“Temen. Temen yang bahkan lebih penting dari pacar.” —
.....
Jika menurut orang kebanyakan hari Senin dan hari sekolah lainnya adalah sesuatu yang mengesalkan, itu tidak berlaku untuk Beby. Ia justru bersorak 'yes' di dalam hati. Karena selain kesunyian, ia juga menyukai semua hal yang jauh dari urusan keluarganya.
Meski ogah melihat wajah-wajah orang rumah, Beby terpaksa harus mengikuti aktivitas sarapan setiap pagi.
Hanya dentingan dan sesekali ocehan Aviero Pratama Giordanz—anak berusia lima tahun yang akrab di sapa Yero yang duduk di samping Leina terdengar.
“Vin, kamu satu sekolah sama Beby kan?” seru Leina di sela-sela menyuapi Yero. Vino mengangguk. “Kalo gitu, kalian berangkat bareng aja.” Beby yang sedang minum tersedak karenanya. Sedangkan Vino tidak mengiyakan ataupun menolak. Mengelap mulut dengan tisu, ia bangkit menggendong tas ke salah satu bahu. Menyalami orang tua sebagai bentuk penghormatan, Vino berucap salam dan berlalu keluar rumah.
“Bi, nggak mau berangkat? Itu Vino udah nungguin.” tunjuk Leina. Beby membuka mulut hendak menolak, tetapi pelototan Ratu mengurungnya. Dengan terpaksa gadis itu melengos menurut.
Di luar, Vino sudah bersiap dengan mesin motor yang sudah berbunyi. Menggunakan helm full face cowok dengan seragam putih abu-abu itu telah stand by menunggu seseorang.
Dengan tatapan lurus ke depan, Vino merasakan sebuah cengkeraman di bahu kirinya dipungkasi dengan jok belakangnya kini telah berpenghuni.
“Mau sampai kapan lo ngelamun? Buruan jalan!” tegur Beby galak. Tanpa membalas, Vino melajukan motor menelusuri jalan kota metropolitan.
.....
Penggambaran surga akan selalu dikaitkan dengan kata indah. Mungkin sekarang pun bisa dibilang begitu. Entah harus bagaimana lagi mengungkapkan euforia ini. Khususnya bagi kelas XI IPS 3. Pada KBM ketiga dan keempat, kelas itu mendapat giliran jam Matematika yang diajarkan langsung oleh Pak Xilau percis seperti kepalanya yang mengkilau bila terpancar sinar matahari.
Sebenarnya, Bu Tuti selaku guru BK sempat masuk tadi. Beliau menyampaikan alasan ketidak hadiran Pak Xilau sekaligus memberi tugas mengerjakan soal di buku paket. Tapi, ya, begitulah! Lain di mulut, lain di hati. Mereka hanya mengambil alibi dengan Fendy—ketua kelas mengambil buku paket dari perpustakan. Kemudian setelahnya, buku penuh ilmu itu hanya tergeletak tanpa sentuhan fokus sedikit pun.
Karena kebiasaan itu pula, tanpa rasa berdosa sama sekali, kesempatan langkah ini di manfaatkan oleh mereka semua.
Contoh saja Beby and the geng. Mereka berlima memilih menghabiskan waktu senggang ini bersantai di rooftop sekolah.
“Kenapa?” tanya Galuh saat Beby tiba-tiba berhenti.
“Lo duluan aja sama mereka. Entar gue nyusul.” Beby berbalik arah menuju toilet.
Setelah selesai dengan urusannya, Beby keluar dari salah satu bilik dan beralih mencuci tangan di wastafel dengan sesekali merapikan rambutnya.
Masih dengan kegiatannya bercermin, tiba-tiba Beby merasakan bahu kanan dan kirinya di tarik paksa. Di hadapannya telah berdiri Rere beserta kedua teman setianya.
“Jauhi Galuh!” Rere berucap tegas. Sempat mengeryit samar, Beby maju ke samping yang digagalkan oleh salah satu teman Rere. Melakukan hal yang sama ke arah berbeda, usahanya masih gagal. Menghela napas perlahan, Beby menatap iris coklat terang milik Rere dingin.
“Minggir.”
“Lo emang cewek ter-nggak tau diri yang pernah gue tau. Gara-gara lo, gue hampir putus sama Galuh. Pokoknya, lo harus jauhi cowok gue!” tadbirnya. Beby berdengus miring.
“Jadi lo tawan gue cuma untuk ini? Ck! Urusin dulu tuh nilai doremi. Cinta-cintaan mulu.” ketiga cewek itu tersulut mendengar cibiran itu. Beby yang sudah berhasil melewati mereka, dihempaskan lagi dengan sangat kasar ke arah pintu yang sudah di kunci oleh Rere. Menamparnya begitu keras, lantas mencengkeram rambut Beby kuat. Beby yang belum siap hanya bisa meringis merasakan tarikan itu.
“GUE BILANG JAUHI GALUH!!!” belum sempat membalas, kedua kaki dan tangannya sudah di tahan kedua teman Rere, membuatnya tak ada akses untuk menghindar atapun melawan.
Beby bernapas lega ketika Rere melepas cengkeramannya. Namun menit berikutnya cewek itu kembali lagi dengan ember berukuran sedang berisikan air.
Byurrr
Lengkap sudah kekacauan Beby.
Melepaskan cekalan mereka pada kaki dan tangan gadis yang sudah kuyup itu, ketiganya tersenyum smirk dan menghilang di balik pintu.
.....
“Lo nggak papa Bi?”
“Yang lo liat apa?”
“Sensi banget. Ya udah, nih ganti,” beby langsung mengambil kresek berisi seragam baru dari tangan Galuh.
Seperginya Rere tadi, Beby serta merta menelpon Galuh dan menceritakan semuanya tanpa terkecuali. Sampai Galuh datang, dan membelikannya seragam baru dari koperasi.
“Cewek lo galak.” cetus Beby setelah mengganti pakaian. Keduanya berjalan menuju kantin.
“Maafin gue, Bi. Semua pasti karna gue.”
“Susah ah.” Beby menahan sudut bibirnya agar tidak tertawa melihat wajah bersalah Galuh. “Becanda. Lagian gue keselnya sama Rere lagi. Bukan sama lo.”
“Lo marah nggak?” pertanyaan terbodoh menurut Beby.
“Ya iyalah! Lo pikir nggak sakit nih rambut di tarik-tarik paksa. Tapi gue lebih ke arah lucu sih.” keduanya berhenti berjalan. “Ngapain coba dia cemburu sama gue?”
“Kita kelewat so sweet, mungkin.” celetuk Galuh asal. Beby berdecak kasar. Melanjutkan langkahnya mendahului Galuh.
Bel istirahat baru saja berbunyi. Beby dan Galuh langsung bergabung bersama Glen, Gwen dan Gildan.
“Lo bisa pindah nggak Dan? Gue mau mabar bareng pacar.” semua mata tertuju pada Rere yang entah sejak kapan sudah ada di samping meja mereka. Gildan berpindah tempat menghadap Galuh yang duduk di antara Rere dan Beby.
Situasi tiba-tiba tegang. Keempat cowok di meja itu saling melempar tatapan bingung.
“Aku suapin ya,” ucap Rere mengambil alih mangkok bakso Galuh. Menyodorkan sendok berisi potongan bakso, Galuh menyambutnya meski ragu. “I love you.” Galuh nyaris tersedak menelan kasar makanan di mulutnya. Beby yang bagai nyamuk hanya memutar bola mata jengah.
Tak kunjung di balas, Rere merengut gemas. “Kok nggak dibales?”
“Aku juga.” Rere tersenyum sangat lebar. Sampai-sampai mata berlensa itu menyipit. Dari sudut mata, Rere menyeringai pongah melirik Beby.
“Bi, lo nggak mau pergi?” Rere kembali berbicara. Sengaja menyinggung gadis itu.
“Udah pewe.” jawab Beby ketus.
“Kalo gue sama Galuh minta lo pergi karna risih, lo pasti mau kan?”
“Re,” Galuh menegur.
“Oh, tentu nggak dong.” balas Beby.
“Sengaja mau deketin cowok gue? Ih, nggak tau malu banget. Udah tau pacar orang, masih aja diembat. Nggak laku ya bu?”
“Bilang aja takut kesaing.”
“Yang, kamu punya kenalan apoteker nggak? Aku punya ide cemerlang soalnya. Bilangin, coba ciptain obat anti pelakor. Aku jamin, pasti laku keras.” sindir Rere. Beby bermain ponsel mengacuhkan Rere. Gadis dengan rambut curly di ujung itu mengertak tak terima diabaikan. Rere bangkit dengan segelas jus jeruk mengitari bangku mendekati Beby.
Byurrr
Beby tersentak merasakan sesuatu yang dingin di tumpahkan di kepalanya. Mendongak, matanya menyorot tajam sang pelaku. Beby berdiri menghadap Rere.
“Udah Re, Bi.” cegah Galuh mencoba memisahkan yang di tepis oleh keduanya. Glen, Gildan dan Gwen mulai was-was dari belakang.
“Mau lo tuh apa sih?!”
“Gue mau, lo, jauhi Galuh.”
“Kalo gue nggak mau?”
“Everyday, lo gue bully.”
“Silahkan. Lo pikir gue takut?” Beby menantang.
“Jadi lo nantang? Pelakor ulung ya lo! Dasar murahan!” tawa Beby menggelegar mengejek Rere.
Menatap Rere dari atas sampai bawah. “Bukannya lo yang murahan? Pakek seragam kayak mau ke club.”
“Biarin dong. Bilang aja lo syirik. Lo yang deket sama Galuh, tapi gue yang jadi pacarnya. Lo pasti jealous kan?”
“Hahaha. Cemburu? Kalo gue mau, dari dulu gue pacarin dia. Lagian, seharusnya lo ngomong itu ke Galuh. Minta dia jauhin gue.” Beby ber-oh singkat. “Atau jangan-jangan, Galuh nggak bisa jauh-jauh ya dari gue?”
“b***h!” Rere menarik rambut Beby kasar. Keadaan kantin menjadi ramai terpusat melingkari mereka. Galuh mencoba menarik Rere dan tiga G yang lain mencoba melerai Beby.
“Kenapa lo marah, takut kalau Galuh lebih milih gue, Heh?”
PLAK!
Kembali keduanya saling jambak. Sesekali mereka mencakar, memukul, menendang hingga menggapai seragam lawan menjadikannya tak beraturan.
“STOP!” pekik Galuh berhasil memisahkan mereka. Dengan napas tersengal-sengal, Galuh menatap tajam keduanya bergantian. “Ikut gue!” Galuh menarik lengan Rere menjauh dari kantin.
Melepaskan genggaman kala mereka tiba di taman pojok sekolah yang sepi, Galuh memberi waktu sebentar untuk meredam emosinya. Di tatapnya Rere yang sedang berusaha mengatur napas. “Aku kecewa sama kamu,” Rere mendongak. Iris keduanya bertemu.
“Terus aja salahin aku.”
“Kamu yang duluan mancing Beby. Bahkan kamu siram dia, Re.”
“Kamu belain TTM kamu itu?”
“Aku nggak ngerti kamu ngomong apa.”
“Kamu masih nggak ngerti juga? Aku begini juga karna kamu. Kalo aja kamu mau jaga jarak sama dia, aku nggak bakal gituin dia! Selalu jadi nomor dua. Selalu di kesampingkan. Dan selalu salah aku! Kamu pikir aku nggak sakit tiap liat kamu yang semeja sama dia, ke kantin jalan selalu dampingan dan hangout yang kata kamu bareng temen pun selalu deket sama dia. Kamu pikir aku nggak cemburu?!” cecarnya penuh emosi. Hatinya terasa penuh sesak menghimpit. Tak sanggup. Bahkan buliran bening telah jatuh dari pelupuknya.
“Berapa kali aku bilang, Beby itu sebatas temen aja. Nggak lebih.”
Rere menyorot sinis. “Iya, temen. Temen yang bahkan lebih penting dari pacar.”
Hening.
“Apa kamu cinta sama aku?” tanya Rere setelah keadaan sedikit lepas dari amarah.
“Kalo aku nggak cinta, aku nggak akan nembak kamu.” Galuh menggenggam kedua tangan Rere. “Benerin dulu tampilan kamu sebelum masuk kelas. Entar malam aku jemput.” setelahnya Galuh meninggalkan Rere.