Sosok Pembunuh

2063 Kata
Sosok jangkung itu tengah melangkah ke jalan setapak di dekat danau hitam yang hanya disinari samar-samar cahaya bulan di atas sana. Di tangannya ada benda tajam yang ia ayun-ayunkan mengikuti arah langkahnya. Bayangannya entah kenapa terlihat menyeramkan saat ia makin mendekati salah satu Villa yang berada di pulau asing itu. Sosok itu berdiri di dekat semak-semak, mengintai Villa yang lampu tamannya sudah tidak berfungsi dengan baik itu. Dan tiang besinya juga nampak berkarat tanda sudah lama tidak terurus. Tatapannya menajam dengan kedua tangannya yang makin mencengkram erat pisau pada salah satu tangannya. Ekor matanya bergerak mengikuti beberapa orang yang terlihat mengobrol seru kemudian tergelak karena celetukan salah satu teman mereka. "Ternyata ada penghuninya di sini," gumam sosok itu tersenyum samar. Setelah berhari-hari berjalan tidak tentu arah dan akhirnya sampai di pulau yang belum pernah ia datangi itu membuat sosok itu menghela napas lega. Karena setidaknya di sini ada orang-orang yang bisa menghiburnya. Bisa menjadi mainan untuknya di saat ia sedang membutuhkan sesuatu hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Laki-laki bertudung kupluk jaketnya itu pun berbalik arah, melangkah kembali ke arah danau hitam yang ia lewati tadi. Sesaat ia berdiam diri di tepi danau, memandang lurus air danau hitam yang nampak tenang di hadapannya. Hamparan pohon pinus di seberang danau seakan menyapa ia yang sedang berdiri sendirian di tengah malam itu. Ekor matanya menangkap jembatan reok di depan sana yang beberapa kayunya rusak dan ambruk karena cuaca yang tidak menentu. Penyangganya pun sudah lapuk dengan ditumbuhi parasit. Suara teriakan di dalam sana membuat sosok itu tersentak kaget, tanpa menunggu lama ia bergegas pergi dengan menyebrangi jembatan reok yang menarik perhatiannya sedari tadi. Tidak ada ekspresi takut pada wajahnya, hanya ekspresi antusias yang membuat langkahnya makin membesar. Berharap ingin segera menemukan sosok yang tadi berteriak memilukan sedari tadi. Teriakan yang memang membuat perasaannya menggebu-gebu dengan jantung berdebar. Apalagi melihat darah merembes kemana-mana, membuat ia tidak bisa menyembunyikan senyuman lebarnya. Sosok itu melangkah masuk ke dalam hutan dengan langkah besarnya. Tatapannya santai tanpa merasa takut berada di tengah kegelapan itu. Ia malah makin merasa semesta kini sedang berpihak padanya. Baru saja ia sampai di pulau asing ini, ia sudah bisa mendapatkan apa yang sudah ia rindukan selama ini. Suara tangisan pilu para korbannya. Dan juga suara saat ia harus memilih membunuh mereka secara perlahan atau sekaligus tanpa mikir panjang. Perasaan berdebar seperti itu yang sudah ia rindukan selama ini. Ia sudah sampai di tempat yang terlihat asing baginya. Ujung hutan yang dimana ada tebing di sana. Di hadapannya ada beberapa anak muda yang sedang bersenang-senang, menjadikan salah satu teman mereka sebagai samsak. Bahkan, kini terkapar di atas tanah basah dengan keadaan yang menyedihkan. Ia berusaha memperhatikan dan mendengarkan apa saja yang para remaja itu obrolkan di tengah malam di dalam hutan. Obrolan yang membuat adrenalin makin berpacu cepat seperti yang ia rasakan sekarang. Sosok bermata tajam itu menaikan alisnya tinggi, ekspresinya makin mengeras saat mengenali salah satu dari mereka. Bahkan, bibirnya tertarik lembut membentuk senyuman melihat sang anak berada di hadapannya kini. Putra tunggalnya yang selama ini ia rindukan dan kini menjadi bulan-bulanan anak-anak lain yang pasti adalah teman sekolahnya. "Daniel, ternyata kau ... hanya bisa jadi pecundang seperti ini di luar rumah." Gumamnya pelan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya masih merasa heran dengan apa yang baru saja disaksikan oleh kedua mata cokelatnya. Sosok yang berdiri itu –– Fadhen namanya. Ayah kandung Daniel yang berusaha kabur dari kejaran polisi dan sampai terasingkan ke pulau ini. Entah bagaimana ia bisa datang dan sampai di tempat dimana Daniel berada. Hanya ia yang tahu, karena Fadhen merasa hari-harinya akan makin menyenangkan. Apalagi bisa menyaksikan dengan dekat keseharian sang anak di tempat aneh itu. "Hhhh, mari kita lihat ... apa yang bisa anak itu lakukan. Apa hanya bisa terima nasib dan pasrah atau membalas serangan kejutannya." Fadhen maaih berbicara sendiri di belakang semak-belakar itu dengan pandangannya yang menatap lurus Daniel yang sudah terkapar tidak berdaya di tanah. Beberapa saat kemudian terlihat seorang gadis mendatangi Daniel dan anak-anak di depan sana. Tersenyum santai sembari mengobrol dengan anak-anak cowok yang menghajar Daniel. Setelah itu mereka pergi meninggalkan Daniel dan gadis yang memakai dress putih itu berdua di dekat tebing. Fadhen mengernyitkan dahinya, tidak bisa mendengar dengan jelas percakapan Daniel dengan gadis berambut panjang di depan sana. Obrolan yang hanya dilakukan oleh gadis remaja itu, sedangkan Daniel masih sibuk meringkuk karena sakit yang dirasakannya diseluruh tubuh. Fadhen mengerjapkan matanya tajam saat melihat Daniel pingsan, karena teman ceweknya mengacungkan senjata tajam ke arah Daniel. Melihat itu Fadhen jadi tersenyum miring, bersiul-siul membuat sosok yang memakai dress putih panjang itu menolehkan kepala kaget. Fadhen melangkah mendekat dengan tatapan tajamnya yang kini terpampang jelas di sela-sela yang terkena cahaya sinar bulan. Karena wajahnya ditutupi oleh kupluk membuat ekspresinya tidak bisa terlihat jelas. Hanya bibirnya yang kini terlihat tersenyum samar dengan antusias. "Kau ... siapa?" Kaget gadis itu menunjuk Fadhen dengan pisau tajam di tangannya. "Aku ... ayah anak malang ini." Tunjuk Fadhen pada Daniel yang masih tidak sadarkan diri. "Kau ... kenapa bisa sampai ke sini? Kau ... datang dari mana?" Fadhen mengedikan bahu pelan kemudian mengusap pisaunya yang terlihat ada bekas darah di sana. "Aku juga tidak tahu, bagaimana bisa aku sampai di sini. Yang jelas ... kedatanganku ke sini untuk bersenang-senang." Kata Fadhen lagi melangkah mendekat ke arah gadis yang perlahan melangkah mundur karena takut. Walaupun begitu, tangannya yang memegang pisau masih dia arahkan pada Fadhen yang hanya menatapnya datar. "Kau .... mati saja." Setelah itu terdengar suara gadis itu yang berusaha melepaskan diri dari cekikan sosok di depannya. Sampai perlahan tubuhnya melemas dengan sosok yang kini duduk di sampingnya, menatapnya dengan tersenyum manis. *** Semua murid berkumpul di depan kamar Miss Jessie dengan ekspresi mereka yang ketakutan. Karena kasus pembunuhan kembali terjadi dan yang menjadi korbannya adalah sang guru berkulit eksotis itu Miss Jessie. Mr. Edhan dan Mr. Betran berada di dalam kamar Miss Jessie yang sementar ditutup agar jasadnya tidak terlihat oleh murid-murid. Yang masuk ke dalam bersama kedua guru itu hanya Christ, Laura dan Rebecca. Ketiga murid yang merupakan anggota OSIS di sekolah. Karena teman-teman yang lain memiliki mental yang lemah makanya tidak dibiarkan untuk melihat jasad Miss Jessie. "Korban ketiga ternyata adalah Miss Jessie, besok siapa lagi?" Gumam Rebecca santai, berdiri memandangi Laura dan Christ yang sedang mengurus mayat dan mencari tahu apa ada jejak yang ditinggalkan oleh si pelaku. "Apa maksudmu siapa lagi? Kau berharap ada korban selanjutnya?" Sahut Laura yang tengan mengecek kamar mandi dengan memicing berusaha mengamati setiap sudut ruangan. Berharap mendapat petunjuk. "Beno, Fiola dan Miss Jessie." Gumam Christ dengan menaikan alisnya tinggi, "metode pembunuhannya sama, benang dileher dan goresan angka dikening." Lanjut pemuda berahang kokoh itu menajamkan pandangannya pada Miss Jessie yang sudah terbaring kaku. "Sudah pasti pembunuhnya adalah satu orang," katanya membuat kedua gurunya yang masih berdiri di belakang mereka dengan cemas jadi mendecak samar. "Tidak ada pembunuh atau apalah itu, ini murni bunuh diri." Kata Mr. Edhan mengelak tegas membuat Christ menatapnya dingin. "Apa Mr. Edhan harus jadi korban selanjutnya baru percaya kalau semua insiden yang terjadi inilah adalah pembunuhan. Dan bisa saja ini ... adalah pembunuhan berantai." Kata Christ lagi sudah berasumsi membuat kedua gurunya menatapnya tajam. "Jangan memperkeruh keadaan, kau tidak melihat bagaimana teman-teman kau di luar sudah ketakutan? Harus banget kau mengatakan kepada mereka kalau ini adalah pembunuhan?" Tanya Mr. Betran dengan rahang mengeras. "Saya tidak peduli dengan mereka ...mau takut atau tidak. Yang jelas, kebenaran harus terungkap." Kata Christ menyela omongan sang guru. "Saya tahu sekarang suasananya sedang tidak baik, pasti mereka akan makin ketakutan. Tapi, alangkah lebih baiknya kalau mereka tahu sebenarnya. Agar mereka bisa lebih waspada dan tidak seenaknya pergi meninggalkan Villa tanpa ijin." Kata Christ menggigit rahangnya kuat kemudian menolehkan kepala ke samping pintu. Pemuda jangkung itu berjalan pelan lalu membuka pintu lebar membuat beberapa murid yang berdiri ingin melihat keadaan Miss Jessie jadi merapat masuk ke dalam ruangan. "Kalau kalian tidak tertib, aku akan menutup pintu." Kata Christ dingin membuat semua temannya berdiri berjejer rapi, ekspresi mereka ketakutan setengah mati apalagi melihat jasad Miss Jessie yang dibaringkan di atas kain putih. Christ mengedarkan pandangannya ke semua teman-teman di depannya. Tatapannya menajam dengan mengamati ekspresi mereka yang nampak ketakutan dan juga ada beberapa yang menahan tangis. Entah tangis kehilangan Miss Jessie atau hanya karena rasa takut akan kematian yang mengintai mereka. "Miss Jessie meninggal, dilihat dari tubuhnya yang sudah membiru ... sepertinya Miss Jessie meninggal tadi malam. Dan kalau tidak salah tengah malam setelah beliau selesai melakukan interogasi." Jelas Christ pada semua yang berada di hadapannya. "Kemungkinan besar ini adalah pembunuhan berantai." "Jadi, maksudmu ada penghuni lain selain kita di pulau ini?" Potong Nathan di samping Nicholas membuat Christ menatapnya tajam. Karena tidak suka omongannya di potong begitu saja. "Entah pembunuhnya penghuni lain di sini atau salah satu dari kalian, itu tidak penting." Jeda Christ membuat teman-temannya saling pandang dengan ekspresi kaget, "yang terpenting sekarang adalah kalian tidak menyepelekan insiden yang terjadi sekarang. Karena itu ... akan ada aturan baru yang harus kalian ikuti." Sambung Christ dengan raut datarnya, seakan tidak terusik dengan tatapan kedua gurunya yang memintanya untuk diam. "Jangan pernah keluar Villa tanpa seijin Mr. Edhan dan juga Mr.Betran. Jangan melakukan hal-hal aneh seperti menganggu teman kalian, terutama kau ... Nicholas." Kata Christ membuat anak-anak saling pandang merasa kaget karena Christ mendadak menyebut mama Nicholas. "Berhenti bersikap kekanak-kanakan, jangan terus-terusan menjadikan Daniel sebagai mainan kau dan teman-temanmu." Tegur pemuda yang memakai kaos hitam lengan pendek dengan celana jeansnya itu. Nicholas diam saja, menatap Christ dengan tatapan tajamnya. "Kalau kau berani melanggar aturan, aku tidak akan segan-segan untuk menegurmu secara keras." Lanjut pemuda itu kemudian menoleh pada Rebecca dan Laura. "Jangan ada yang pergi masuk ke dalam hutan apalagi main di danau hitam. Tidak boleh pergi keliaran di dalam sana tanpa seijin guru dan juga aku, Rebecca dan Laura." Nicholas tersenyum miring mendengar perkataan Christ. "Kenapa aku dan anak-anak lain harus mendengarkan omong kosongmu? Emangnya kau ketua OSIS? Ketua kelas atau apa, kenapa berhak mengatur aku dan yang lain?" Protes Nicholas setengah membentak. "Aku adalah anggota OSIS inti, karena sekarang tidak ada ketua OSIS aku yang akan menggantikan posisinya. Rebecca dan Laura merupakan anggota OSIS jadi mereka bisa ikut andil," jeda Christ sesaat sembari melirik ke arah Daniel yang hanya menatap lantai lurus, melamun tanpa mendengarkan apa yang Christ dan anak lain sedang debatkan. "Daniel akan menjadi wakil ketua OSIS," perkataan Christ sukses membuat anak-anak lagi-lagi menegakan tubuh kaget. "Atas dasar apa?" Protes Nathan mewaikili Nicholas. "Karena menurut aku dia berhak menjadi wakil, betulkan Mr. Betran?" Tanya Christ menoleh pada gurunya yang terkesiap kemudian menganggukan kepala membenarkan. "Sekarang bukan saatnya berdebat, Miss Jessie harus segera dimakamkan." Potong Christ dan langsung memilih beberapa anak cowok untuk bersiap mengangkut tubuh Miss Jessie. Rebecca dan Laura masih berdiri menepi, memandangi Daniel yang belum sadar dari lamunannya. "Daniel," Daniel tersentak kaget saat Rebecca berdiri memanggilnya, pemuda berambut panjang yang hampir menutupi kedua matanya itu sontak mendongak dan menatap Rebecca dengan tatapan sayunya. "Ke-napa?" Rebecca menggelengkan kepala heran sekaligus ragu mendengar sahutan Daniel yang seperti orang yang tidak ada semangat untuk hidup. "Kau dipilih oleh Christ sebagai wakil ketua OSIS." Jelas Rebecca membuat Daniel mengernyitkan dahinya bingung. "Christ mabuk apa bagaimana sih, kenapa seenaknya memilih orang seperti ini tanpa berdiskusi terlebih dahulu?" Kesal Rebecca membuat Laura terkekeh pelan. "Christ pasti punya alasan, dia bukan tipe orang yang akan memutuskan begitu saja tanpa pertimbangan dan melihat kemampuan seseorang." Rebecca mendecak samar, "menurutmu kemampuan apa yang anak ini punya? Jadi samsak?" Cibir Rebecca sembari menarik diri saat anak-anak lain sudah melangkah pergi membawa jasad Miss Jessie untuk dimakamkan. Daniel menipiskan bibir, tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya Rebecca katakan. "Kau sekarang wakil ketua OSIS. Harus bisa bersikap tegas di hadapan anak-anak lain, jangan cuma pasrah saat diganggu sama Nicholas." Daniel menajamkan pandangannya menatap Rebecca di hadapannya. "Tidak usah sok peduli, kau dan Nicholas sama saja." Ujar pemuda itu membuat Laura menegakan tubuh kaget. "Kau juga sama saja." Sambung Daniel pada Laura yang ingin tersenyum jadi mengatupkan bibirnya rapat. "Apa maksudmu?" "Kalian tahu aku diganggu sampai seperti ini, tapi kalian berpura-pura tidak tahu. Kalian sama saja rendahnya dengan Nicholas, jangan bersikap sok baik di depanku." Kata Daniel dengan menekankan setiap katanya, "semoga kalian semua mati ditangan pembunuh itu. Semoga ... kalian ngerasain penderitaan yang selama ini aku rasain." Ujar Daniel penuh dendam kemudian melangkah pergi dengan ekpresi keruhnya membuat Rebeccca dan Laura saling pandang tidak menyangka kalau Daniel bisa berbicara lantang seperti itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN