"Hayu ah!" Profesor Asep malah menyeret Profesor Chiko untuk menyembunyikan perasaan takut yang melandanya.
"Sebetulnya ada apa ini Profesor Asep?" Profesor Chiko kebingungan karena pria itu tak memberikan penjelasan apapun malah menyeretnya dengan sedikit kasar. Padahal tadi ia ingin curhat tentang pengalaman horornya.
"Gawat, Prof. Ada dari penerima vaksin yang pingsan," katanya dengan nada serius.
"Ya Allah, Anda ini kalau ada sesuatu yang gawat darurat seharusnya sejak tadi bilang, dong. Jangan seperti ini!" Profesor Chiko berubah tegang. Ini merupakan masalah serius yang harus segera ditangani.
Ia pun langsung mempercepat langkahnya masuk ke sebuah ruangan besama profesor Asep Sikasep.
Profesor Asep tersenyum puas karena berhasil membawanya.
"Selamat ulang tahun, Profesor Jeremie Chikitoz!" Profesor Amanda Taro menampilkan senyuman terbaiknya lalau mendekat ke arahnya, memberikan ucapan selamat.
Wanita yang masih single di usianya yang sudah tiga puluh tahun itu paling antusias dalam memberikan sambutan, bahkan perayaan ini pun ia yang memprakarsai.
"Hari ini profesor ulang tahun, jadi kami semua ingin memberikan kejutan." Profesor Gerry Balll tersenyum.
"Selamat ya, Prof! Semoga sehat selalu dan semakin sukses." Profesor Gerry Ball tak lupa menyampaikan ucapan selamat untuk sosok yang selama ini menjadi panutannya. Meskipun usianya jauh lebih muda darinya namun ia sudah meramalkan jika Profesor Chiko akan menjadi ilmuwan terhebat di abad ini.
"Saya pikir ada apa, tadi sampai kaget mendengar Profesor Asep mengatakan ada yang pingsan." Profesor Chiko berujar dengan nada kesal menyembunyikan kekagetannya. Ia sudah dikerjai oleh rekan-rekannya. Benar-benar menyebalkan!
Pantas saja mereka berempat terlihat sok sibuk sejak tadi, ternyata sedang membaut surprise untuknya. Sayangnya ia tak menyukainya. Segala bentuk kejutan dalam perayaan ulang tahun ia tak menyukainya.
"Terima kasih banyak atas perhatian kalian, namun seumur hidup saya, saya tak pernah merayakan hari kelahiran saya, selain dalam ajaran agama saya tak ada. Juga hari kelahiran saya seperti sebuah kutukan. Hari lahir saya sama dengan hari kematian ibu saya." Sang Profesor menegaskan. Wajahnya terlihat sedih jika mengingat ibunya yang tak sempat ia kenali.
Bukan hanya kehilangan ibunya, ia pun kehilangan ayahnya di hari yang sama setelah ibunya meninggal karena ayahnya memilih pergi berlayar untuk melupakan kejadian buruk yang menimpanya, ia tak pernah kembali lagi, sehingga sampai detik ini ia tak pernah merayakan ulang tahunnya karena baginya ulang tahunnya adalah kesedihannya.
"Maafkan saya, Prof. Tapi tidak ada salahnya jika kita sekedar makan dan berbincang." Profesor Asep menunjukkan rasa sesalnya.
Suasana mendadak hening. Mereka ikut merasakan kesedihan pria berwajah latin itu.
Memang tak banyak yang tahu kehidupan pribadi profsaor Chiko seperti apa karena ia paling tidak suka jika masalah pribadinya diekspos. Cukup mereka mengetahui dan mengagumi hasil karya dan penemuannya saja itu sudah membuatnya bahagia.
"Mari makan malam bersama, lihatlah saya sudah masak banyak." Profesor Amanda Taro berusaha mencairkan suasana yang mendadak berubah mencekam.
Profesor Chiko sempat berpikiran buruk jika penerima vaksin mengalami sesuatu ternyata mereka membuat kejutan namun sayangnya ia tidak menyukainya.
Untuk menghormati rekan-rekannya, ia pun ikut bergabung bersama mereka semua.
"Alhamdulillah hanya dua orang dari mereka yang mengalami efek samping. Sisanya terlihat baik-baik saja." Profesor Asep memberikan laporannya.
"Bagaimana gejalanya?" Profesor Chiko penasaran.
"Hanya menunjukkan wajah lelah, mengantuk, pusing dan sakit badan." Profesor Antonio Twisto membagi kabar.
Mereka asyik menikmati sajian makanan yang ada di hadapan mereka sambil berdiskusi membicarakan hasil ujicoba klinis tahap pertama.
Topik tentang vaksin selalu menjadi hal yang menarik dalam setiap perbincangan mereka.
Setelah itu barulah mereka kembali ke ruangan pribadi masing-masing dengan siaga tingkat tinggi seraya melkukan proses pemantauan terhadap mereka yang baru menerima vaksin.
***
Para Profesor sibuk memeriksa hasil ujicoba vaksin fase pertama. Dibantu oleh tim khusus mereka memantau dan mencatatnya dengan baik setiap perkembangan yang terjadi dari detik pertama hingga dua puluh empat jam kemudian.
Profesor Chiko dan rekannya sangat bersyukur sebab dari puluhan orang yang ambil bagian, tak ada yang menunjukkan efek samping membahayakan. Semua berlangsung susuai dengan harapan.
Kerja keras mereka selama satu bulan ini membuahkan hasil luar biasa.
Uji klinis tahap satu pun dianggap sudah berhasil.
"Alhamdulillah, hasilnya 98% sukses dan memuaskan. " Profesor Chiko menunjukkan rasa bahagianya. Ia mengungkapkan puji dan syukurnya.
Ia dan timnya tengah melihat ke arah layar proyektor untuk mendiskusikan hasil uji coba vaksin.
Hasil ini akan langsung dikirimkan kepada pihak pemerintah.
Setelah ini mereka bersiap untuk ujicoba fase ke dua. Proses pembuatan vaksin ini memakan waktu yang cukup lama, dan kali ini Tim profesor Chiko melakukannya sangat cepat. Mereka selalu serius dalam bekerja maka tak heran jika hasilnya pun memuaskan.
***
Sebulan kemudian mereka bersiap melanjutkan dengan uji klinis tahap ke dua dengan menguji cobakan vaksinnya kepada lebih banyak orang. Seperti pada uji coba pertama, kali ini sample yang mereka ambil dari berbagai kalangan.
Mereka segera mempersiapkan uji klinis tahap ke dua. Rencananya mereka akan memberikan suntikan vaksin ke lebih banyak partisipan.
Pendaftaran pun segera dimulai. Beruntung banyak sukarelawan yang ingin ambil bagian. Tingkat kepedulian masyarakat lumayan tinggi, mereka memberikan respon positif terhadap uji coba vaksin ini meski tak dibayar sepeser pun.
"Fase ke dua ini sepertinya akan memakan waktu yang agak lama." Seru Profesor Amanda Taro. Ia sedari awal telah memantaunya. Tak mudah menguji cobakan sebuah obat atau vaksin yang baru diciptakan.
"Iya, tapi tidak perlu khawatir karena kita juga dibantu oleh para laboran dan tenaga medis yang sedang magang disini sehingga kita tidak terlalu repot mengurus masalah teknis di lapangan." Profesor Chiko memberikan informasi. Ia yakin semua sumber daya manusia yang ada di laboratorium miliknya ditambah para sukarelawan yang berasal dari dunia media akan memberikan dukungan penuh.
"Benar." Profesor Asep setuju. Keempat profesor itu sudah bekerja ekstra keras untuk mencapai cita-citanya.
"Bagaimana laporan sudah selesai?" Profesor Chiko menanyakan laporan hasil penelitian fase ke dua.
"Sudah." Profesor Antonio Twisto mengangguk. Segala laporan dia yang bertanggung jawab membuatnya karena ia ditunjuk sebagai sekretaris. Meskipun kenyataannya ada asisten yang membantu.
Setiap tindakan yang mereka lakukan selalu mereka laporkan. Pemerintah ikut memantau perkembangan sekecil apapun karena ini demi menyangkut kemaslahatan bersama.
Seperti uji klinis tahap pertama, yang kedua pun berlangsung lancar tanpa hambatan. Meski sebetulnya ada beberapa orang kurang sehat ikut serta sehingga menunjukkan reaksinya. Mereka ada yang menagalami sakit badan dan bahkan pingsan.
Profesor Chiko lalu menerima berkas laporan dari Profesor Antonio Twisto untuk ia periksa dan tanda tangani sebelum akhirnya dikirimkan.
Pria itu selalu teliti dalam melakukan pekerjaannya karena ia tak mau jika pekerjaannya itu sia-sia. Ia ingin agar kerja kerasnya membuahkan hasil maksimal.
***
Bersambung