Hari yang dinantikan oleh Tim Profesor peneliti itu akhirnya tiba. Pagi ini akan diadakan uji klinis fase pertama sebab vaksin buatan mereka yang sudah jadi. Tentu saja para profesor itu itu selain gembira juga dilanda perasaan gugup dan was was khawatir jika hasil temuan mereka gagal.
Peserta yang akan menjadi sukarelawan untuk mengikuti uji klinis vaksin yang baru selesai dibuat sudah ditempatkan di ruangan khusus. Sejak dua hari ini mereka tinggal di lab untuk mengukuti serangkaian tes kesehatan dan persiapan mental. sejumlah tim medis yakni dokter dan perawat juga hadir untuk memantau dan memberikan pertolongan andaikan terjadi hal yang tak diinginkan. Untuk ujicoba ini semua dipersiapkan dengan matang agar tak terjadi kesalahn.
Mereka terdiri dari pria dan wanita usia 20-65 tahun yang dengan sukarela ingin betpartisipasi. Mereka kebanyakan adalah orang-orang yang mengenal profesor Chiko, beberapa pernah bekerja dengan Profesor Chiko dan sisanya berasal dari orang-orang dari berbagai organisasi kemasyarakatan, LSM.
Para kaum hawa nampak antusias. Mereka rela melakukan ini semua demi bisa bertemu dengan profesor Jeremie Chikitoz, Profesor tampan yang masih single yang menjadi idola mereka. Mereka berusaha menarik perhatiannya dengan berdandan habis-habisan. Sayangnya si profesor jolmlo itu tak peduli karena ia sangat sibuk dengan tugas negaranya. Baginya pekerjaan adalah yang utama, hubungan dengan lawan jenis hanya akan menghambat urusannya.
Meskipun mereka kecewa dengan sikap dingin sang profesor namun mereka puas bisa melihatnya dari jarak dekat.
Tim dokter yang ada di bawah naungan Profesor Chiko yang melakukan suntikan vaksin kepada para relawan sementara para Profesor hanya mengawasi dengan melakukan pencatatan secara berkala.
Mereka terlihat sangat sibuk.
***
Keempat profesor sedang berada di ruang rapat membicarakan proses vaksinasi uji coba tahap pertama yang sudah selesai dilakukan kepada para sukarelawan.
"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga ini teh." Profesor Asep terlihat bahagia karena misi para profesor pilihan pemerintah Republik Indoland Serikat itu baru saja selesai dilaksanakan. Harapan pemerintah berada dipundak mereka.
Vaksin Kapido itu merupakan sesuatu yang sangat dinantikan agar negeri ini terbebas dari pandemi.Semua warga masyarakat merindukan kebebasan agar mereka dapat kembali hidup normal dan menjalani aktifitas seperti sedia kala.
"Alhamdulillah. Saya merasa senang tiada tara. Semoga hasilnya memuaskan dan kita pantau bagaiman reaksinya. Semoga saja semua berjalan seperti harapan kita bersama." Profesor Chiko bernafas lega. Meskipun hatinya berdebar karena menunggu reaksi dari mereka. Ia yang akan bertanggung jawab terhadap segala hal yang kemungkinan saja bisa terjadi.
Vaksin Kapido yang mereka buat ini ditargetkan bisa diproduksi secepatnya jika telah lolos uji klinis. Apabila tahap pertama ini sukses maka ada dua tahap lainnya sebelum akhirnya diproduksi secara masal oleh perusahaan farmasi yang telah ditunjuk oleh pemerintah pusat untuk bekerjasama dengan mereka. Ini akan menjadi penemuan besar abad ini, jika sukses mereka.akan mendapatkan penghargaan yang tinggi, bukan hanya dari sekelompok orang melainkan dari seluruh warga dunia.
"Luar biasa antusias mereka dalam berpartisipasi ikut vaksin ini." Profesor Amanda Taro pun sangat bahagia. Wanita Jepang itu merasa bangga. Usaha mereka akhirnya membuahkan hasil, meski belum seratus persen teruji dan masih ada du tahapan lagi yang harus dilalui.
"Benar, padahal mereka tidak dibayar." Profesor Antonio Twisto pun memberikan komentarnya atas partisipasi para sukarelawan.
"Apalagi para wanita yang ikut tadi semangat sekali." Profesor Asep Sikasep berseru. Pria asal Kota Kembang selalu saja mengamati hal tidak penting.
Profesor Chiko tertawa kecil mendengar ucapan rekan satu timnya itu yang terkadang sering melantur. Pria itu meng agak humoris.
"Baiklah, kalau begitu kita istirahat dulu sebelum nanti kita diskusikan hasil vaksinasi hari ini." Profesor Chiko nampak kelelahan. Sepekan terakhir mereka semua kurang tidur karena harus menyelesaikan tugas mereka.
Mereka pun kembali ke ruangan pribadi masing-masing. Untuk membersihkan diri, istirahat. Mereka harus memulihkan kondisi kesehatannya agar kembali bugar dan prima.
***
Selama dua puluh empat jam ini para profesor dan tim dokter berjaga untuk mengamati para partisipan uji klinis vaksin mereka. Orang yang paling waswas adalah Profesor Chiko karena ia adalah ketua tim, penanggung jawab sekaligus pemilik laboratorium.
Hal sekecil apapun akan sangat berpengaruh kepada masa depan kariernya.
Sejenak ia memejamkan matanya. Kebetulan Profesor Asep tengah bersama rekannya yang lain, sehingga belum masuk ke kamar. Profesor Chiko ingin menikmati istirahatnya dengan tenang agar esok bisa melanjutkan pekerjaannya lagi.
Chiko...
Chiko...
Chiko...
Profesor Chiko kembali terbangun karena ada suara seorang wanita memanggilnya.
Ia pikir itu suara Amanda Taro, namun tak ada siapapun. Keringat dingin mendadak membasahi sekujur tubuhnya, nafasnya terengah. Entah suara siapa itu.
Astaghfirullah aladzim, ada apa gerangan? Mengapa sebulan terakhir ini banyak hal aneh yang menimpa dirinya.
Tok
Tok
Tok
"Profesor Chiko!" Terdengar suara memanggil namanya
"Iya, sebentar." seru Profesor Chiko. Sebetulnya ia merasa was-was. Jantungnya berdetak sangat kencang.
Ia bangkit begitu mendengar suara Profesor Asep di balik pintu kamarnya. Semoga saja dugaannya benar.
"Profesor Asep!" gumamnya dengan perasaan lega karena sosok yang ada di hadapannya itu bukan hantu.
Begitu membuka pintu, Profesor Chiko langsung memeluk pria bertubuh pendek itu. Untuk pertama kalinya ia merasakan ketakutan yang teramat sangat.
"Euleuh...euleh...aya naon ini teh Prof, main peluk-peluk segala. Malu atuh kalau ada yang lihat nanti dikira kita teh ada something. Bahaya kalau sampai wartawan tahu." Profesor Asep merasa risih. Ia melupakan sebuah fakta jika dirinya pun hampir setiap malam sering memeluk Profesor Chiko tanpa sadar jika ia tengah tidur. Ia lupa jika dirinya lebih penakut dari Profesor Chiko.
"Ayo, Profesor Asep, Anda masuk dulu! Biar saya jelaskan apa yang terjadi barusan." Profesor Chiko memaksanya.
Karena penasaran pria itu pun menurut.
"Eh, aduh Prof nanti saja curhatnya, sekarang kita ke ruangan satu. Ada penerima vaksin yang menunjukan reaksi." Profesor Asep baru menyadari alasan dirinya menemui ketua tim.
Akhirnya, Profesor Chiko menunda masalah pribadinya. Nampaknya urusan pekerjaannya lebih penting dan menjadi prioritas utama.
"Baiklah kita ke sana sekarang." Profesor Chiko menjadi waswas. Semoga saja para penerima vaksin itu tidak menunjukkan reaksi dan gejala membahayakan.
Di saat yang bersamaan ada banyak hal menakutkan yang menyerangnya.
Pria itu lantas merapikan diri dan mengunci kamarnya. Ia dan Profesor Asep berjalan perlahan menuju suatu tempat. Entah mengapa bulu kuduknya mendadak merinding. Ia seolah tengah diikuti oleh seseorang.
"Profesor Asep!"
"Iya. Ada apa?"
"Ngomong-ngomong Profesor Asep merasa dingin ga? atau ada suara aneh?"
"Please ya Prof, jangan menakut-nakuti saya!"
***
Bersambung