Laju kendaraan Daniel membelah jalanan inti Las Vegas dengan kecepatan penuh, menuju kantor badan intelejen yang tengah bekerja sama dengannya untuk memecah sebuah kasus pembunuhan di meseum.
Setelah memarkirkan mobilnya, Daniel segera mengambil langkah cepat untuk menuju salah satu ruangan di sana. Baru saja jemarinya hendak menggapai gagang pintu, mata Daniel menangkap sosok yang begitu tak asing baginya. Kening Daniel seketika mengkerut. Apa Daniel salah liat? Kalau yang dilihatnya itu benar adanya, berarti sosoknya itu memang berada disini. Sebab beberapa waktu lalu pun Daniel seperti pernah melihatnya sekilas.
"Oh! Mr. D?"
Tanpa sadar, pintu ruangan yang di depan Daniel itu sudah dibukakan oleh seorang lelaki dari arah dalam.
"Kau sudah datang? Mari masuk!" Sambut lelaki itu menggiring Daniel untuk masuk ke ruangannya yang berisikan 3 orang lelaki lainnya dengan kesibukannya masing-masing.
"Mr. D! Ayo silakan duduk!" Sambut lelaki lain yang semula sibuk di depan komputernya. Seseorang yang sudah Daniel beritahu kalau ada sesuatu yang berhasil Daniel temukan.
"Aku sudah melacak nomor ponsel yang kau berikan. Semuanya sudah tidak aktif namun berasal dari satu tempat yang sama. Kemungkinan setelah digunakan, nomor ponsel itu dibuang dan menggantinya dengan nomor lain. Juga aku telah memecahkan ini!" Daniel melempar catatan kecilnya ke atas meja yang berada di hadapannya.
Ketua tim segera meraih catatan itu. Membolak-balikan halamannya, mengamati dengan begitu teliti.
"Aku mendapatkannya dari buku sejarah yang ada di kamar korban," ucap Daniel. Sembari mengayun-ayunkan kakinya. Lelaki itu duduk di sebuah kursi yang di sediakan dengan menyandarkan tubuh pada penyangga dan menyilangkan kaki.
"Maksudmu ini?" Seorang lelaki lain mengacungkan sebuah plastik khusus berwarna bening yang berisikan sebuah buku. Begitu melihatnya, Daniel mengangguk. Itu memang buku yang ia temukan kala itu.
"Saham? Apa hubungannya seorang guru sejarah biasa dengan saham?" Ketua tim nampak kebingungan.
Daniel membernarkan posisi duduknya, "apa kau yakin dia hanya seorang guru sejarah biasa?"
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Daniel barusan, seluruh pasang mata yang ada di ruangan itu seketika mengarah kepadanya.
"Dugaanku, bisa saja dia adalah orang yang sering bermain saham. Mungkin karena ada masalah dengan pesaingnya, makanya dia melarikan diri dan berkamuflase menjadi seorang guru," Daniel bangkit dari duduknya. Merapikan jas hitam yang yang membalut tubuh kemudian menyembunyikan kedua tangannya di balik saku celana.
"Kau bisa telusuri lagi profil si korban lebih dalam. Kalau butuh batuanku lagi, silakan hubungi saja." Ucap Daniel, kemudian kakinya melangkah untuk keluar dari ruangan.
"Terima kasih banyak! Mr. D!" Ucap ketua tim dengan sedikit berteriak dari ambang pintu. Sementara Daniel yang sudah cukup jauh melangkah hanya mengangkat tangan sebelah kanannya selama beberapa detik da sedikit melambai. Tanpa menoleh sedikit pun, Daniel menyunggingkan senyuman miring dalam langkahnya.
.
.
.
.
.
Daniel baru saja memasang arloji hitam di tangan kirinya. Dengan mengenakan kaus hitam serta celana jeans dan berbalut jaket, Daniel memandang dirinya sendiri di depan cermin, menghela napas kemudian bergegas keluar dari kediamannya menuju basement, tempat dimana mobilnya terparkir.
Langit sudah begitu pekat, menyisakan gemerlap lampu beberapa bangunan yang semakin malam semakin riuh. Jalanan juga masih cukup ramai oleh lalu-lalang kendaraan.
Setelah menepikan mobilnya, dengan berjalan kaki langkah Daniel terayun menuju tempat yang sudah dijanjikan. Seorang lelaki, telah berdiri membelakangi arah datangnya Daniel, di dekat marka tanah Las Vegas Strip atau papan Welcome to Fabolous Las Vegas. Melihat sosok itu, langkah Daniel terhenti. Dengan kedua tangan yang disembunyikan di balik saku celana, Daniel menundukkan kepalanya. Ingatan masa lalunya mulai menyerang lagi. Sepertinya, benar dugaan Daniel. Willy yang meneleponnya dan membuat janji temu itu, adalah Willy yang sama, dengan sosok yang dikenalnya di masa lalu.
Setelah menarik napas panjang, Dengan setengah keraguan kaki Daniel kembali melangkah. Lebih dekat, lebih dekat, lebih dekat, dan...
"Willy?"
Merasa ada yang menyuarakan namanya, lelaki itu pun menoleh. Dan waktu seakan melambat, pergerakan Willy membalikan badannya terasa sangat lambat bagi Daniel yang jantungnya sudah tak baik-baik saja.
"Mr. D?"
.
.
.
.
.
Pesawat yang membawa Ben itu sudah mendarat beberapa menit lalu. Lelaki itu baru saja keluar dari toilet yang ada di bandara. Sembari melangkah keluar area bandara, Ben memeriksa ponselnya, tak ada satu pesan pun dari rekannya, Daniel. Bahkan pesan yang Ben kirimkan sebelumnya pun tak mendapat balasan. Alhasil, lelaki itu segera mencari taxi untuk meluncur ke kediaman Daniel yang memang dirinya sudah tau alamat lengkapnya.
Sepanjang perjalanan, Ben memperhatikan sekelilingnya. Ini kali pertama bagi Ben menginjakan kaki di kota yang memiliki toleransi cukup tinggi pada hiburan dewasa ini. Saking asyiknya menikmati gemerlap sekitar, Ben tidak menyadari kalau saja sang supir tidak memberitahu bahwa mereka sudah tiba di tempat tujuan. Setelah memberi beberapa lembar uang kertas sesuai tarif taxi, Ben pun turun dari mobil dengan memastikan tak ada barangnya yang tertinggal.
Lagi-lagi Ben dibuat terpukau dengan lobby apartement yang begitu mewah. Dia belum tau saja bagaimana tempat tinggal Daniel. Sesaat kaki Ben melangkah memasuki lift, kemudian membalikan tubuhnya menghadap ke arah terbukanya lift itu, di bagian sudut ada seorang lelaki yang sudah lebih dulu masuk, sedang memperhatikan Ben meskipun terhalang beberapa orang di depannya.
Melihat Ben yang membawa banyak tas besar juha koper, lelaki itu menyunggingkan senyuman sinisnya.
'pada akhirnya... Kita semua bertemu lagi,'
.
.
.
.
.
"Benar!" Seru Willy yang baru saja menyeruput secangkir kopi yang asapnya masih mengepul. Keduanya kini sudah berpindah tempat ke sebuah kedai untuk menciptakan pembicaraan lebih lanjut.
Daniel yang duduk di hadapannya pun menghela napas, "aku sudah menduganya itu kau!"
Willy malah terkekeh kecil, "aku malah sama sekali tak berpikiran kalau Mr. D adalah kau, Daniel!"
"Entahlah... Aku benar-benar mengutuk pertemuan ini!" Kini gilira Daniel yang menyeruput kopinya dari cangkir.
Dugaan Daniel ternyata benar. Willy yang ditemuinya itu adalah Willy yang sama dengan tokoh masa lalunya. Dan sialnya kini Willy memang menjadi badan intelejen swasta di Las Vegas. Daniel memiliki firasat buruk akan hal ini!
"Lalu, kenapa kau menghubungiku?"
.
.
.
.
.
Ting!
Pintu lift terbuka di lantai yang menjadi tujuan Ben. Ternyata lelaki yang berada di sudut itu juga ikun keluar dari lift di lantai yang sama. Berjalan di belakang sembari memperhatikan langkah Ben tanpa disadarinya. Lagi-lagi is menyunggingkan senyum, begitu melihat Ben berhenti di depan salah satu pintu yang ia ketahui pemiliknya.
Ben yang memang sebelumnya sudah diberitahu pun langsung menekan empat digit angka yang menjadi kode pintu kedimana Daniel. Begitu ia berhasil masuk, Ben tak henti-hentiny berdecak kagum melihat isi apartement rekannya itu.
"Berapa banyak cuan yang si k*****t itu hasilkan perhari hingga bisa tinggal di tempat se-mewah ini!" Ucap Ben pada dirinya sendiri.
Sementara itu, lelaki yang sedari tadi memperhatikan Ben itu melanjutkan langkahnya. Ia memasuki pintu yang berada tepat di sebelah kediaman Daniel.
Lelaki itu melangkah menuju ruang kerjanya. Dalam gelap, ia melemparkan selembar kertas foto berisikan wajah Daniel ke atas meja, kemudian melempar lembar lain lagi, kali ini wajah Ben yang tertera disana.
Kini langkahnya menuju ke tepian jendela. Dirinya tertawa kecil.
"Mereka kembali bersatu..."