“Ikatan rumit yang aku sendiri bingung bisa terlibat di dalamnya.”
.....
Pagi di hari weekend, biasanya di awali Beby dengan jangka tidur yang panjang. Namun sialnya tidak untuk hari ini.
“Jam yang mami minta, kamu nggak lupa kan?” Beby berdehem cuai. Saat menemani Glen kemarin, Beby memang mendapatkan pesan dari maminya agar membeli sebuah jam tangan untuk laki-laki. Katanya buat seseorang. Dan Beby sangat tahu siapa dan sangat tidak suka orang itu. Meski begitu, ia tetap membelinya dengan miminta pendapat Galuh yang kala itu mengantarnya.
Ratu dan Beby keluar dan mengunci pintu utama. Mereka pulang ke rumah 'sebenarnya' di mana sang ayah tinggal. Seperti biasa, mereka pulang tanpa membawa tas ataupun koper berisikan pakaian. Disana sudah jauh dari kata lengkap untuk semuanya.
Tidak sampai tiga puluh menit, tibalah mereka di sebuah gerbang besi bercat hitam berukiran klasik menjulang tinggi. Setelah Ratu membunyikan klakson mobil sekali, gerbangpun terbuka lebar seolah mempersilahkan mobil silvernya masuk. Terpampanglah rumah yang bergitu mewah berwarna putih dihiasi lampu kristal yang besar tepat di terasnya. Rumah itu lumayan menjorog ke dalam dengan membiarkan halaman yang sangat luas di depan, samping kanan kirinya.
Lepas memarkirkan mobil, keduanya lantas turun. Terdapat dua pria berpakaian serba hitam di sudut pintu. Ratu serta merta menerobos masuk dengan girang. Lain hal dengan sang putri yang memutar bola matanya jengah.
Beby yang baru masuk bertanya-tanya melihat Ratu yang terdiam di tengah ruang tamu. Melihat arah pandang maminya, Beby langsung membuang muka. Disana Giordanz Pamungkas—ayahnya sedang bermesraan bersama istri keduanya.
“Ekhem!” deheman Beby yang disengaja berhasil mengalihkan atensi dua orang itu. Keduanya tersentak. Dan sang wanita langsung tersenyum hangat kepada Beby dan Ratu. Beby berdecih.
“Mbak Ratu? Aku seneng banget mbak pulang.” Ratu menarik senyum paksa. Netra wanita itu beralih ke arah Beby. “Anak bunda udah pulang. Bunda kangen banget sama kamu, Bi.” memeluk Beby erat yang sama sekali tidak di balas oleh gadis itu.
“Leina!” panggil Giordanz mengurai pelukan antara Beby dan Leina.
“Iya Mas?”
“Aku rasa Yero mengantuk. Bisakah kamu tidurkan dia?” Leina mengangguk lantas membawa anak laki-laki berusia lima tahun itu ke kamarnya.
Saat Leina menghilang di balik lift, Ratu langsung menghambur memeluk Giordanz.
“Kamu nggak kerja?” tanya Ratu melepas rengkuhannya.
“Tidak.”
“Apa tidak ada klien penting?”
“Entah. Aku hanya ingin bersama istri dan anakku di rumah.” pungkasnya. “Mana barang yang ku minta?” Ratu merogoh kelly bag hitam miliknya dan mengeluarkan sesuatu.
“Benar bukan?” tanyanya sesudah memberikan sebuah kotak beludru persegi berukuran sedang kepada Giordanz. Lelaki berusia 50 tahun itu membuka kotak berwarna merah ditangannya secara perlahan. Di dalamnya terdapat sepaket perhiasan elegan dan mewah bahkan dari posisi Beby yang masih berdiri di tempatnya dapat menyaksikan kilauan dari mata berlian nya.
“Leina pasti menyukainya.” gumamnya yang masih dapat didengar Ratu. Tanpa mengucapkan apapun, Giordanz beranjak meninggalkan Ratu dan Beby.
Ratu mencengkeram kuat hingga buku jari-jarinya memutih.
Beby memilih melangkah menaiki lift menuju lantai tiga dimana kamarnya berada. Di rumah itu memang terdapat lift berpintu transparan yang dibuat enam tahun lalu. Dimana lift itu sengaja di buat Giordanz kala mengetahui Leina hamil anak laki-laki.
Saat lift menutup, bertepatan itu pula sebulir bening jatuh dari mata Ratu. Tanpa ada yang tahu dan tanpa ada yang ingin mencari tahu.
.....
Jam telah menunjukan pukul sebelas lebih lima belas malam. Dalam sebuah kamar serba pink itu, Beby masih terjaga meski sudah sekitar dua jam berbaring. Beby pun bangkit untuk mengambil minum di atas nakas. Namun sayang, ternyata air di teko kaca yang tersedia sudah habis. Terpaksa Beby harus turun untuk mengambil air di dapur yang letaknya di lantai paling bawah.
Sesampainya di dapur, langkahnya terhenti kala melihat sosok Leina yang sedang mengaduk cairan berwarna hitam di gelas. Tak menghiraukan, Beby lanjut melangkah untuk kepentingan awal.
“Beby? Kamu belum tidur?” Beby yang sedang membuka pintu kulkas hanya diam. “Bi, bunda tuh seneng banget kamu pulang. Kangen liat kamu makan stroberi, makan kue rambut nenek kesukaan kamu itu. Pokoknya bunda kangen deh. Oh iya, kemarin bunda udah pesen arbanat rasa terbaru loh. Besok pagi kayaknya nyampe deh.” cerocos Leina tanpa sedikitpun dihirauan oleh Beby. Leina tak menyerah. Memandangi wajah gadis remaja di sampingnya, Leina tersenyum sayang. “Kamu cantik banget, sayang. Bunda yakin, pasti banyak cowok yang suka kamu di sekolah.”
“Anak bunda semuanya cowok. Daddy kamu cowok. Semuanya cowok. Bunda kan pengen juga kayak mbak Ratu yang punya kamu.”
Ting!
Beby menekan kuat gelas kaca menimbulkan dentingan keras. Menatap dingin ke arah Leina cukup lama. Dan setelahnya Beby melengos pergi. Sebelum benar-benar pergi, Beby berucap sesuatu yang membuat Leina tercengang di tempatnya.
“Jangan pernah sok akrab sama saya. Saya terlalu muak dengan kepura-puraan. Dan satu lagi, apa yang anda inginkan, itulah yang disesali oleh mami dan suami anda.”
.....
Keesokan paginya, Beby masih terbalut selimut hangatnya walau matahari sudah terbit tinggi. Karena jam tidur yang sangat larut kemarin malam, membuatnya enggan meninggalkan dunia mimpi yang tenang.
Dering ponsel yang tergeletak tepat di samping telinganya, menyentak Beby. Memaksanya membuka mata dan mengambil benda pipih itu.
“Hm?” serunya dengan suara serak khas bangun tidur. Beby membeliak sontak duduk setelah mendengar apa yang di ucapkan orang di seberang. “Kok gitu? Katanya tiap weekend?” mendengarkan. Lalu embusan napas berat dihelanya.
“Ya udah iya. Dari pada dilabrak pacar lo, gue mah nurut aja deh.” kekehan bariton terdengar dari ponselnya. “Oke. Bye!”
Lagi-lagi Beby menghela napas jelas. Hari ini pasti sangat membosankan. Padahal ia sudah membayangkan dirinya bisa mengendarai motor sport milik Galuh. Pasti sangat keren.
“Ck!” sayangnya cowok itu membatalkan janji karena rengekan Rere—pacarnya.
Meja makan. Disinilah Beby berakhir. Dimana ada Ratu, Giordanz, dan seorang lelaki remaja seusianya tengah menyantap sarapan. Leina tak terlihat karena sedang memandikan putra kecilnya. Fokus Beby tak pernah lepas dari seperangkat alat makannya. Lebih tepatnya, tidak sudi memecah keheningan yang menyelimuti mereka.
“Bagaimana sekolah anak kamu?” Giordanz membuka suara setelah mengusap bibirnya dengan tisu.
“Lancar, mas. Nilainya juga makin bagus. Kemarin nilai ulangan matematikanya dapat sembilan puluh delapan lho.” sahut Ratu membanggakan Beby.
“Kamu kemarin dapat nilai berapa Vino?” tatapanya melengos begitu saja dari Ratu.
“Seperti biasa.” balas cowok yang duduk tepat diseberang Beby, datar.
“Kamu lihat Vino? Harusnya kamu bisa meniru Leina cara mendidik anak. Tanpa 24 jam mengawasi anaknya pun, anaknya tetap bisa mempertahankan nilainya. Bahkan Vino selalu berhasil mempertahankan peringkat paralel setiap tahun.” bibir Ratu berkedut memaksa membentuk senyuman. “Ajarkan anak kamu lebih keras lagi. Saya tidak ingin ada orang yang tidak berguna tinggal di rumah ini.”
Cukup sudah! Beby sangat-sangat muak. Kedua orang dewasa itu berbicara seakan-akan membicarakan orang yang tidak ada di tempat yang sama. Tanpa perduli tatapan horor sang mami, Beby beranjak begitu saja menaiki tangga. Samar sebelum jauh, Beby mendengar ucapan Giordanz.
“Etika yang sangat buruk.”
.....
Jika ditanya saat apa yang paling tak di sukai Beby, gadis berlesung pipi saat tersenyum itu akan menjawab 'saat waktu memaksanya terkurung di rumah besar ini'. Boro-boro ada yang menarik. Sekedar keluar mengambil minum saja, rasanya akan berakhir tidak baik untuk mood-nya.
Beby berjalan keluar kamar melenggang tepat di depan lift. Menekan tombol empat—lantai paling atas. Pintu lift terbuka dan menampilkan ruangan dipenuhi rak-rak besar tempat berbagai macam buku diletakkan. Ruangan ini memang di buat khusus seperti perpustakan yang memuat buku-buku dari segala bidang. Saat Beby menoleh ke depan, terpampang jelas pemandangan di luaran sana. Sekat lantai atas memang terbuat dari kaca yang tidak mudah pecah. Di bagian paling kiri, terdapat pintu yang menjadi penghubung antara home library dengan rooftop.
Membuka pintu bening itu, angin sore langsung menyapa wajahnya. Memejamkan mata, dihirupnya udara yang menenangkan ini. Pemandangan halaman yang luas di bawah sana, sudah cukup membuatnya merasa nyaman. Sepertinya, tempat ini akan menjadi tempat favourite-nya.
Langit mulai menggelap dengan warna jingga yang begitu indah terpancar di ufuk barat. Beby yang datang mendekati waktu maghrib, memaksanya harus rela meninggalkan rooftop kembali ke kamar.
Beby yang bermaksud ingin turun melewati tangga, mengurungkan niatnya. Ia menyorot datar pada sosok lelaki dengan buku di tangannya, yang kini tengah santai duduk di lantai tepat di depan akses menuruni tangga.
“Gue mau lewat.” Vino. Cowok itu langsung mengangkat pandangnya membuat keduanya terkunci dengan tatapan intens. Beby memandangnya penuh kebencian. Sedangkan Vino, entalah. Tatapannya terlalu sulit diartikan. Intinya, mendekati datar. Memutus aksi tatapan mereka, Vino beranjak menuju salah satu rak dan menaruh buku di genggamannya. Beby masih terus diam memperhatikan. Cowok itu berbalik hendak turun.
Mata Beby beralih pada pergelangan tangan kiri Vino. Jam yang sangat ia kenali karena ia sendiri yang membelinya, sudah melingkar manis disana.
“Kampungan.” Beby mendesis saat Vino bersisian dengannya, dan melenggang pergi mendahului. Vino berhenti melangkah. Dilihatnya punggung gadis berambut sepunggung itu hingga menghilang di belokan tangga.
.....