Kerja Sama

1153 Kata
"Jadi, apa kita bisa bekerjasama?" Tanya Willy setelah menuturkan detail kasus yang tengah ia tangani. Daniel meraih cangkir kopinya yang masih berisi setengah. Menyeruput dengan perlahan. Pikirannya mencoba untuk menelaah apa yang baru saja dijelaskan oleh Willy. Daniel merasa seperti ada yang tidak beres disini. "Kenapa? Kasus ini terasa tidak asing, ya?" Terka Willy. Daniel hanya menatap lawan bicaranya dan sedikit menyunggingkan senyuman kecut. "Sejujurnya aku pun berpikiran begitu, tapi apa mungkin dia sampai ke sini?" Ucap Willy. "Entahlah... Aku memang tak tau bagaimana akhir dari kasus yang lalu, tapi kurasa dia sudah mendapatkan hukuman yang setimpal," "Semoga begitu. Ah... Sayang sekali aku lebih dulu pindah tugas sebagai intelejen swasta disini sebelum tau kelanjutan kasus yang lalu." Daniel mengedarkan pandangannya ke sekitaran kedai kopi tempat dimana dirinya berada. Di tengah riuhnya suasana kedai, Daniel malah bergelut dengan pikirannya sendiri. Orang yang beberapa kali tertangkap matanya termasuk saat di kantor tim penyidik tadi, yang terlihat begitu mirip dengan sosok yang dikenalnya. Kalau benar yang dilihatnya adalah orang yang sama dengan tokoh masa lalunya... Kemungkinan kasus yang ditangani Willy ini memang kasus serupa yang dulu pernah terjadi. . . . . . "Ah aku sangat lapar..." Lirih Ben yang tengah terkapar di sofa milik Daniel. Lelaki itu melirik ke arah jam dinding, sudah cukup larut tapi rekannya itu belum juga kembali. "Apa seperti ini kegiatannya setiap hari?" Gumam Ben sembari bangkit dan melangkah menuju dapur. Ia mulai mengacak-acak isi dapur Daniel yang memang selalu lengkap. "Wah... Bahkan dia punya stok alkohol!" Ujar Ben begitu ia melihat jajaran botol minuman dari beragam merek ternama. "Sial! Apa aku harus memasak? Aku benci memasak!" Kini lelaki itu mala menggerutu sendiri. "Daniel cepatlah pulang aku lapar!" "Hey, penyusup! Kau lapar?" Ben seketika terlonjak begitu mendengar suara yang sangat menusuk dari arah belakangnya. Daniel, lelaki itu berdiri sembari bersedekap d**a melihat rekannya yang tengah melongok isi lemari pendinginnya. "K-kau? Sejak kapan kau berdiri disana?" Tanya Ben dengan sedikit gelagapan seperti maling yang dipergoki sang pemilik rumah. "Sejak kapan kau berada di kediamanku?" Daniel malah melempar balik rekannya itu dengan sebuah pertanyaan dengan maksud bercanda namun nada bicaranya tetap terkesan dingin. "Hey kau tidak membalas pesanku, ya! Atau jangan-jangan kau tidak membacanya? Jadi begitu aku tiba di bandara aku langsung menuju kesini!" Daniel hanya mengangguk-anggukan kepalanya dan berjalan ke arah lemari pendingin. "Berisik! Aku mau masak, kau lapar bukan?" Ucap Daniel sembari mendorong tubuh rekannya itu agar menjauh dari area dapur. Ia paham kalau Ben bukanlah sosok yang terbiasa berkecimpung di dapur. Meskipun sempat tinggal seorang diri, tapi Ben tak pernah memasak makanannya sendiri kecuali mie instan. "Ah kau benar-benar menyebalkan!" Sembari menggerutu, Ben berjalan menuju meja makan, menarik salah satu kursi disana. "Berapa biaya sewa disini?" Tanya Ben setelah mendaratkan tubuhnya di atas kursi. Daniel mengeluarkan sebotol wine yang juga dimilikinya, "untuk apa bertanya? Kau tak akan sanggup membayarnya!" Sahut Daniel sembari meletakkan minuman yang dibawanya beserta gelas ke atas meja di hadapan rekannya itu. "Semoga kau jatuh miskin!" Celetuk Ben, kemudian menuangkan isi dalam botol minuman ke dalam gelas. Daniel meraih salah satu pisau dari jajaran pisau koleksinya, dan mulai mengeksekusi beberapa bahan makanan untuk dijadikan hidangan makan malam. Tak butuh waktu lama bagi Daniel untuk mengolah semua bahan tersebut. Hanya dalam hitungan menit, semuanya sudah tersaji di atas meja makan. "Wah! Kemampuan memasakmu meningkat, Daniel!" Puji Ben tidak dilebih-lebihkan. Rekannya itu memang tak perlu diragukan lagi dalam urusan memasak. "Ah, iya Daniel apa nanti aku harus tidur di sof--" "Aku punya dua kamar." Belum selesai kalimat yang diucapkan Ben, Daniel sudah lebih dulu memotongnya. Kalau sudah begitu, Ben tak berani bersuara lagi. Setelah menyelesaikan makan malam juga mencuci bersih semua peralatannya, Daniel menunjukkan satu kamar kosong yang bisa ditempati oleh rekannya. Disana sudah terdapat beberapa barang seperti ranjang, lemari pakaian, sepasang meja beserta kursi kerjanya, juga sebuah nakas yang terletak di sebelah ranjang. "Aku tak ingin di tempatku ini ada debu. Jadi tolong bersihkan secara rutin," tutur Daniel kemudian berlalu menuju ke kamarnya, meninggalkan Ben yang bergegas menata barang bawaannya agar bisa segera beristirahat. . . . . . "Ini bayaranmu." Setelah meraih amplop berwarna coklat kemudian memeriksa isinya, ia menyunggingkan senyuman licik. "Aku tunggu sisanya!" Serunya. "Sisanya?" Ia mengangguk. "Sisanya bagaimana? Bukankah ini semua sudah sesuai dengan perjanjian awal?" "Jangan banyak tanya dan segera lunasi saja sisanya!" Kemudian ia menatap seorang lelaki yang duduk di kursi pengemudi itu, lelaki yang sedari tadi menjadi lawan bicaranya juga yang memberikan amplop berwarna coklat itu. "Kau..." Ia mendekatkan wajahnya ke arah lelaki itu yang justru berusaha menunduk. Tak berani menatap lawannya, rautnya nampak begitu ketakutan. "Jangan pernah main-main denganku!" Ia melanjutkan kalimatnya. "B-baiklah! Akan segera kubayar sisanya!" Mendengar hal tersebut ia menyeringai. Kemudian kembali menarik tubuhnya untuk menjauh dari lelaki itu, serta keluar dari mobil. Setelah membenarkan posisi penutup kepala jaketnya, ia melangkah menuju kendaraan roda empat miliknya yang juga terparkir tidak jauh dari mobil lelaki barusan. Menyandarkan tubuh pada kursi pengemudi, kini ia sudah berada di dalam kendaraanya. Memposisikan kaca spion tengah ke arah wajahnya sendiri, kepada cermin ia kembali menyeringai. "Aku tidak butuh ini!" Ia melempar asal amplop berwarna coklat yang baru didapatnya itu. Di dalamnya berisi lembaran cuan yang tentunya tidak sedikit. "Aku hanya ingin... Bertemu Mr. D!" Tururnya, pada dirinya sendiri yang berada di balik cermin. "Nevada State Museum... Aku senang kau begitu bersemangat untuk mengusut hasil kerjaku, Daniel!" . . . . . Bulan belum kembali ke peraduannya, tapi lelaki itu sudah berlari kecil di sekitaran apartemennya. Menggunakan kaus putih serta celana training hitam, keringat Daniel mulai bercucur dari keningnya. Hari ini ia tidak bisa tidur, menuju pagi akhirnya Daniel memilih untuk sekadar olahraga di sekitar tempat tinggalnya. Langit yang semula redup perlahan mulai bercahaya, dengan malu-malu mentari mulai mengiringi langkah Daniel. Namun, lelaki itu malah memilih untuk kembali pada kediamannya ketika mentari mulai menaburkan sinarnya lebih terang lagi. Apartemen masih sangat sepi, belum terlalu banyak penghuni yang keluar dari sarangnya untuk beraktifitas. Bahkan di dalam lift, hanya ada Daniel seorang diri. Tepat ketika pintu lift terbuka di lantai yang Daniel tuju, seorang lelaki mengenakan pakaian serba hitam dengan topi yang menutupi kepalanya, berpapasan dengan Daniel. Namun, Daniel sama sekali tak mengindahkan lelaki itu. Ia melangkahkan kakinya keluar dari lift untuk menuju ke huniannya, dan waktu seakan melambat begitu Daniel melintasi lelaki itu. Alih-alih segera masuk ke dalam lift, lelaki itu malah menoleh, mengangkat topinya sedikit dan menatap langkah Daniel dari arah belakang. Kemudian menyunggingkan senyumnya yang sinis. Untuk yang kesekian kalinya, Daniel mendapati hunian di sebelahnya dengan pintu yang sedikit terbuka. Lama-lama Daniel merasa risih juga, tapi ia mencoba untuk tak terusik akan hal itu. Toh tetangganya itu tak melakukan sesuatu yang merugikan sekitarnya, pikir Daniel, hanya membuka sedikit pintu kediamannya. Setelah memasuki apartemennya, Daniel melangkah menuju dapur. Menuangkan air mineral pada satu gelas bening, kemudian meneguknya sampai tak bersisa. "Daniel? Kau tampak berkeringat." Ben yang baru saja bangun dari tidurnya itu sedikit keheranan melihat rekannya yang dibanjiri keringat. "Olahraga. Aku bukan pemalas sepertimu!" Sahut Daniel yang kini mulai mengulik mesin kopi miliknya. Menaruh cangkir di sisi tempat kopi terkucur. "Mau kopi?" Tawar Daniel pada Ben yang tengah nangkring di meja makan. "Tentu!" Jawab Ben dengan sangat antusias. "Buat sendiri!" Alih-alih membuatkan juga secangkir kopi untuk rekannya, Daniel malah berlalu menapaki anak tangga. Namun, di pertengahan Daniel menghentikan langkahnya. "Kau bisa menggunakan mesinnya?" Tanya Daniel yang ternyata membuat Ben mengumpat. "Kurang ajar!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN