Korban Ketiga

2333 Kata
Daniel melangkah masuk ke kamarnya dengan tertatih-tatih. Semua tubuhnya terasa perih karena luka memar dan juga lebam akibat ulah Nicholas dan teman-temannya. Padahal tadi guru-gurunya melihat sendiri bagaimana Daniel terkapar di dekat tebing. Tapi, mereka tetap bungkam dan melindungi Nicholas agar tidak dihukum. Hanya memarahinya saja di depan anak-anak lain, setelah itu tidak ada tindakan yang mereka lakukan. Benar-benar menjijikan. Daniel mendudukan dirinya pada tempat tidur. Tatapannya menyayu dengan helaan napas yang semakin dalam. Ia baru sadar kalau keberadaannya di pulau asing ini sudah masuk hari ketiga. Hari pertama saat mereka terbangun di pulau ini. Kemudian malamnya saat dimana Beno terbunuh, keesokannya paginya jasadnya ditemukan di depan pintu masuk. Setelah itu guru-guru menguburkan Beno di dekat danau hitam dekat jembatan tua yang terlihat menakutkan itu. Dan saat malam hari, Fiola menjadi korban kedua. Sekarang sudah jam 3 malam, sudah mau masuk hari ketiga. Tapi, tidak ada satupun dari Daniel dan anak-anak lain yang bisa tidur nyenyak. Mereka masih kepikiran akan apa yang Daniel katakan tadi di dekat tebing. Pintu kamar terbuka lebar dan dibanting rapat membuat Daniel mengerjapkan matanya samar. Ada Christ di sana mendekat dengan rahang mengeras. "Apa rencanamu sebenarnya?" Daniel mengernyitkan dahi tidak paham mendengar pertanyaan ambigu Christ. "Kenapa kau mengatakan sesuatu yang tidak benar pada guru dan anak-anak tadi?" Ujar Christ merasa curiga. "Yang aku katakan itu benar, pembunuhnya akan datang menghabisi nyawa kita semua." Ucap Daniel yakin dengan ekspresi seriusnya, "bagaimana bisa kau yang hampir mati sekarat bisa tersadar dan mendengarkan obrolan Fiola dan pembunuh itu. Kau tadi hampir mati dan masih sempatnya berbohong?" Geram Christ menatapnya tidak bersahabat. "Terus, kenapa?" Christ mengernyitkan dahinya mendengar nada menantang itu, "bukannya ini lebih baik agar mereka mati ketakutan karena mengira pembunuh itu akan datang membunuh kita semua di sini? Dengan begitu, mereka tidak akan menggangguku lagi dan fokus pada nyawa mereka masing-masing kan?" Balas Daniel dengan matanya yang memerah. "Aku tahu kau ini pengecut, tapi aku tidak tahu kalau kau ternyata sepengecut ini." Ujar Christ menggelengkan kepala heran. "Cara berpikirmu itu sama sekali tidak akan berhasil sama sekali. Kau pikir dengan berbohong pada anak-anak, mereka akan berhenti menganggumu?" Daniel terdiam, menipiskan bibir meneguk ludah kasar. "Nicholas bukan tipe orang yang takut seperti yang kau harapkan. Dia ... akan makin menjadi-jadi, kau bersiap saja untuk mati. Karena cara berpikir Nicholas adalah ... dia akan segera mati, dan tidak ada salahnya bersenang-senang sebelum hal itu terjadi." Jelas Christ membuat Daniel menegakan tubuh takut. "Aku tadi mengatakan pada anak-anak kalau pembunuh itu adalah ayahmu. Tentu saja itu hanya ... pendapatku sendiri." Kata Christ lagi yang bergerak duduk di kasurnya, "aku cuma ingin memberi mereka rasa takut. Seakan ayahmu datang membalas dendam karena selama ini kau tersiksa karena mereka." Daniel terdiam, merunduk samar dengan kedua tangannya yang mengepal erat. "Bagaimana ... kalau memang pembunuhnya adalah ayahku?" Christ tersentak kaget, menggigit rahangnya kuat sembari berpikir. "Entahlah, pulau ini masih asing. Sangat sulit untuk dijadikan tempat persembunyian." Kata Christ memicingkan mata, menautkan jemarinya satu sama lain. "Apa kau dengar apa yang terakhir kali Fiola katakan?" Tanya Christ lagi pada Daniel di sampingnya. "Fiola ingin aku mati saja," jelasnya lirih membuat Christ menautkan alis satu sama lain. "Kenapa?" Tanya Christ bingung. "Karena dia benci pada orang lemah seperti aku," ujar Daniel menyayukan pandangannya kemudian ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Berusaha memejamkan matanya membuat Christ yang masih ingin bertanya padanya jadi mengurungkan niat. Pemuda itu mendecak samar kemudiam berdiri dan meninggalkan Daniel sendirian di dalam kamar. Daniel kembali terjaga, setelah tidak sadarkan diri ia memang mendengar sesuatu yang seharusnya tidak ia dengar. Apalagi saat dimana terdengar suara gedebug tanah yang ditendang-tendang oleh Fiola untuk berhasil melepaskan diri. Suara napas gadis itu yang memendek. Setelah itu Daniel tidak mengingat apa-apa lagi. Ia baru sadar saat mendengar suara Christ yang tengah mengobrol dengan gurunya. Dan saat ia terbangun, Fiola sudah menjadi jasad yang kaku. Padahal baru beberapa saat yang lalu ia masih bersama gadis itu. Entah kenapa, setiap orang terakhir yang bersamanya ataupun bersinggungan dengannya pasti akan bernasib buruk. Entah memang Daniel adalah sosok pembawa sial atau memang ada seseorang di balik ini semua. Seperti yang Christ katakan tadi, kalau ini semua adalah ulah ayahnya sendiri. Yang ingin membalas dendam karena selama ini Daniel mengalami hari-hari yang berat di sekolah karena anak-anak pengganggu seperti Nicholas dan tiga temannya. Tapi, bagaimana ayahnya bisa ke tempat seperti ini. Tempat asing yang benar-benar tidak ada cara untuk bertahan hidup. Daniel kembali bangkit dari tempat tidurnya, ia mengusap rambutnya kasar dengan merunduk samar sampai kedua bahunya melemas. Ia harus mencari cara agar menemukan sosok yang katanya sebagai pembunuh Beno dan Fiola itu. Bagaimana pun, ia harus mencari tahu. Kalau memang ayahnya adalah pelaku dibalik ini semua. Ia sebisa mungkin akan menghentikannya. Karena membunuh bukanlah pilihan terbaik untuk balas dendam. "Daniel," Daniel tersentak kaget kembali mendengar suara-suara aneh di sekelingnya. Bahkan, sesuatu menyentuh kulit tangannya yang membuat ia merasakan bulu kududknya meremang seketika. Suara-suara bisikan itu kembali terdengar, bahkan napasnya terasa di samping telinganya membuat Daniel memejamkan mata erat dan menutup telinganya dengan kedua tangan. "Aku akan membantumu membunuh mereka semua, Daniel." Suara itu kembi terdengar membuat Daniel bergerak naik ke atas tempat tidurnya dan menutup dirinya dengan selimut. "Aku akan membantumu," Daniel makin memejamkan matanya erat. Pemuda itu menahan napas saat merasakan selimutnya bergerak dari dalam, membuat ia membuka matanya perlahan dan melebarkan mata kaget melihat selimutnya tersingkap sendiri. Kemudian setelah itu terdengar cekikikan geli seseorang sampai membuat Daniel meneguk ludahnya kasar. "Aku akan membantumu, bilang saja padaku." Katanya lagi masih bersuara, Daniel sudah menggigil ketakutan. Bahkan, keringat dinginnya terlihat pada pelipisnya. Napasnya pun ngos-ngosan dengan matanya yang terpejam erat. "Cepat katakan, aku akan membantumu." "Pergi kau! Pergi?!" Teriak Daniel kuat membuat suara itu menghilang begitu saja. Pemuda itu menghela napas ngos-ngosan, wajahnya ketakutan dengan matanya yang bergerak tidak tenang. Ia duduk meringkuk di sudut kasur, menutup kedua telinganya dengan tangan. *** Miss Jessi menghela napas gusar, mengangkat wajah menatap ketiga guru lain di hadapannya yang kini berada satu ruangan dengannya. Kematian dua murid mereka membuat Miss Jessi makin cemas dan ketakutan. Bagaimana mereka akan menjelaskan pada orangtua murid tentang kejadian ini. Kejadian yang sama sekali tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. "Untuk sekarang dan ke depannya, pastikan semua murid tidak ada yang berkeliaran lagi malam-malam di tengah hutan." Kata Mister Paul menghimbau, "dari pada itu lebih baik kalau mereka dilarang untuk keluar Villa." Sahut Mr. Edhan menambahkan. "Bisa juga. Tapi, kalian tahu sendiri kan kalau Nicholas tidak bisa diarahkan dengan baik. Anak itu selalu membantah dan membangkang. Jadi, saya tidak berani." Kata Mr. Betran menggelengkan kepala menolak membuat Mr. Paul di sampingnya mendecak saja. "Sekarang bukan Nicholas yang harus bapak takuti. Tapi, pembunuh yang berkeliaran itu." Ketus Mr. Paul dengan ekspresi keruhnya. "Kita harus menyelamatkan anak-anak yang tersisa sebelum tim penyelamat datang." Miss Jessie melanjutkan, menggigit bibir cemas. Sama sekali tidak pernah tenang saat dia menemukan Beno yang digantung depan pintu masuk. "Sekarang kita harus mengumpulkan semua murid ke dalam satu tempat, jangan sampai mereka berpencar atau berkeliaran lagi. Kita harus ... berpatroli setiap harinya agar menemukan siapa pembunuh itu," Ujar Mr. Paul menyuarakan pendapatnya. "Dengan begitu, kalau kita menemukan pembunuhnya ... kita semua bisa selamat dan keluar dari pulau ini." Tambah pria itu lagi dengan penuh harap. "Apa gak sebaiknya kita hentikan perbuatan Nicholas dan kedua temannya yang menganggu Daniel?" Tanya Mr. Paul pada ketiga guru lainnya. Miss Jessi menggeleng pelan, "apanya yang mau dihentikan, mister? Itu kan cuma candaan anak-anak semata. Daniel terlalu berlebihan, Nicholas kan anak yang baik." Kata wanita berkulit eksotis itu santai membuat Mr. Paul mengangguk saja tidak menanggapi lagi. "Kita tanya saja siapa yang masuk ke dalam hutan semalam. Katanya Rebecca dan teman-temannya, Laura, Christ, Nicholas dan teman-temannya, Daniel, dan juga Fero dan Fiola masuk ke sana." Kata Miss Jessie membuat guru-guru yang lain menganggukan kepala mengerti. "Coba panggil mereka satu-persatu, tanyakan apa tujuan mereka sampai keluar malam-malam?" "Baik," ** Rebecca berdiri di koridor bersama yang lain menunggu giliran dipanggil untuk diinterogasi. Karena kemarin malam ada yang meninggal, mereka yang juga berada di sekitar tempat Fiola meninggal harus menjelaskan alibi mereka berada dan berkeliaran di dalam hutan. "Kita ngapain di kumpulin di sini?" Laura membuka obrolan membuat teman-temannya yang lain mengedikan bahu tidak tahu. "Pasti ada kaitannya dengan kematian Fiola." Jelas Christ dengan nada datarnya seperti biasa, Fero yang berada di sana juga jadi merunduk dalam dengan ekspresi cemasnya. "Fero," panggil Rebecca pelan membuat Fero mengerjap kaget. "Hm?" Sahut pemuda itu linglung. "Kau dan Fiola ngapain ke dalam hutan?" Tanya gadis itu menyelidik, Fero merapatkan bibir dengan menggerakan matanya tidak tenang. "Aku gak harus jelasin ini semua sama kau, kan?" Bukannya menjawab, Fero malah balik bertanya dan membuat Rebecca tersentil emosinya. "Ya, aku cuma penasaran. Kenapa kau bisa sampai meninggalkan Fiola sendirian di dalam sana. Padahal kalian pergi berdua, bukannya itu mencurigakan?" Tuduh Rebecca tersenyum miring. "Kau sekarang menuduhku melakukan sesuatu pada Fiola?" Sentak Fero kesal, Rebecca mengedikan bahunya pelan seakan tidak peduli. "Coba kau pikir saja, bagaimana aku dan anak-anak lain tidak curiga padamu. Kalau kau seakan sengaja meninggalkan Fiola di dalam hutan. Setelah itu kau pura-pura cemas dan mencari tahu keberadaannya." Lanjut Rebecca masih menuduh. Fero mengeraskan rahang, tidak terima disudutkan begini. "Saat kau ke dekat tebing dimana ada Christ, kau langsung tahu tempat Fiola digantung dan dibunuh. Kau ... seakan sudah tahu tempat keberadaan Fiola." Kata Rebecca lagi menjelaskan kesimpulannya. "Itu hanya asumsimu semata, aku memang melupakan Fiola di dalam hutan. Aku dan dia melakukan pemotretan karena pemandangan malam di tengah hutan sangat mendukung." Jelas Fero berusaha meyakinkan teman-temannya, "kau bisa kasih alasan yang lebih bisa diterima? Kau terlalu banyak alasan yang tidak masuk akal." Ujar Rebecca masih tidak percaya dengan apa yang Fero katakan. "Sudahlah, jangan berdebat di sini. Kalian hanya akan makin mencurigai satu sama lain." Lerai Christ menarik lengan Fero agar melangkah mundur. Nicholas, Rein dan Nathan yang berada di sana juga kompak mengatupkan bibir rapat. Tidak mengatakan sepatah katapun, padahal yang terakhir kali bertemu dengan Fiola adalah mereka juga. Dan yang meninggalkan Fiola dan Daniel juga mereka. Alma, Cleo dan Sasha saling merapatkan lengan satu sama lain. Tidak ingin ikut berdebat bersama Rebecca. Karena jujur mereka tidak tahu apa-apa. Hanya pergi merokok di dekat danau hitam, mandi sebentar dan setelah itu mereka kembali ke Villa. Tidak ada hal yang mereka lakukan selain itu. Seharusnya guru tidak menyeret mereka ke masalah ini. Daniel juga berada di sana, berdiri dengan ekspresi keruhnya. Bibirnya pucat dengan lingkaran hitam di bawah matanya masih tercetak jelas. Pemuda itu semalaman tidak bisa tidur nyenyak karena suara-suara aneh kembali menganggu tidurnya. Bahkan, saat Christ masuk tidur di ranjang sebelahnya. Suara aneh itu masih saja terdengar di telinganya sampai Daniel frutasi sendiri. Pintu di samping mereka terbuka membuat Daniel dan teman-temannya menoleh kaget. "Daniel, silahkan masuk." Kata Miss Jessie membuat pemuda itu menurut dan melangkahkan kakinya masuk ke salah satu ruangan di lantai satu itu. Daniel sudah masuk di dalam sana, duduk di hadapan tiga gurunya yang kini menatapnya menyelidik. "Apa yang kau lakukan di dalam hutan semalam?" Tanya Miss Jessi, "saya diserer Nicholas ke sana." Jelas pemuda itu dengan tatapan sayunya. "Kenapa kau bisa bersama dengan Fiola. Apa yang kalian bicarakan?" Lanjut Miss Jessi kembali bertanya, mewakili guru-guru lain yang bersamanya. "Tidak ada. Fiola hanya menggantikan tugas Nicholas, dia mengatakan kalau dia ingin saya mati." Ujar Daniel mengatakan semuanya dengan jujur. "Apa kau yakin kau bukan kau yang membunuh Fiola?" Daniel melebarkan mata kaget, menatap Miss Jessie dengan alis bertautan. "Ya, bagaimana pun orang terakhir yang bertatap muka dengan Fiola adalah kau." Lanjut Miss Jessie menuduh. "Bagaimana bisa Miss menuduh saya, sedangkan saya sendiri saat itu tidak sadarkan diri karena terluka oleh ulah mereka." Kata Daniel dengan kening mengkerut, "apa miss tahu, kalau Fiola mengacungkan pisaunya pada saya sampai saya pingsan? Dan sekarang miss Jessie malah menuduh saya melakukan sesuatu hal yang ... tidak masuk akal bisa saya lakukan." Frustasi Daniel merasa tidak adil dengan semua tuduhan yang dilontarkan padanya. "Kalau Miss Jessi masih punya hati sebagai guru, Miss tidak akan pernah melontarkan kata-kata seperti ini." Kata Daniel sembari berdiri dan melangkah pergi begitu saja membuat guru-gurunya saling pandang dengan menggelengkan kepala heran. "Anak itu memang tidak punya tata krama, katakan saja pada anak-anak kalau Daniel adalah salah satu kandidat paling memungkinkan sebagai pelaku pembunuhan." Ujar Miss Jessie tersenyum miring, guru-guru yang lain mengangguk saja kemudian melanjutkan sesi interogasinya dengan anak-anak lain. ** Miss Jessi melangkah masuk ke kamarnya, meregangkan otot-otot lehernya merasa lelah karena seharian harus mencari tahu kebenaran tentang kematian Fiola yang penuh misteri. Dan pastinya ada hubungannya dengan kematian Beno. Wanita berkulit eksotis itu mencepol rambut panjangnya seadanya. Sesaat menguap kecil lalu melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Saat masuk ke dalam kamar mandi, Miss Jessi berdiri di depan wastafel untuk mencuci muka. Namun, tubuhnya membeku saat merasakan ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Miss Jessie pun langsung menolehkan kepala dan melebarkan mata melihat sosok yang berdiri di depannya kini. Tangan orang itu bergerak menggulung benang di tangannya sembari mendekat membuat Miss Jessie memekik kuat untuk meminta tolong. Tapi, tangan besar itu langsung membungkamnya cepat. Mengalungkan benang pada leher Miss Jessie kemudian mencekiknya kuat dengan kedua bibirnya yang tertarik samar, membentuk senyuman tenangnya. Kedua tangan Miss Jessie bergerak memegang benang pada lehernya, namun tidak bisa. Kedua kakinya juga bergerak menendang dinding tembok berharap bisa melepaskan diri, namun sosok itu tidak memberinya celah sama sekali. Detik-detik terakhirnya Miss Jessie memejamkan matanya dan melihat sosok itu tersenyum padanya. Tangan orang itu terulur dan membuka ikatan rambut Miss Jessie membuat rambut panjang wanita terurai begitu saja. Tidak berhenti disitu, orang itu mengeluarkan pisau di belakang celanananya. Kemudian mengasahnya pada wastafel dengan ekspresi santainya. Setelah itu ia beralih ke Miss Jessie, membuat goresan pada kening guru perempuan itu. Goresannya tertulis angka 3 di sana yang membuat darah guru malang itu perlahan terlihat dan merembes ke lantai dan juga wajahnya. Sosok jangkung itu pun berdiri, seperti biasa menggantung jasad yang sudah tidak bernyawa itu di dalam kamar di dekat pintu kamar. Setelah melakukan itu, ia melompat keluar dari jendela dengan bibir tersenyum manis. "Besok ... yang keempat siapa ya?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN