam yang dikenakannya ia mengendap, mencoba menetralkan langkah kakinya agar tidak terdengar.
Ketika hendak membuka pintu, tubuhnya tiba-tiba ditarik ke sebelah kanan lalu dihimpit ke sudut dinding yang sedikit menjorok. Beby meronta mencoba melepaskan tangan yang menutup mulutnya.
“Lo apaan sih?!” desis Beby ketika orang itu membebaskannya.
“Pak Giordanz hampir ngeliat kamu.” refleks Beby menoleh ke arah kamar utama. Benar saja, saat itu juga Giordanz dengan baju tidurnya terlihat membuka pintu kamar dan masuk. Helaan napas lega tanpa sadar ia keluarkan.
Menyadari ada seseorang dihadapannya, Beby mengalihkan atensi lagi.
“Terus, kenapa lo disini?”
“Kamu mau ke Nenek kamu kan?” Vino. Cowok dihadapan Beby dalam kegelapan itu bertanya.
“Iya. Kenapa? Lo mau bangunin semua orang dan kasih tau rencana kabur gue ini. Iya?” meski temaram, masih dijangkaunya gelengan samar Vino.
“Ikut.” lagi-lagi Beby merasa kesal karena Vino menariknya seenaknya.
“Lepasin ata—”
“Naik.” Beby meliriknya tidak yakin. “Saya sewa dari Bayu, anaknya Pak lurah. Ayo naik.” Vino yang sudah bersiap dengan motor ninja merah itu gemas, karena gadis itu tak kunjung naik.
“Beb...” Beby tersadar. Meski masih bingung, ia pun naik ke jok motor dan Vinopun melajukan motornya.