Jasmine menyeka air liur Kevin yang mengenai wajah. Kevin menghempaskan kedua tangan Jasmine yang memeluk kedua kakinya dengan kasar. Berjalan cepat ke mini bar yang terletak di sudut kiri kamar yang luas.
Jasmine tidak akan pergi. Tidak akan meninggalkan istana ini sebelum menaklukkan hati Kevin meskipun sangat tidak mudah.
Susah payah, Jasmine berdiri. Merapikan rambutnya yang berantakan. Sebelah pipi terasa kebas akibat tamparan Kevin. Jasmine meringis kesakitan, tanpa sengaja menyentuhnya.
"Tuhan, kumohon kuatkan aku. Kumohon, luluhkan hati manusia itu agar mau menikah denganku. Hanya dengan cara ini aku bisa membantu mama dan papa, Tuhan," batin Jasmine berdoa sungguh-sungguh. Sedari dulu, gadis itu selalu percaya akan kekuatan doa. Tuhan pasti mendengar segala permintaannya.
Tidak masalah, ia menikah muda. Tidak masalah, kuliahnya tertunda. Tidak masalah, jika kelak hidupnya menderita. Terpenting baginya, Haris dan Liana keadaannya baik-baik saja. Tidak hidup dalam kemiskinan dan kekurangan.
Jasmine menarik napas panjang, mengembuskan perlahan. Mengupayakan dirinya agar tetap bersikap tenang. Kaki jenjang gadis itu kembali mendekati Kevin yang saat ini tengah menegak minuman beralkohol.
“Kamu mau apa lagi?” Sorot mata Kevin memerah. Entah karena masih marah atau sedang mabuk.
Jasmine memberanikan diri, duduk di bangku mini bar samping Kevin. Bibirnya menyunggingkan senyum manis. Menarik botol beralkohol dari cengkraman tangan pria itu.
“Aku tidak akan pergi. Aku ingin Om nikahi," jawab Jasmine setenang mungkin. Bibirnya mengulas senyum manis.
Sama seperti sebelumnya, mendengar itu Kevin sampai menggebrak meja. Jasmine pun terkejut, kedua matanya sontak terpejam.
Tangan kekar itu kembali menarik rambut Jasmine. Menariknya hingga tubuh gadis itu jatuh terjerembab ke lantai. Kini, Jasmine tidak meringis kesakitan. Mulutnya seolah terkunci.
“Kamu tuli? Aku sudah katakan, pergi dari kamarku. Keluar!” Kevin menyeret tubuh Jasmine hingga terbentur pintu kamar. Dengan gerakan kasar, Kevin hendak membuka pintu. Mendepak tubuh Jasmine agar keluar dari kamarnya. Sekuat tenaga, Jasmine mendorong pintu kamar agar tidak bisa terbuka. Usaha Jasmine berhasil. Gadis itu lantas mengunci pintu kamar. Kunci kamar dimasukkan ke dalam bra-nya.
“Sebelumnya sudah kukatakan, aku tidak akan pergi sebelum Om menikah denganku. Titik!"
Kedua mata Kevin melotot. Hatinya tidak terima dibentak gadis kecil seperti Jasmine. Amarahnya semakin memuncak. Terasa sudah berada di ubun-ubun.
“Kurang ajar. Berani sekali kamu membentakku. Rasakan ini."
Tamparan yang dilayangkan Kevin tidak mengenai pipi Jasmine. Gadis itu berhasil menghindar. Kevin semakin geram. Menarik kemeja yang dikenakan Jasmine. Namun, lagi-lagi, Jasmine dapat melepaskan diri.
“Om sadar! Apa Om tidak merasa lelah marah-marah terus? Tidak merasa bersalah menyakiti fisik orang lain? Kedatanganku ke sini bukan ingin Om lukai. Aku ingin menjadi istrimu. Menjadi pengganti istrimu yang telah meninggal dunia itu." Jasmine berbicara sangat lantang. Ia tidak boleh terlihat lemah lagi. Jasmine harus berani dan kuat menghadapi perilaku Kevin yang kasar.
Kedua tangan Kevin mengepal kuat. Tidak terima jika ada wanita lain dengan lancang ingin menggantikan posisi istri pertamanya.
"Dasar keras kepala!" Sorot mata Kevin semakin tajam seolah ingin menelan Jasmine hidup-hidup. Tampaknya Kevin akan melakukan kekerasan fisik lagi. Namun, sebelum itu terjadi, Jasmine sudah terlebih dahulu memecahkan botol minuman yang beberapa menit lalu diteguk Kevin.
“b******k! Kenapa kamu memecahkan botol minumanku?” Kevin tidak terima perbuatan Jasmine. Kedua matanya semakin membesar melihat pecahan beling botol yang berserakan.
“Om pikir, aku tidak berani melukaimu? Om pikir aku perempuan lemah? Om salah. Aku tidak seperti itu. Satu lagi yang perlu Om tau, aku juga bukan perempuan yang mudah putus asa. Aku akan terus menerus membujukmu agar Om mau menikahi denganku.”
“Kurang ajar!” Kevin merangsek, tak peduli Jasmine memegang pecahan botol. Kevin berhasil mencengkram kedua bahu Jasmine. Namun, tanpa diduga, Jasmine menggoreskan pecahan beling pada tangan Kevin. Sontak, cengkraman tangan Kevin pada kedua bahu Jasmine terlepas.
“Lihat! Aku berani, ‘kan? Jangan hanya karena tubuhmu lebih besar, lantas semena-mena padaku. Oh tidak bisa. Aku juga bisa melukaimu seperti Om melukaiku, tapi jika Om bersedia menikahi denganku, aku rela Om siksa setiap hari. Aku rela Om buat hidupku menderita setiap waktu. Aku rela, Om.”
Persetan dengan cinta. Jasmine tak peduli pernikahannya nanti dihiasi dengan cinta atau tidak. Tidak peduli, pernikahannya kelak akan bahagia atau menderita. Ia hanya peduli kehidupan masa tua kedua orang tuanya. Tidak ingin kehidupan Liana dan Haris terlunta-lunta, apalagi sampai tinggal di rumah kecil di pinggiran sungai.
"Oh tidak, Tuhan. Aku tidak akan membiarkan semua itu terjadi!" ucap Jasmine dalam hati.
“Dasar licik. Sebutkan satu alasan yang membuatmu bersikukuh ingin aku nikahi? Sebutkan, gadis sialan!” Kevin semakin dibuat kesal akan tingkah laku Jasmine. Ia tidak menyangka jika gadis yang usianya belasan tahun itu berani menantangnya.
Jasmine menyunggingkan senyum manis sebelum menjawab pertanyaan Kevin. Sesaat, Kevin terpesona melihatnya. Namun, ia segera memalingkan wajah ke arah lain ketika menyadari dirinya telah terpesona senyuman gadis itu.
“Satu alasanku ingin Om nikahi adalah karena aku ingin menunjukkan pada dunia kalau Om bukanlah lelaki penyuka sesama jenis. Apa Om tidak mendengar? Kalau di luar sana orang-orang membicarakanmu kalau Om adalah seorang gay. Tidak menyukai wanita sejak kepergian istrimu. Om penyuka sesama jenis. Ayoklah, Om ... buka hatimu lagi! Jangan biarkan orang-orang memperolok dirimu dengan mengatakan, putra tunggal Benjamin Khaled seorang lelaki penyuka sesama jenis! Menjijikan bukan?” Jasmine semakin berani melawan Kevin. Senyuman yang terbentuk dari bibir tipis itu seperti sebuah ejekan.
“Kurang ajar. Sini kamu! Akan aku cincang tubuhmu.” Kevin berusaha kembali menarik kemeja Jasmine. Gadis itu berhasil menghindar, berusaha terus menjauhi Kevin. Tidak akan ia biarkan lelaki berwajah buruk itu menyakiti fisiknya lagi.
“Stop! Ternyata Om seperti anak kecil. Sudahlah, kita bicara baik-baik. Tidak usah Om marah-marah begitu. Kalau Om marah-marah, Om terlihat seperti monster.” Gadis itu berusaha merayu Kevin.
“Aku tidak peduli. Eh, kamu! Aku bukan seorang gay. Aku lelaki normal.” Kevin mempertegas orientasi seks-nya.
“Oh, benarkah?” ejek Jasmine tanpa ingin menatap wajah Kevin yang memang sebenarnya tampak menakutkan.
“Tentu saja.” Tanpa keraguan seujung kuku pun, Kevin menjawab pertanyaan Jasmine.
“Kalau Om memang lelaki normal, menikahlah denganku dan buktikan kejantananmu di atas ranjang! Apa Om bisa? Ah, tentu saja tidak bisa. Orang seperti Om, hanya bisa mengamuk dan mabuk. Ck, payah.”
Kedua tangan Kevin mengepal kuat mendengar ejekan yang keluar dari bibir sensual Jasmine. Gigi geraham Kevin bergemeletuk. Rahangnya mengeras, menahan emosi yang meluap-luap.
“Kamu benar-benar kurang ajar. Kalau untuk menunjukkan kejantananku, tak perlu kita menikah. Sekarang saja kita melakukannya. Sini kamu! Sini!” Kevin kembali mendekati Jasmine. Seorang gadis menyebalkan yang baru ditemuinya.
“Enak saja. Aku tidak mau. Aku mau melihat kejantananmu, kalau Om dan aku telah resmi menjadi sepasang suami istri.” Jasmine mempertegas ucapan sebelumnya.
“Terlalu banyak omong."
Jasmine terkekeh, menutup mulut dengan sebelah tangannya. Kevin memicingkan kedua mata, kemarahan masih tergambar jelas pada raut wajah.
“Om Monster, nikahilah aku! Aku bisa pastikan jika Om menikah denganku, Om tidak akan menyesal. Om ingin tahu kenapa?”
“Tidak. Aku tidak ingin tahu apa pun. Aku hanya ingin kamu pergi dari kamarku!" teriak Kevin sangat kesal. Lelaki berparas buruk rupa itu mencoba mendekati Jasmine lagi. Namun, Jasmine masih bisa menghindar.
"Aku tidak akan melepaskanmu!" Kevin terus berusaha menangkapnya. Pria itu sudah terlihat muak dengan semua ucapan Jasmine.
Terlalu lama berlari mengejar Jasmine, napas Kevin jadi terengah-engah. Pria itu mulai kelelahan karena mengejar Jasmine yang berputar-putar mengelilingi kamar yang luasnya sama dengan ruang tamu rumah Jasmine.
Kevin merebahkan tubuh ke atas ranjang. Napasnya naik turun tak beraturan. Saat ini, ia benar-benar kelelahan mengejar gadis lincah itu. Kevin pikir, tidak akan ada wanita yang bertahan mendapat perlakuan kasar darinya! Tetapi, gadis itu sangat aneh? Dia malah bersikukuh ingin dinikahi Kevin, padahal sudah merasakan kekerasan fisik.
“Ternyata kekuatanmu hanya sebatas itu.
Ck, payah. Bagaimana kalau bermain di atas ranjang? Aku rasa hanya bertahan sepuluh menit lalu ....”
Kedua mata Kevin terpejam. Namun, hatinya bergemuruh penuh amarah. Sayang sekali, tubuh Kevin yang baru menginjak usia tiga puluh lima tahun itu memang sudah sangat kelelahan.
“Apa kataku? Om lemah. Lelaki lemah yang hanya bisa menyiksa wanita. Tidak bisa memuaskan wanita. Memalukan.”
Perkataan Jasmine benar-benar membuat Kevin murka. Dengan gerakan cepat, pria itu berhasil menangkap tubuh Jasmine lalu dengan kasar melepaskan kancing kemejanya.
“Om, lepaskan aku! Apa yang Om lakukan?” Jasmine terus saja meronta. Ia tidak mau ternoda sebelum pernikahan itu terjadi.
“Aku akan buktikan padamu kalau aku bukanlah lelaki yang hanya bisa menyiksamu, tapi aku juga bisa memuaskanmu. Ayok kita lakukan sekarang!” Kevin menarik tubuh mungil Jasmine, lalu menghempaskannya ke atas tempat tidur.
"Om, ja-jangan! Jangan lakukan sekarang, Om. Aku mohon …."