9. Rumah Ambu dan Abah

1026 Kata
Mobil yang dikemudikan Profesor Chiko akhirnya memasuki sebuah perkampungan penduduk yang jauh dari kota kecamatan. Jarak ke balai desa pun sama jauhnya. Suasana di sana sangat sepi. Pendusuknya sangat jarang dan jarak antara satu rumah ke rumah lainnya cukup jauh. Kini ia memasuki sebuah halaman rumah berdinding bambu yang sangat luas yang ada di persimpangan jalan. Halaman itu dipenuhi pepohonan dan juga tanaman obat-obatan serta kebun sayuran. Khas rumah di perkampungan, terlihat hijau dengan udara segar menerpa tubuh. Kicauan burung pun terdengar bersahut-sahutan. Sementara waktu ini sang profesor akan melewati hari-harinya penuh dengan kedamaian. Usai memarkirkan mobilnya, ia pun turun dan melangkah perlahan menuju teras rumah. Suasana di sekitarnya nampak sepi karena rumah itu hanya dihuni oleh pasangan lansia. Selain itu jarak antar rumah cukup jauh karena penduduknya yang jarang. Bagi yang baru pertama kali menginjakkan kakinya ke sana, pasti akan memberikan kesan angker. Terlebih di sana tumbuh juga sebatang pohon beringin yamg daunnya cukup lebat. "Assalamualaikum." Profesor Chiko mengucapkan salam begitu tiba di depan pintu rumah berdinding anyaman bambu yang catnya sudah pudar. Penghuni rumah nampaknya belum mengecat ulang rumah mereka. Pemuda itu mendesah. Profesor Chiko mengetuk pintu ketika tak ada jawaban. Tok Tok Tok "Assalamualikum" Sekali lagi ia mengucapkan salam lebih keras dari tadi berharap sang tuan rumah segera membukakan pintu untuknya. "Ambu...Abah!!" Ia memanggil kedua orang tua angkatnya yang juga tak menampakkan diri. Ia tak sabar menunggu sosok kedua orang tua angkatnya membukakan pintu untuknya. Rasa rindu kepada mereka begitu menggebu. Dua tahun lamanya ia tidak pulang karena kesibukannya meneliti fan melakukan berbagai perjalanan dari satu kota ke kota lain. Entah bagaimana kabar mereka sekarang. Berkomunikasi lewat telepon selular pun sangat jarang kecuali jika ayah angkatnya tengah berada di kota yang ada sinyalnya maka mereka bisa saling melepas rindu. "Waalaikumsalam." Akhirnya setelah menunggu sepuluh menit, terdengar suara serak wanita paruh baya memberikan jawaban dari dalam rumah. Tak lama berselang pintu kayu yang sudah pudar catnya terbuka menampilkan sesosok wanita berusia kepala enam. Ia menatap ke arah sang tamu. "Jemi," Wanita yang menutupi rambut berubannya dengan ciput hitam itu langsung menerjang tubuh jangkung si Profesor. Ia menumpahkan segala kerinduannya kepada putra kesayangannya yang telah lama sekali tidak lulang kampung. "Ambu. Apa kabar?" Profesor Chiko yang dipanggil Jemi,langsung mencium pipi kanan dan kiri wanita bergigi ompong itu. "Masya Allah kamu teh kemana saja kasep. Ambu teh kangen pisan." Ia mengusap punggung anak angkatnya penuh kasih dan kerinduan. Sejak masih bayi ia yang merawatnya karena ibunya meninggal lima menit setelah melahirkannya. Wanita tua itu yang kebetulan menolong proses persalinanya. "Maafkan saya Ambu. Saya lalai. Kebetulan banyak sekali tugas yang harus diselesaikan." Profesor Chiko menunjukkan rasa sesalnya. "Iya, teu nanaon tuh Kasep. Ambu teh paham. Di ibukota sedang ada wabah Kapido ya?" Ambu Iroh yang pengetahuannya terbatas mencoba mencari tahu. Di desa terpencil itu wabah Kapido belum diketahui khalayak luas akibat dari keterbatasan sarana informasi dan komunikasi. Meskipun zaman sudah modern, tetap saja untuk lokasi pemukiman yang kesulitan akses transportasi dan komunikasi akan terhambat dengan masalah berita dan informasi yang tengah tren saat ini. "Mentang-mentang sudah jadi profesor eta kepala sampai botak begitu." Ambu Iroh terkekeh memberikan komentar atas penampilan baru Profesor Jeremie Chikitoz. Terakhir kali bertemu, rambut putranya itu masih gondrong sebahu. "Ambu bisa saja." Profesor Chiko tersenyum lebar. Ia memang sengaja mengubah lenampilannya agar tak ada seorang pun yang mengenalnya. "Abah mana?" Profesor Chiko menanyakan keberadaan ayah angkatnya yang tak terlihat. "Si Abah mah biasa lagi nyari kayu bakar ke hutan." Ambu Iroh memberikan kabar tentang suaminya. Bagi penduduk warga setempat kayu bakar sesuatu yang sangat pokok karena mereka masih menggunakan tungku dan tidak mengenal namanya kompor. "oh." "Saya mau menginap lama di sini. Boleh kan Mbu?" Profesor Chiko meminta izin. Jika sudah santai ia pasti akan menceritakan apa yang sedang terjadi hingga membuatnya pulang ke rumah mereka "Tentu saja boleh atuh. Ini teh kan rumah kamu." Ambu Iroh terkekeh. Semakin dewasa hubungan mereka menjadi renggang. Medki demikian tak mengurangi perasaan sayang di antara mereka. "Makasih ya Mbu." Profesor Chiko mengecup pipi Ambu Iroh yang mulai berkerut. Pria botak itu kegirangan lantas menuju mobilnya. Ia menurunkan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam, sebelum akhirnya memindahkan mobilnya di gudang padi. Ia sengaja menyembunyikan kendaraan keramatnya agar tak ada yang mengganggunya. Desa itu sangat terpencil dan mobil adalah kendaraan yang langka dan akan menarik perhatian warga setempat terutama anak-anak kecil. Bisa bahaya jika mereka menyerbu dan minta jalan-jalan. *** Profesor Chiko kini sudah berada di dalam rumah. Rumah itu cukup luas dan memiliki tiga kamar tidur. Ia menempati kamar belakang karena sengaja ingin sedikit leluasa dekat dengan aksws kw dapur kamar mandi dan juga pintu keluar. "Bagaimana kabar penyakit Kapido di kota?" Tiba-tiba saja Ambu Iroh membahas masalah penyakit mematikan itu. "Ambu tahu?"tanyanya. "Ya iya atuh di radio kan rame." Ambu Iroh memiliki radio dan juga televisi. Semua itu Profesor Chiko yang membawakannya dulu sekali. Kalaupun ada genset itu juga atas sarannya. "Nama kamu teh disebut terus di berita," lanjut wanita berusia senja itu. "Nanti Jemie cerita ya Mbu tentang apa yang sedang terjadi." Profesor Jeremie Chikitoz waswas. "Iya." "Ya sudah atuh, kamu teh istirahat dulu. Ambu mau ke dapur masak dulu." Ambu Iroh meninggalkan Profesor Chiko. Wanita itu yakin jika putranya pasti sudah merasa lapar. "Iya, Mbu makasih." Profesor botak itu memang merasa lelah. Maka dari itu ia pun segera masuk kamar dan merebahkan diri di atas ranjang besi beralaskan kasur kapuk yang sudah tipis Ada banyak harapan di tempat baru yang ia duduki saat ini. Ia akan memulai hidup baru sebagai Jemie bukan Chiko. Ada misi yang harus segera diselesaikan olehnya. Pikirannya kembali melayang kepada rekannya yang lain. Entah bagaimana kabar mereka semua. Ada rasa sesal dan bersalah menyeruak dalam dadanya namun ia harus tetap menjalankan misinya. Tak akan kembali ke. ibukota jika masalahnya belum selesai. Di tempat baru ini ia tak akan bisa bersosial media dan mengakses jaringan internet untuk sekedar menelpon pun tak bisa. Tempat ini terpencil dan listrik pun belum masuk. Teman-teman, maafkan saya yang telah meninggalkan kalian semua. Ia bicara sendiri. Pria itu akhirnya terlelap karena kelelahan. Satu jam kemudian barulah ia terjaga saat Ambu Iroh mengetuk pulinyu kamarnya. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN