“Hubungan ada karena timbal balik. Bahkan hubungan darah sekalipun.”
.....
Dentingan piring kaca di meja makan memenuhi kesunyian ruangan yang terdapat ibu dan anak itu. Setiap hari yang selalu saja hening.
“Besok kita pulang.” ujar Ratu. Beby yang hendak menyuap nasi ke dalam mulutnya terhenti. Beby meletakkan sendok hingga berbunyi nyaring.
“Beby stay.” ia bangkit dan menyampirkan tas punggungnya.
“Itu bukan pilihan. Kalo mami pulang, kamu juga harus ikut.” Beby berbalik menatap Ratu tidak percaya.
“Mau sampai kapan mi? Hampir setiap bulan mami kayak gini. Pergi kalo daddy nyakitin mami, dan pulang sendiri tanpa daddy minta. Mami semakin nunjukin kalo mami itu murahan—”
BRAK!
“Apa ini cara kamu bicara sama mami?!” bentak Ratu memukul meja. Gebrakan itu berhasil menyentak Beby. Gadis itu menyorot tajam tepat di manik Ratu. Tanpa berkata apapun Beby melenggang pergi meninggalkan Ratu dengan emosi yang membara.
Tiba-tiba sponsel Ratu berdering menandakan ada telepon masuk.
“Halo?”
“Jangan lupa belikan apa yang aku minta.”
“Iya, Mas. Kamu kirim aja langsung pict nya.”
“Kapan kamu pulang? Kalau bisa secepatnya. Aku tidak ingin Leina menunggu lama.”
“Hari Sabtu Mas. Oh iy—”
“Sudah dulu. Aku sibuk.”
Bip.
Ratu menghela napas kasar.
“Arghh!” mengacak rambut penuh kefrustasian.
.....
Setibanya di kelas, Beby menyambung langkah ke tempat duduknya. Waktu yang masih pagi, membuat kelas masih bersih dari suara bising para penghuninya.
Lamat-lamat Beby mendengar langkah kaki masal dari luar kelas. Beberapa menit berikutnya, kelas mulai terisi oleh teman sekelasnya. Gadis itu duduk di bangku kolom ke dua dari kanan dan barisan paling belakang. Saat tak sengaja bersitatap dengan empat orang gadis yang duduk di depan, Beby dapat merasakan sirat ketidaksukaan dari mereka. Beby sangat yakin, mereka pasti sedang membicarakannya. Semenjak tadi, keempatnya sesekali melirik ke arahnya. Biarlah. Sudah biasa.
“Morning Beb,”
“Pagi Beb,”
“Wo ai ni, my baby..” sapa Gwen, Glen dan Gildan yang baru tiba, beruntun. Beby hanya mengangguki mereka sekali.
“Beb, Beby hari ini cantik banget deh. Dan setahu gue, cewek cantik itu nggak punya sifat pelit. Apalagi medit. Jadi...” ucap Gildan yang duduk bersama Glen di depannya.
“Nih!” Beby memberikan buku bersampul coklat. Gildan langsung mengambilnya dengan senyuman merekah.
“Lo emang paling biyutipul. Muah!” ujarnya sembari mencubit sekilas pipi cubby Beby.
“Ada maunya aja gitu.” gerutu Beby.
“Gue minta ya, Beb.” seru Gwen yang duduk di meja samping Beby. Tanpa menunggu jawaban sang empunya, Gwen langsung bergabung bersama Gildan dan Glen yang sedang sibuk menyalin jawaban dari buku Beby.
Begitulah Beby. Meskipun terkenal bad, kalau urusan tugas dan segala macam tentang nilai, ia pasti akan mengerjakannya meski sesekali akan melanggar jika sudah berada di puncaknya kemuakkan. Tentu muak pada perintah maminya.
“Liatin apa sih?” Beby tersentak spontan menoleh bangku disampingnya yang sudah di huni oleh Galuh. Beby memberi tahu dengan mengangkat dagu sekilas ke arah tiga lelaki yang sedang sibuk. Sibuk nyontek.
“Tumben perginya nggak bareng mereka?”
“Ada urusan bentar tadi.” Beby mangut-mangut. “Oh iya,” cowok bermanik hitam lekat dan berkulit kuning langsat khas asia itu merogoh tas punggung miliknya yang Beby sangat yakin hanya ada satu buah buku di dalamnya. “Ini buat lo,” di tangan Galuh terdapat toples kaca berukuran sedang berisikan arbanat berwarna pink.
Manik coklat cerah Beby menyirat senang dan langsung mengambil arum manis berbentuk rambut itu. “Makasih.” mengangkat kedua sudut bibir, ia tersenyum lebar. Galuh mengusap surai sahabatnya itu lembut.
.....
Setelah sekian lama menanti bel istirahat, akhirnya benda itu berbunyi nyaring menyamakan kepalan tangan yang di tarik ulur dengan mulut berucap 'yes' tanpa suara dari siswa yang teramat bahagia karenanya.
Mereka yang di sebut G4B1, berjalan beriringan di koridor menuju kantin. Atensi semua orang yang berlalu lalang atau mereka yang sengaja rehat mengobrol di tempat duduk yang di sediakan sekolah terfokus pada mereka berlima. Ini sudah menjadi lumrah bagi SMA Merah Putih. Dari beberapa kelompok yang terbentuk dengan nama tersendiri, nama G4B1 memang menjadi salah satu terpopuler. Tidak hanya di sekolah itu, bahkan nama mereka lumayan dikenal di sekolah lain.
“UAS kapan sih?” seru Gildan sesampainya mereka di kantin dan memesan pesanan masing-masing.
“Minggu depan. Makannya kita dipulangin cepet hari ini.”
“Iya? Abis istirahat ini?” Beby menyela Glen. Glen mengangguk.
“Tumben lo nanya soal gituan. Tobat pak?”
“Gue bener salah, gue salah salah. Bukan muna sih, tapi gue paling suka kalo ulangan, uts, uas dan sejenisnya. Karena,—”
“Gue nggak harus ngantuk nyimak guru dan ngerjain tugas. Dan yang terutama, kita cepet pulang. Itukan yang lo mau bilang?” potong Glen. Gildan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Tahu aja lo Len,”
Bugh!
“Setan! Lo mah mainnya tinju-tinjuan. Nggak lagi gue muji lo.” omel Gildan memegangi sudut bibirnya yang nyeri hasil bogeman Glen. Gwen tergelak sedangkan Galuh dan Beby hanya terkekeh melihat cekcok keduanya.
“Udah tau Glen paling benci kalo lo manggil dia kayak cewek. Masih, aja lo lakuin.” berdecak disela tawanya, Gwen memegangi perut meredam keram saking terlalu lama tergelak.
“Hari ini jadikan?” ucap Beby setelah bu Marni mengantarkan pesanan mereka.
Galuh yang duduk di sampingnya menoleh. “Jadi.”
“Cie yang mau punya SIM,” goda Beby pada Glen yang duduk di hadapanya. Glen mengangkat dua alisnya.
“Cie yang udah tua,” celetuk Gildan menggoyang telunjuk pada Glen. Glen tak menyahuti. Tak penting meladeni otak separuh itu. Ia memiliki otakpun, itu juga masih diragukan.
Glen Karisma. Cowok berwajah tegas, hidungnya menjulang tinggi berporsi pas, irisnya tajam laksana elang yang bila tersenyum berubah sendu memikat sesuai nama belakangnya. Umur Glen memang tertua dari mereka berlima. Bukan karena telat masuk saat Sekolah Dasar. Tapi semuanya berakar dari sikap buruknya. Dulu Glen sangat sering terlambat dan membolos. Meski sekarang juga, tapi intensitasnya tak terlalu parah. Glen yang malas, bandel, semena-mena dan sinis terhadap apa yang ia tidak sukai. Dan semua sifat itu mengakibatkan cowok itu menetap di kelas sebelas alias tidak naik kelas.
Guru rapat. Begitulah informasi yang terdengar dari speaker yang tersebar di masing-masing ruangan. Suara petugas TU menggelegar memberitahukan bahwa KBM dicukupkan pukul 11:15. Siswa dan siswi berbondong-bondong menuju parkiran.
Seperti yang sudah direncanakan, mereka berlima bersiap hendak menuju tempat pembuatan SIM. Glen dengan ninjanya, Galuh bersama Beby, dan Gwen yang terpaksa harus membonceng Gildan karena motor cowok itu sedang di tahan oleh bundanya.
Di koridor penghujung paling dekat parkiran, ada tiga orang siswi berjalan dengan sesekali tertawa.
“Eh, Re, itu bukannya Galuh?” ucap gadis berambut hitam sebahu. Gadis yang di maksud langsung menoleh ke sudut pandangnya. Matanya menajam dengan sesuatu yang terasa panas di hatinya. “Bukannya apa ya Re, tapi, dari apa yang gue liat selama ini, Galuh itu lebih deket dan perhatian sama temen ceweknya itu ketimbang lo. Apa lo nggak cemburu?”
“Iya Re. Status emang nggak terlalu penting buat diumbar. Tapi lo yang pacarnya, kenapa tuh cewek yang keliatan mulu sama Galuh?” pernyataan kedua temannya semakin memperburuk buncahan amarahnya. Ia mengepal kuat kedua tangannya.
“Galuh!” entah sejak kapan cewek berbody goal itu sudah berdiri tegak di samping ketiga motor yang sudah bersiap melaju. Semuanya menghadap kearahnya.
“Rere?” Galuh menatapnya bingung.
“Aku mau bicara sama kamu.” Rere melirik Beby sinis.
Galuh menyanggahkan motornya kembali. Beby spontan turun yang diikuti Galuh.
“Bentar ya Bi,” Beby mengangguk.
Dari kejauhan, Galuh dan Rere terlihat sedang adu cekcok yang sama sekali Beby tidak tahu sebabnya. Pungkasnya Rere yang Beby tahu adalah kekasih Galuh berbalik meninggalkan sang cowok dengan mata memerah.
Galuh berjalan menghampiri keempat temannya dengan wajah masam. Tanpa berucap cowok itu memakai helm kemudian menaiki motornya dan menyalakan mesin roda dua itu. Gwen memberi isyarat kepada Beby agar segera naik mengikuti Galuh. Beby pun naik dan mereka pun melesat meninggalkan parkiran.
.....
“Sorry,” ujar Beby. Galuh menoleh langsung. Mengerutkan kening.
“Kenapa minta maaf?”
“Cewek lo marah pasti karna gue.”
“Kata siapa?”
“Gue tadi.”
“Sok tau!”
Hening. Sekarang ini keduanya sedang duduk di bangku taman. Sembari menunggu Glen yang tengah di uji untuk mendapatkan SIM, Beby dan Galuh memilih berteduh di bawah naungan pohon besar yang sejuk di teriknya mentari siang ini.
“Gwen sama Glen lama banget beli camilannya.”
“Kayak nggak tau mereka aja.” Beby mengerucutkan bibir mungilnya. Saat sebuah ide melintas di otaknya, Beby bergeser mendekat ke samping Galuh.
“Galuh,” panggilnya ada maksud sambil menusuk lengan atas Galuh dengan telunjuk. “Ajarin gue bawa motor lo dong,” benar 'kan?
“Nggak!” tolak Galuh cepat.
“Kenapa?”
“Lo naik sepeda aja nggak becus. Gimana mau belajar moge? Jangan banyak macem deh, Bi.”
“Ya udah sih kalo nggak mau. Masih ada tiga G. Salah satu dari mereka pasti ada yang mau ngajarin. Nggak kayak cowok di sebelah gue. Pelit ilmu.” ketus Beby. Galuh mendesah pelan.
“Gue ajarin.”
“Beneran?”
“Iya. Tapi bertahap.”
“Maksudnya?”
“Lo harus lancar bawa sepeda, motor gigian, baru boleh belajar motor gede itu.” jelas Galuh membuat wajah Beby lesu seketika. Dia kan maunya langsung.
“Kok gitu?”
“Kalo mau berhasil, lo harus berjuang dari bawah dulu. Tapi terserah sih, kalo lo nggak mau. Entar gue bakal bilang sama yang lain supaya jangan pernah mau kalo lo minta di ajarin bawa motor. Gue bakal bilang, kalo niat lo belajar itu buat ikutan balap liar. Mereka pasti bakal say no!”
Bugh!
“Lo emang pembohong ulung.” bukannya kesakitan akibat pukulan Beby di lengannya, Galuh malah terkekeh. “Fine. Belajarnya mulai kapan?”
“Tiap weekend.” Beby mengangguk, menurut. Daripada tidak sama sekali?
.....