Jasmine benar-benar tak menduga jika Benjamin memintanya untuk bersedia membujuk Kevin agar mau menikahinya.
“Jasmine, apa orang tuamu tidak mengatakan satu syarat yang aku ajukan?” Lamunan Jasmine tersentak mendengar pertanyaan yang tak kalah mengejutkan baginya.
"Apalagi ini? Kenapa tiba-tiba Pak Benjamin menyebut satu syarat?" batin Jasmine merasa bingung.
Gadis itu menggelengkan kepala. Raut wajahnya seketika menegang. “Satu syarat? Syarat apa, Pak?”
Mendengar pertanyaan itu, Benjamin menghela napas, menyandarkan punggung pada sofa. Pengusaha sukses itu sudah menduga jika Haris dan Liana belum menyampaikan satu syarat yang ia berikan sebagai pelunas utang.
“Lalu, maksud kedatanganmu menemuiku untuk apa kalau bukan menyanggupi syarat yang aku ajukan pada orang tuamu?”
Kening Jasmine mengkerut. Ia semakin bingung dengan satu syarat yang dua kali diucapkan Benjamin.
“A-aku datang ke sini ... untuk meminta tambahan tenggat waktu p********n utang-utang papa dan mamaku.”
Perasaan Jasmine mendadak tak enak. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan kedua orang tuanya. Jasmine tentu mengenal lelaki pewaris tunggal Ben Khaled Corporation. Lelaki itu, konon kabarnya berwajah buruk rupa dan berperangai buruk. Sudah menjadi rahasia umum jika Kevin Khaled adalah sosok lelaki tempramental sejak istrinya meninggal dunia.
Keseharian Kevin hanya mengurung diri di dalam kamar. Merenungi nasib yang begitu kejam memisahkan dirinya dengan Erika pada saat mereka akan berbulan madu. Pesawat pribadi yang ditumpangi sepasang pengantin baru itu meledak di udara. Namun, Kevin terpental keluar dari pesawat meski sebagian wajahnya terkena percikan api.
Tubuh Kevin ditemukan di perairan laut barat. Sedangkan jasad istrinya hingga saat ini belum ditemukan. Para nelayan yang mendapat informasi hilangnya putra tunggal Benjamin Khaled langsung mengabari jika Kevin berada di daerahnya.
“Maaf, Jasmine. Sudah tidak ada tambahan waktu lagi. Aku hanya memberi waktu pada orang tuamu satu Minggu. Aku juga sudah mengasihani mereka dengan satu syarat yang aku ajukan. Aku pikir kamu tau syarat itu, Jasmine!” tukas Benjamin agak kecewa pada Haris Antonio. Dia pikir, lelaki yang sering ditolongnya itu bersedia menerima satu syarat yang diajukan. Mungkin Haris merasa malu memiliki menantu seperti putranya yang banyak kekurangan atau mungkin Haris dan Liana tidak menyetujui karena usia Jasmine dengan putranya terlampau jauh – 16 tahun.
"Pak, memangnya satu syarat itu apa?”
Tidak dapat dipungkiri, hati Jasmine diliputi penasaran sekaligus rasa takut. Ia takut kalau lelaki tua yang duduk di sofa bersebrangan dengannya meminta syarat macam-macam.
Benjamin pun menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan gadis yang tengah menatapnya penuh rasa penasaran.
“Aku akan menjelaskan lebih dulu mengenai syarat itu. Begini Jasmine, jika keluargamu memenuhi syarat yang aku ajukan, tidak hanya utang keluargamu yang aku anggap lunas, tapi perusahaanku akan memberi suntikan modal lagi untuk keberlangsungan perusahaan Papamu.”
Gadis berbulu mata lentik itu pun tersenyum bahagia mendengarnya. Ia merasa ada secercah harapan yang akan menyelamatkan keluarganya dari kebangkrutan dan kemiskinan.
“Pak, katakan padaku. Apa satu syarat itu?” desak Jasmine semakin penasaran. Jika memang apa yang dikatakan Benjamin benar, maka Jasmine akan menyetujui syarat tersebut meskipun kedua orang tuanya tidak setuju.
“Kamu harus bisa membujuk Kevin agar bersedia menikahimu! Kevin harus punya istri dan anak! Bagaimana? Apa kamu bisa?”
Seketika jantung Jasmine berdetak lebih cepat. Kedua matanya yang besar semakin melebar. Pelipisnya mengeluarkan keringat sebiji jagung, padahal ruangan ini terdapat AC.
“Sya-syaratnya ... pernikahan?” tanya Jasmine terbata-bata. Jemarinya meremas satu sama lain. Gadis itu merasa gugup dan takut, perasaan yang menjadi satu.
“Iya. Aku ingin menunjukkan pada seluruh dunia bahwa anakku masih bisa menikah lagi dan dari pernikahan itu, aku mengharapkan keturunan. Keturunan dari darah daging Kevin! Tapi ya itu ... sejak istrinya meninggal dunia, Kevin tidak mau menikah lagi. Dia selalu menolak gadis-gadis yang aku kenalkan. Jika kamu mampu membuat Kevin bersedia menikahimu dalam waktu satu bulan, maka seluruh utang keluargamu, aku anggap lunas!”
Mendengar itu Jasmine sampai kesulitan menelan saliva-nya sendiri. Memikirkan syarat yang diajukan Benjamin. Apakah ia mampu menaklukkan hati Kevin agar bersedia menikahinya?
"Ya Tuhan ... kenapa semua ini harus menimpaku? Apa yang harus aku lakukan?" Jasmine membatin, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Ia benar-benar bingung. Menikah muda bukanlah keinginannya, tetapi ia merasa tak punya pilihan lain.
“Kalau kamu merasa tidak mampu, lusa kamu dan keluargamu harus keluar dari rumah itu! Sekarang, silakan kamu pulang, aku harus berangkat ke kantor!”
“Tunggu!” cegah Jasmine, berdiri, menghalangi langkah kaki Benjamin.
“Aku akan berusaha! Aku akan berusaha membuat om Kevin bersedia menikah denganku!” tekad Jasmine tanpa keraguan. Padahal hatinya ketar-ketir. Membayangkan bagaimana caranya agar bisa membujuk pria bernama Kevin untuk mau menikahinya.
Tidak ada pilihan lain. Jasmine tidak ingin kedua orang tuanya jatuh miskin. Dia harus menyelamatkan perekonomian keluarganya. Tidak hanya itu, Jasmine juga harus menyelamatkan ratusan karyawan di perusahaan dan asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya.
Benjamin menyunggingkan senyum kemenangan. Akhirnya, ia telah menemukan seorang gadis yang bersedia membujuk anaknya agar mau menikah lagi.
“Kalau begitu, kamu ikut aku sekarang! Aku akan mempertemukanmu dengan Kevin.”
Tidak ada bantahan. Jasmine sudah mengambil keputusan sendiri. Kaki jenjangnya kini mulai mengikuti langkah Benjamin, walau masih ada kesedihan yang gadis itu rasakan. Sedih karena ia harus menikah dengan pria yang sama sekali tidak dicintainya.
"Ya Tuhan, aku benar-benar harus melakukan ini, padahal sebenarnya aku hanya ingin menikah dengan pria yang aku cintai," batin gadis itu coba menguatkan diri.
Bagi Benjamin sendiri, ini adalah kesembilan kalinya ia memperkenalkan seorang wanita pada putranya. Akan tetapi, dari delapan wanita itu tidak ada satu pun yang sanggup menghadapi perilaku kasar Kevin.
“Silakan masuk! Kamu harus tahu, bagaimana sikap dia yang sebenarnya. Aku berharap, kamu mampu membuatnya bersedia menjadikanmu sebagai istrinya,” ucap Benjamin membuka pintu kamar.
Jasmine pun menganggukkan kepala. Seulas senyum ia perlihatkan. Bagi seorang Jasmine, pantang baginya menarik kata-kata yang sudah terucap.
“Aku akan berusaha."
Perlahan Jasmine masuk ke dalam kamar yang sangat luas. Benjamin pun menutup pintu kamar itu, membiarkan Jasmine dan Kevin berdua di dalam. Detak jantung gadis itu terasa semakin cepat. Dia benar-benar takut bertemu dengan Kevin. Namun, ia tidak bisa menghindar dan tetap harus melalui semua itu.
“Om ... Om Kevin …," panggil Jasmine mengitari kamar yang luas.
“Kamu siapa?" Suara berat yang terdengar dari belakang tubuhnya seketika membuat Jasmine menegang. Gadis itu pun berbalik, memastikan jika pria itu adalah Kevin – putra tunggal Benjamin Khaled.
Kedua mata Jasmine membeliak, melihat sosok manusia yang wajahnya mirip monster. Luka bakar pada seluruh wajah Kevin membuat Jasmine hampir saja berteriak. Namun, sebisa mungkin ia berusaha tetap tenang.
“Hai, Om! A-aku ... aku Jasmine. Dulu wa-waktu usiaku sepuluh tahun, Om pernah datang ke acara ulang tahunku. Om masih ingat, 'kan?" Jasmine benar-benar salah tingkah. Senyum polos itu terulas. Menutupi rasa takut yang sejak tadi membuat jemarinya berkeringat. Gadis berkulit putih bersih itu pun mengulurkan sebelah tangan, walau terlihat sedikit gemetar.
“Kamu pasti w************n suruhan papaku!” Sorot mata Kevin begitu tajam menatap Jasmine yang berdiri di hadapannya. Ia tak menyambut uluran tangan Jasmine.
"w************n? Dia menyebutku w************n? Kurang ajar!" Dalam hati, Jasmine sangat geram, tetapi lagi-lagi ia berusaha agar tetap terlihat tenang.
“Aku tidak peduli anggapanmu, Om. Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat sebelum kita menikah. Sebelum aku menjadi istrimu. Sebelum aku menjadi ibu dari anak-anakmu." Entah keberanian dari mana, Jasmine mengatakan kalimat itu dengan lancar.
Mendengar perkataan Jasmine, Kevin tertawa meledek. “Menikah? Siapa yang ingin menikah dengan gadis kecil sepertimu?” Tanpa diduga, tangan kekar Kevin menjambak rambut Jasmine yang diikat ekor kuda.
“Aaarggh … sakit, Om! Kumohon lepaskan rambutku!" Jasmine meringis kesakitan, tetapi Kevin sama sekali tidak peduli. Lelaki berwajah buruk rupa itu, justru semakin kuat menjambak rambut Jasmine hingga jatuh tersungkur ke atas lantai.
“Bangun! Bangun kamu!”
Susah payah, Jasmine berdiri. Menahan rasa sakit di kepalanya. Ternyata rumor yang beredar di luar sana memang benar kalau Kevin Khaled adalah seorang lelaki tempramental.
“Bagaimana? Sakit tidak?” tanya Kevin, sorot matanya penuh kebencian. Air mata Jasmine menetes. Kepalanya terasa sangat sakit.
“Sa-sakit, Om ....”
Kevin pun menyeringai, melepaskan tangannya dari rambut Jasmine.
“Jika kamu menjadi istriku, aku akan menyiksamu lebih kasar dari ini!”
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Jasmine. Gadis itu kembali jatuh tersungkur.
"Ya Tuhan, mimpi apa aku sampai diperlakukan kasar seperti ini? Kenapa laki-laki yang baru aku temui ini tega berbuat kasar padaku?" Jasmine terus saja membatin.
“Bagaimana? Apakah kamu masih bersedia menikah denganku?” Suara Kevin terdengar memekakan telinga.
Jasmine pun hanya memejamkan kedua mata. Entah apa yang harus dilakukannya. Belum satu jam bertemu dengan Kevin, lelaki itu telah berbuat kasar padanya. Baru kali ini, Jasmine diperlakukan kasar orang lain. Sebelumnya tidak pernah ada satu orang pun yang berbuat demikian.
“A-aku akan tetap berusaha membuatmu bersedia menikah denganku, Om.”
“Kurang ajar!”
Tamparan kembali dirasakan Jasmine. Kali ini, sudut bibirnya sampai mengeluarkan darah. Perlahan, ia menyekanya. "Kamu harus kuat! Jangan menyerah, Jasmine! Ingat! Ini semua demi keluargamu." Gadis itu bicara pada dirinya sendiri, menguatkan hatinya yang sempat melemah karena perlakuan Kevin.
"Om, aku mohon me–"
"Stop!" Kevin langsung menyela ucapan Jasmine. Sorot matanya begitu tajam seolah ingin menelan Jasmine hidup-hidup.
"Aku tidak mau mendengar ocehanmu! Sekarang lebih baik kamu pergi sini. Pergi! Aku nggak mau menikah denganmu. Pergi!" Teriakan Kevin tak membuat Jasmine berlari keluar kamar. Gadis itu justru menjatuhkan tubuh ke atas lantai, memeluk kedua kaki Kevin.
"Aku mohon, Om. Menikahlah denganku … aku mohon."
"Cuih! Dasar w************n keras kepala!"