Pentagram

1325 Kata
"Sudah ada tiga orang korban. Pergerakkannya benar-benar tak bisa diperkirakan. Aku tidak berhasil menemukan polanya, sebab itu aku menghubungimu, Mr. D, yang katanya seorang profiler handal di kota ini." Penuturan Willy kemarin masih terngiang di otak Daniel. Lelaki itu kini berada di ruang kerjanya. Berkutat di depan komputer memeriksa surel berisikan data korban yang diterimanya dari Willy. Menurut data, ketiga korban itu tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Daerah tempat tinggal yang berbeda, rentan usia juga berbeda, jenis kelamin pun berbeda. Tentunya ini sangat menyulitkan tim intelejen untuk mengupas motif pembunuhan ini. Namun, ada satu jejak yang ditinggalkan. Sebuah tato temporer di tiap punggung tangan kiri korban dengan lambang pentagram, yaitu lambang berbentuk bintang dengan lima ujung lancip dan lima garis lurus yang dikelilingi oleh sebuah lingkaran. Daniel memperbesar salah satu foto korban yang terdapat lambang tersebut, kemudian mencetaknya dan menempelkan pada dinding, sejajar dengan beberapa foto lainnya. Tak hanya foto, beberapa data pribadi korban juga dicetak oleh Daniel hingga menjadi satu berkas. Salah satu ponselnya berdenting, ada sebuah pesan yang mendarat disana. Sembari menyeruput kopi, tangan kiri Daniel pun meraih ponsel dan membuka pesan tersebut. Setelah membacanya dengan saksama, ternyata itu dari ketua tim penyidik yang beberapa hari lalu meminta bantuan Daniel untuk mengusut pembunuhan di sebuah museum. Dalam pesan singkatnya itu, penyidik mengatakan dirinya perlu bertemu dengan Daniel hari ini. Bahkan ia juga telah mengatur alamat dan jam pertemuannya. Setelah membalas pesan untuk menyetujui, Daniel menyeruput kopinya sekali lagi lantas beranjak keluar dari ruang kerja dan bersiap untuk memenuhi janji temunya. "Itu tempat apa?" Sesaat setelah Daniel menutup pintu ruang kerjanya, Ben yang baru saja muncul di pertengahan tangga pun melempar tanya. "Ruang kerjaku," sahut Daniel yang hendak menuju dapur. Namun baru menuruni dua anak tangga, Daniel menghentikan langkahnya. "Ah, jangan menyusup kalau aku sedang di luar!" Daniel memberi peringatan sebelum akhirnya kembali melanjutkan langkah. . . . . . Seorang lelaki sudah menempati kursi di sudut kedai yang tidak terlalu ramai ini. Mengetukkan jemarinya sembari sesekali melongok ke arah jendela yang berada di sisinya. Begitu terdengar suara pintu kedai terbuka, lelaki itu segera mengalihkan pandangannya ke pusat suara. Ia segera melambaikan tangan ketika sosok yang dinantinya itu terlihat sudah tiba. Sepatu pantofelnya beradu dengan lantai kedai yang terbuat dari kayu, menghasilkan suara ketukan yang begitu khas. Daniel, melanglah menghampiri lelaki yang dikenalnya, menempati kursi kosong yang berada di hadapan lelaki itu, yang tak lain adalah ketua tim penyidik. "Kau mau kopi?" Tawarnya. "Aku baru saja minum kopi. Langsung pada intinya saja," ujar Daniel sembari membenarkan blazernya. Lelaki itu nampak mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya. Sebuah map bening yang dapat dilihat oleh Daniel isinya adalah beberapa lembaran kertas. "Ini berkas kasus yang kemarin. Aku berhasil mengetahui siapa yang ada dibalik semua ini. Tapi... Ada sesuatu yang janggal, sebab dari informasi yang aku dapat, orang tersebut sedang berada di luar negeri pada saat hari kejadian." Sekilas Daniel nampak tak acuh, sembari membolak-balik lembaran data yang baru saja didapatnya itu, pendengaran Daniel sagat tajam mendengarkan penuturan lawan bicaranya dengan saksama. Ia hanya menganggukkan kepalanya untuk menanggapi tiap kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. "Kau bisa membantuku lagi?" Dengan fokus yang masih terpusat pada berkas, kepala Daniel hanya terangguk untuk memberi jawaban kalau dirinya bisa membantu untuk mengusut kasus itu lagi. "Terima kasih banyak, Mr. D!" Tanpa menanggapi ucapan terima kasih dari lawan bicara. Ada sesuatu yang berhasil membuat kening Daniel mengerut. Matanya terbelalak, Daniel menajamkan penglihatannya pada sebuah foto yang terlampir. Ketua tim penyidik yang menyadari perubahan ekspresi pada rekan kerjasamanya itu hanya bisa ikut mengerutkan kening tanpa berani melempar tanya. "Aku harus segera pergi. Kalau begitu, berkasnya kubawa!" Ujar Daniel yang langsung beranjak meninggalkan tempat itu dengan sangat tergesa. Lagi-lagi ketua tim hanya mampu berkerut kening melihat perubahan sikap dari sosok yang dikenalnya dengan sebutan Mr. D itu. . . . . . Willy masih menyaksikan berkali-kali cctv yang berhasil diperolehnya dari lokasi kejadian dua hari yang lalu. Matanya belum terpejam semalaman. Cup bekas mie instan yang disantapnya semalam masih ada di sebelahnya. Satu rekannya malah terlelap di kursi dengan kaki di atas meja kerja. Menjadikan keheningan menyelimuti ruangan tersebut sebelum akhirnya terpecah oleh ponsel Willy yang berdering tanpa aba-aba. "Ya, ada yang bisa kubantu?" Kata Willy kepada si penelepon tanpa memeriksa layar ponselnya terlebih dulu. 'Aku menemukan sesuatu. Kita mesti bertemu, aku segera kirim lokasinya!' ucap seseorang di seberang sana kemudian langsung memutus panggilan suara tersebut secara sepihak. Membuat Willy sedikit kebingungan dan baru memeriksa siapa sebenarnya si penelepon barusan. Setelah mengetahui, dengan segera Willy meraih jaket yang ia tanggalkan di punggung kursi. Kemudian berlalu meninggalkan ruangan untuk menuju ke lokasi yang baru saja ia dapatkan dari si penelepon sebelumnya. Willy melajukan kendaraannya, menuju ke sekitaran salah satu apartemen mewah di daerahnya. Ada sebuah taman di sebelah apartemen itu, orang yang meneleponnya tadi mengirimkan lokasi pertemuannya di taman tersebut. Sembari melangkah, pandangan Willy pun mengedar mencari sosok yang punya janji temu dengannya. Di sana, di salah satu bangku taman lelaki itu terududuk. Ia baru saja menolehkan kepalanya ke arah Willy, membuat Willy mempercepat laju langkahnya untuk menghampiri. "Ada apa, Daniel?" Tanya Willy sembari menempati sisi bangku yang kosong di sebelah Daniel. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Daniel menyerahkan seberkas map bening berisi lembaran data. "Apa ini?" Tanya Willy seraya menyambut serahan berkas tersebut, kemudian memeriksanya satu persatu. "Itu data mengenai korban pembunuhan di museum yang sedang kutangani, kau lihat disalah satu fotonya. Pada lengan kiri korban, ada simbol pentagram, persis seperti pada foto yang kau kirim kepadaku kemarin." Tutur Daniel. Mendengar itu, Willy segera memeriksa foto yang dimaksud. Lelaki itu menyipitkan matanya untuk mempertajam penglihatan. "Benar... Lambang ini sangat persis... Tapi bagaimana bisa? Korban yang tewas ini, apa ada kaitannya dengan korban-korban di kasus yang sedang kudalami?" Menanggapi penuturan Willy, Daniel hanya mengangkat kedua bahunya. "Kalau begitu, boleh aku menyimpan salinan foto ini? Aku juga akan memeriksanya sendiri apa kedua kasus ini memiliki korelasi atau tidak," ucap Willy. Daniel mengangguk, "aku juga akan memeriksanya. Kalau ada yang kau temukan, lekas beritahu aku." Bersamaan dengan keduanya yang hendak pisah jalan; Willy kembali ke kantornya sedang Daniel kembali ke apartemennya, seorang lelaki baru saja menginjakan kaki pada pintu masuk apartemen yang sama, memperhatikan keduanya sembari tersenyum kecil. "Willy? Akhirnya mereka bertemu lagi..." Gumamnya kemudian masuk lebih dulu ke lobby apartemen, berdiri di depan pintu lift untuk menunggu lift yang sedang di lantai atas itu turun dan bergegas membawanya ke lantai yang ia tuju. "Kau tinggal disini?" Tanya Willy menunjuk ke arah apartemen yang terlihat begitu megah itu, sebelum ia memasuki mobilnya. Sementara Daniel hanya mengangguk. "Kau tidak berniat menawarkanku untuk mampir ke hunianmu? Sepertinya itu sangat mewah," ucap Willy dengan maksud bercanda. "Tidak," celetuk Daniel tanpa rasa bersalah sedikit pun, "aku sibuk." Willy hanya terkekeh mendengar jawaban lelaki itu. Daniel ini tak berubah dari dulu, selalu saja ketus. Namun, Willy sudah sangat terbiasa akan hal itu. "Baiklah, aku harus kembali ke kantor. Tapi lain waktu, kau harus mengajakku untuk mempir ke kediamanmu!" "Tidak janji." Setelah melihat mobil Willy bertolak menjauh dari sekitaran apartemennya, Daniel pun melangak menuku lobby apartemen untuk segera kembali ke kamarnya. Begitu Daniel berdiri menanti kedatangan lift yang akan membawanya ke lantai dimana ia tinggal, lelaki di sebelahnya sedikit melirik, Daniel tak menyadari itu. Begitu pintu lift terbuka, setelah mempersilakan orang-orang yang di dalam itu untuk keluar lebih dulu, Daniel melangkah ke dalam lift. Hanya ada dirinya dan lelaki itu. Namun, Daniel yang memang tak pernah menyapa tetangga dan apatis pada sekitar pun tak mau ambil pusing. Dirinya tak terlalu memperdukikan lelaki yang sedari tadi tengah memperhatikan dirinya, bahkan sampai ketika Daniel sudah memasuki huniannya pun pandangan lelaki tersebut tak pernah luput dari Daniel. "Kau dari mana?" Tanya Ben yang nampak sibuk dengan laptopnya, lembaran kertas berceceran di sekelilingnya. "Ada urusan. Kapan kau memulai tugasmu sebagai ahli forensik disini?" Kini giliran Daniel yang melempar tanya. "Siang nanti aku akan bertemu dokter kenalanku yang memberikanku tugas disini. Semoga besok aku sudah bisa memulainya." Sesaat ketika Daniel hendak melangkah menuju dapur, matanya menangkap sesuatu yang tidak asing pada salah satu lembaran kertas milik rekannya. Lantas Daniel segera menghampiri dan meraih kertas tersebut, membuat si pemiliknya sedikit terlonjak. "Ada apa?" Daniel tak mengindahkan tanya yang dilempar oleh Ben. Dirinya fokus memperhatikan sesuatu yang tertoreh di kertas itu, dengan mata yang terbelalak serta kening yang mengkerut, bahkan Daniel sampai tak berkedip. "Ini..."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN