Setelah beberapa jam melaju dengan bantuan arahan dari google maps, Beby dan Vino akhirnya tiba di depan sebuah rumah panggung sederhana dengan sekeliling dominan kebun teh.
“Kamu udah kasih kabar mau dateng?” Beby menggeleng. Keduanya sudah berdiri di pintu coklat kayu utama. Lantas di ketuknya hingga beberapa kali.
Cukup lama tak ada sahutan. Mengingat ini sudah tengah malam, mungkin kakek neneknya sedang nyenyak-nyenyaknya tidur.
Tok tok tok
“Nek...? Nenek?”
Cklek
“Nenek!” antusias Beby spontan memeluk wanita renta yang baru saja membuka pintu. Sedang wanita tua itu masih mencoba mengumpulkan fokus akibat tidurnya yang dipaksa bangun tengah malam.
Setelah Beby mengendurkan pelukan menatap langsung sang nenek, neneknya sesaat membeliak tak percaya.
“Naisyila? Kamu teh Naisyila?” Beby mengangguk cepat. Senyumnya begitu lebar.
“Ya Allah... masuk-masuk neng!” Vino dibelakang hanya mengikuti saja.
Saat duduk di ruang tamu, nenek mengeryit kala baru menyadari ada laki-laki yang prediksinya seusia cucunya itu.
“Kalo ujang ini siapa?” Beby mengikuti maksud neneknya.
“Dia Vino, Nek. Dia—ekhem. Aa Nai.” awalnya nenek masih bingung. Tetapi saat teringat masalah keluarga anaknya, ia tersenyum maklum.
“Nenek ambilkan minum dulu.” wanita baya itu menghilang ke arah dapur.
Hanya terjadi hening setelahnya. Beby sesekali mencuri lihat ke arah Vino yang sama diam.
“Lo gak pulang?” pertanyaan itu berhasil mengambil perhatian lawan bicaranya.
“Selain ceroboh, ternyata kamu gak berotak.” Beby terkejut dibuatnya.
“Lo bilang apa? Gak berotak? Jangan karna ngelakuin satu kebaikan lo jadi songong gini! Lo pikir lo siapa?”
“Saya Aa kamu bukan?” Beby berubah raut menjadi datar. Vino menggidikkan bahu tersenyum samar.
Tidak berapa lama Nenek muncul dengan dua gelas teh hangat. Menaruhnya di depan kedua anak muda itu lalu turut duduk di samping Beby.
“Kalian kesini teh udah ijin?” tanya Nenek.
“Belum sempat Nek. Tapi Vino akan bilang nanti.” sambar Vino mendapat lirikan Beby. Sapuan lembut di kepalanya mereflekskan Beby bertolak ke arah Neneknya.
“Cucu Nenek sudah besar.” Beby membalas senyuman hangat neneknya dengan pelukan.
“Nai kangen banget sama Nenek.”
“Nenek juga lebih-lebih kangen.”
“Nenek kok keliatan capek banget? Kakek sama nenek masih kerja?” Beby memandang sendu wanita renta itu.
“Bantu-bantu di kebun teh saja neng.”
“Emang uang yang mami kirim gak cukup buat sehari-harinya? Kalo kurang nenek tinggal bilang sama mami.” Nenek bergeleng sambil tersenyum.
“Tidak. Bahkan yang mami kamu kasih itu lebih dari cukup. Kami hanya tidak betah berdiam diri di rumah. Terbiasa dari kecil banyak kerja. Justru kalo tidak dibawa bergerak, duuhh... badan teh rasa na nyeri... kitu.” jelas Nenek diakhir dengan menguap. Beby yang melihat itu jadi tidak tega. Sebenarnya dia masih ingin berlama-lama melepas rindu bersama sang nenek, tetapi neneknya terlihat letih.
“Nenek istirahat aja. Nenek keliatan capek. Tapi besok, nenek sama kakek janji harus bareng sama Beby terus.”
“Iya.. iya.. kalian juga istirahat. Nai anter si kasep nya.” meski tidak bisa berbicara dengan bahasa Sunda, tapi Beby sedikit mengerti jika neneknya bicara. Dan apa katanya tadi? Kasep? Merotasi mata dengan terlebih dahulu wajah dipalingkan sebentar, lalu senyum manispun ia berikan pada sang nenek.
Wanita tua itu bangkit mengangguk kalem pada Vino lalu menghilang dibalik pintu kamarnya meninggalkan dua remaja disana.
“Ikut gue.” Vino menurut berjalan di belakang gadis itu. Rumah itu tidak luas dan besar. Hanya terdapat tiga kamar dan sebuah dapur. “Yang ini kamar gue. Kamar lo ada di situ.” menunjuk pintu di depannya lalu pintu yang bersekat lima jengkal orang dewasa darinya. Tanpa menunggu suara lawan bicara, Beby begitu saja masuk.
Memandang sebentar pintu yang baru saja tertutup, Vino pun masuk ke dalam biliknya.
Kamarnya sederhana. Seluruh bagian rumah terbuat dari kayu, namun terkesan rapi dan nyaman. Ia melangkah duduk di bed single bertema pastel. Bingkai foto ukuran 5R menyita perhatiannya. Di foto itu terdapat sosok gadis cilik berusia delapan tahunan sedang tersenyum manis. Cantik.
Cklek
Perhatiannya terlepas akibat bunyi pintu terbuka dan menampilkan sosok gadis dari anak kecil di foto tadi.
“Bisakah kamu mengetuk pintu dulu sebelum masuk?”
“Whatever. Ini kamar milik gue dari pertama kali rumah ini ada. Jadi ini hak paten!” Beby membuka lemari dan mengambil selembar baju disana.
Vino berdiri maju tiga langkah memperhatikan gadis yang kini menutup kembali lemari lalu melangkah hendak keluar melewatinya.
“White rose,” langkah Beby terhenti mendengar suara lirih itu. Ia berbalik menatap Vino. Cowok itu terlihat membuka mata yang sebelumnya terpejam menghirup wangian yang kental namun segar menguar di indera penciumannya. “Aa suka.” sontak saja Beby merengut aneh dan kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda. Sedang Vino dibelakangnya menyungging senyum.
.....
Sebangunnya Beby, gadis itu melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 08.15 WIB. Segera saja ia turun dari ranjang dan keluar kamar. Benar saja, kamar nenek dan kakeknya sudah kosong. Di ruang makan maupun di ruang tamu merekapun tidak ada. Beby menebak pasti mereka sudah pergi ke kebun teh.
Di lihatnya di meja makan sudah tersedia nasi goreng buatan nenek tercintanya. Beby senang sekaligus lesu. Ia senang akhirnya bisa menikmati masakan neneknya lagi setelah sekian lama. Dan kecewa pada dirinya sendiri karena telat bangun. Padahal dia ingin sekali makan bersama nenek dan kakek.
Beby mendekatkan piring berisikan nasi goreng tersebut dan memakannya. Deritan kursi di sebelahnya mengambil alih fokus, Beby menoleh. Ternyata pelakunya adalah Vino. Beby memilih kembali menekuri sarapannya.
“Aa sudah bilang sama Pak Giordanz kalo kita menginap disini. Dan beliau memberi izin. Tapi, kita akan pulang besok.”
“Giordanz dan kekuasaannya.” ucap Beby santai namun kemudian tersentak. “Tapi tunggu, lo panggil lo tadi apa?” Vino menautkan alis menerima pertanyaan itu. “Ish! Dasar pikun!”
“Kalau Aa pikun, kenapa tidak kamu saja yang mengingatkan? Atau kamu tipe maling teriak maling?”
Beby meletakkan sendok dan garpu sedikit keras ke atas meja makan yang terbuat dari kayu. Ditatapnya Vino tajam.
“Stop sebut diri lo kakak!” Beby melempar sendok tepat mengenai Vino. Cowok itu berusa menatapnya aneh menutupi rasa gelinya dengan sikap lucunya.
“Aa tidak merasa menyebut kata itu.”
“TAPI AA ITU ARTINYA SAMA!”
“Semalam kan kamu yang bilang, kalau saya ini Aa kamu. Jadi Aa salahnya dimana?” Beby bangkit dan menendang kursi yang di duduki Vino.
“Bodo!” Vino terkekeh geli tanpa suara.
Sore harinya, Nenek dan Kakek mengajak Vino dan Beby menyirami kebun dibelakang rumah. Sesuai permintaan sang cucu yang merajuk karena tidak diajak memetik daun teh di pagi hari.
“Nanai jeung kasep nyiram tanaman yang disana saja. Nanti kalo sudah, bilang ke kakek.” keduanya langsung berjalan menuruti perintah sang Kakek. Dengan masing-masing membawa teko berisakan air. “Nanai pake selang saja. Biar tidak capek.” tawar kakek. Membuat gadis itu tersenyum dengan perhatian kecilnya.
Beby terlihat sangan enjoy sesekali senyum pun terbit dari bibirnya. Tugasnya menyirami tumbuhan strawberry yang beberapa sudah terlihat buahnya. Lain darinya, Vino saat ini tengah menyirami rambatan kacang.
Di kebun yang lumayan luas itu memang ditanami banyak macam tanaman. Mulai dari buah-buahan sampai sayur-sayuran. Kedua lansia itu memang gemar berkebun.
Ditengah-tengah aktivitasnya, gadis itu melirik Vino yang sedang fokus pula dengan tugasnya. Jika ia diberi mudah menyiram dengan selang, lain Vino yang menggunakan ceret berwarna hijau muda.
Senyum licik tercetak diwajah cantiknya. Tak butuh waktu lama, Beby segera melancarkan niatnya. Aliran air dari selang ia arahkan ke Vino. Vino tersentak kecil mendapat cipratan yang cukup kencang, refleks menghalang wajahnya dengan telapak tangan yang bebas.
“Tanaman di depan kamu, kalo kamu gak liat.” Vino menyindir dalam kalimatnya.
“Kalo gue maunya nyiram lo, gimana?” balas Beby mengejek kemudian kembali menyemprot Vino dengan air.
Vino yang kini sudah basah hingga kaosnya mencetak jelas tubuhnya berjalan mendekati Beby sambil sedikit menunduk agar matanya tidak perih terkena air.
Beby mencoba menggagalkan Vino yang hendak merebut selang darinya, namun akhirnya gagal ketika Vino sekali menarik cepat dan kuat. Saat ini senjata sudah ditangan lelaki itu.
Tiba Vino membalasnya, Beby sontak panik karena sadar dress yang ia pakai berbahan kaos tipis. Tujuannya hanya satu, lari. Tapi naas, baru bergerak hendak berbalik, Vino terlebih dulu menarik pinggang gadis itu dan langsung berpindah membawa kedua tangannya lalu dicekal di belakang punggung.
Air masih setia membasahi Beby membuat gadis itu kesal karena tak juga berhasil meloloskan diri. Cengkeraman Vino begitu kuat.
“Lepasin gue!”
“Kamu minta maaf dulu, baru aa lepasin.” balas Vino. Beby semakin meradang dibuatnya.
“Gak sudi!” daripada meminta maaf, Beby memilih kembali berusaha menggerakkan seluruh tenaganya untuk bisa lepas. Namun terus gagal. Ia kelelahan memilih diam dalam kondisi napas tersengal-sengal.
Melarikan mata ke depan yang artinya orang menyebalkan disana, yang saat itu juga menatap padanya. Beby mengikuti gerakan iris safir itu yang sedikit menurun. Dan ketika menyadari apa yang menjadi titik fokus Vino, Beby menginjak kuat kakinya. Vino hanya meringis masih mempertahankan cengkeramannya.
“Mata lo gak usah kemana-mana! Lepasin gue sekarang!!!” wajahnya memerah karena marah.
“Aa kan sudah bilang, kamu harus minta maaf dulu.” ulang Vino dengan datar. Efek injakan itu lumayan juga. Dengusan kasar terdengar jelas dari Beby.
“Maaf. Udahkan? Lepasin.” singkat, rata dan diucapkan dengan raut tidak ikhlas.
“Gak ikhlas dan gak sopan. Ulangi,” menarik napas panjang guna menghilangkan kesal, Bebypun mencoba ulang.
“Vino, gue minta maaf ya? Tadi itu cuma becanda kok.” dilengkapi senyum yang dipaksakan. Vino membalas dengan senyum tipis tapi manis.
“Iya, Sayang.” Beby sontak berdongak menatap Vino tajam.
“Nama kamu Baby kan?” Beby diam tak membalas. Usai tanganya dilepaskan, Beby menggigit kencang pergelangan Vino sampai meninggalkan bekas kemudian pergi dengan sebelumnya menghentakkan kaki kesal.
Gemericik air menemani Vino yang memandang belokan dimana Beby tak lagi terlihat.
Melirik bekas gigitan ditanganya, di usapnya pelan, sudut bibirnya terangkat kecil.