8. Melarikan Diri

1053 Kata
Dalam waktu satu jam ke depan mungkin polisi akan segera datang ke gedung labiratorium miliknya. Tentu saja mereka akan langsung menginvestigasinya. Bukan hal yang tak mungkin mereka langsung digiring ke kantor polisi dan ditahan. Merekalah, tim profesor yang harus bertanggung jawab karena mereka yang menciptakan vaksin kapido. Sebagai ketua tim tentu saja Profesor Chiko memiliki beban yang sangat berat. Ia tak mungkin menyerahkan diri kepada polisi sebab pria itu masih ingin melakukan penelitian sampai tuntas dan mencari jawaban mengapa vaksin yang dibuatnya bisa gagal dan menimbulkan keanehan. Jika ia ditangkap maka ia tak akan pernah bisa menyelesaiakan apa yang telah dikerjakannya. Tidak, ia tak ingin itu terjadi. Ia harus bertahan dan melarikan diri, mencari tempat yang aman untuk mencari jawaban atas kejanggalan Vaksin Kapido. Ada yang aneh terkait kegagalan pembuatan vaksin tersebut. Ia harus menyelesaikan hasil kerjanya secepat mungkin agar ia bisa membuktikan kepada dunia jika ia mampu dan pembuatan vaksin ini tidak gagal. Tanpa bicara apapun lagi kepada tim lainnya. Ia membawa ransel serta kopernya dan membawa beberapa peralatan yang biasa digunakannya. Beruntung sejak tadi ia sudah mengepak barang-barangnya dengan cepat. Ia hanya meninggalkan pesan kepada Profesor Asep Sikasep bahwa dirinya pergi untuk sementara waktu tanpa kejelasan sampai berapa lama. Katakanlah ia pengecut karena melarikan diri dan membiarkan timnya yang menanggung semua ini. Tapi ini lebih berarti. Ia akan melanjutkan penelitiannya tanpa ada gangguan siapapun. Setelah itu ia akan kembali secepatnya untuk menyelesaikan masalah ini. Biarlah untuk sementara waktu empat rekannya yang menjadi tumbal dan harus berhadapan dengan pihak kepolisian. Ia yakin mereka semua bisa mengatasinya karena mereka semua adalah profesor hebat yang terpilih. Ia tak peduli akan menjadi buronan polisi, yang pasti ia harus bersembunyi di tempat yang aman sampai kondisinya memungkinkan ia kembali ke kota. *** Gedung laboratorium itu memiliki jalan rahasia yang bisa keluar melalui benteng belakang dan hanya Profesor Chiko seorang yang tahu. Sekuriti pun tak pernah diberi tahu. Ia akan aman meloloskan diri melalui jalan rahasia itu. Ia sengaja mematikan CCTV yang terpasang pada jalan yang dilaluinya. Meskipun malam hari namun ia harus tetap semangat dan hati-hati. Diam-diam ia dorong koper-kopernya untuk dimasukkan ke dalam mobil jeep yang akan membawanya pergi meninggalkan gedung itu. Ia menggunakan mobil jeep yang biasa dikendarai jika pergi jauh ke daerah pedalaman. Meski mobil itu nampak tua namun memiliki kekuatan yang luar biasa, bisa dibawa perjalanan jauh hingga ribuan kilo meter. Mesin mobil itu sudah diganti dan Profesor Chiko merawatnya dengan sangat baik. Kini ia sudah meninggalkan gedung tanpa jejak dan mengendarai mobil jeep hitam miliknya ke arah barat menuju pesisir pantai selatan. Kedua orang tua angkatnya yang menjadi tujuan utama. Hanya mereka yang bisa membantu dan memberikan perlindungan untuknya. Hari sudah larut malam namun ia tetap akan melanjutkan perjalanan. Tak ada rasa takut apapun terhadap malam yang srmakin gelap apalagi di langit tak ada bintang pertanda cuaca sedang tak bersahabat. Suara petir pun mulai terdengar menggelegar, menembus keheningan malam. *** Tak terasa sudah sekitar delapan jam ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Jika bukan karena perutnya yang lapar dan kewajibannya untuk menjalankan ibadah sholat, ia tak akan berhenti sekaligus beristirahat di sebuah masjid. Ia benar-benar khawatir ada yang mengikutinya. Usai sholat subuh, atas izin penjaga masjid, ia diizinkan tidur. Barulah pukul ensm pagi ia lanjutkan perjalanannya lagi. Setelah melewati jalan berkelok dan berliku menyusuri pantai, dan hutan akhirnya ia tiba di sebuah perkampungan. Ia melalui jalanan dengan pemandangan sawah di kanan kirinya. Terasa asri dan sejuk dipandang mata. Cekkitt Tiba-tiba ia mengerem mobilnya. Sialnya di sana ia malah hampir menggilas ular sawah yang melintasi jalanan. "Astaghfirullah aladzim." Ia mengusap wajahnya. Entah mengapa sejak kejadian malam saat ia menggilas ular itu dua bulan yang lalu, tiap kali melihat ular selalu ada perasaan takut menyerang dirinya, padahal sebelumnya ia adalah sosok pemberani. Baginya sosok ular terlihat sangat menyeramkan. Ular itu melintas begitu saja dan menghilang di balik semak-semak. Profesor Chiko bernafas lega. Ia pun segera melanjutkan perjalannya yang tinggal satu jam lagi. Jika dihitung-hitung, ia telah berada di jalanan selama tiga belas jam. Di sebuah persimpangan jalan, tak jauh dari pangkalan ojeg ia menemukan sebuah pangkas rambut. Ia pun langsung memarkir mobilnya. Dengan gerakan cepat ia menghampiri bangunan kecil itu. "Punten Mang, saya mau cukur rambut." Profesor Chiko berujar kepada si tukang cukur yang tengah menyapu lantai membersihkan potongan rambut sisa kemarin malam. "Silahkan Den." Pria bertopi pelukis itu menyambut kedatangan Profesor Chiko dengan ramah. Sepertinya pangkas rambut itu baru buka. Profesor Chiko segera mengambil posisi duduk menghadap cermin. Ia membuka topinya. "Dibotak saja." Tanpa menunggu si tukang cukur bertanyaia langsung mengutarakan model rambut yang diinginkannya menjadi tak biasa. Untuk pertama kalinya ia ingin mengubah penampilan rambutnya. Ia akan memangkas habis rambut sebahunya yang selama ini menjadi ciri khasnya. Ia harus mengubah penampilannya agar tak dikenali oleh orang-orang di kampung orang tua angkatnya meski pun tak akan banyak yang kenal dengan nama Profesor Jeremie Chikitoz namun ia waspada terhadap mata-mata yang akan mencarinya. Kasus kegagalan pembuatan Vaksin Kapido merupakan masalah besar dan pastinya pihak pemerintah tak akan tinggal diam. Beruntung tukang cukur rambut itu pun tak mengenalinya padahal di ibukota nama Profsaor Chiko sangat tersohor. Dengan waktu singkat kini penampilan kepala Profesor Jeremie Chikitoz berubah menjadi plontos. Seharusnya penampilannya saat berjas profesor ia seperti ini. "Terima kasih banyak, Mang." Pemuda yang masih lajang di akhir usia tiga puluhan itu mengucapkan rasa terima kasihnya. Penampilan barunya akan menunjang penyamarannya. Ia menyerahkan selembr uang pecahan seratus ribu dari dalam dompet sebagai upah "Ini kembaliannya." Tukang cukur menyerahkan kembaliannya. "Tidak usah, ambil saja untuk Mamang!" Profesor Chiko menolaknya. Baginya uang sebesar itu tak ada artinya. Anggap saja itu adalah modalnya selama tinggal di kampung. "Terima kasih banyak ya Den." pria berkumis itu menerimanya dengan senang hati. Sejak tadi pagi ia belum mendapatkan seorang pelanggan pun. "Sama-sama." Profesor Chiko meninggalkan tempat cukur itu untumk kembali melanjutkan sisa perjalanannya yang tak lama lagi. Ia bisa bernafas lega karena sudah sangat jauh dari kota. Bahkan kini ia kembali menyusuri perkebunan untuk menuju desa terpencil yang terletak di kaki Gunung Kancana. Di sana tak ada sinyal dan transfortasi pun sangat sulit. Ia memang sengaja mematikan ponselnya sejak meninggalkan laboratorium. Ia tak mau bicara dengan siapapun untuk masa yang belum bisa ditentukan. Ia butuh mengasingkan diri menjauhi hal-hal yang dapat mengganggu konsentrasinya. Mobil yang ia kendarai melaju perlahan, melanjutkan sisa perjalan yang masih cukup jauh. Sebenarnya ia sudah lelah. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN