Cangkir Panas

1130 Kata
Pagi ini Daniel sudah rapi dengan setelan formalnya. Ada dua janji temu yang mesti ia tepati. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Daniel pun segera meraih kunci mobilnya dan bergegas meninggalkan huniannya. Baru saja Daniel membuka pintu, lagi-lagi ia berpapasan dengan wanita penghuni baru itu, kali ini mereka menuju ke arah yang sama, lift. Bukan Daniel namanya kalau tidak apatis. Berdiri berdampingan sembari menunggu lift saja Daniel tetap enggan menyapa, jangankan menyapa, melirik saja tidak. Begitu seterusnya sampai keduanya terpisah di lobby. Daniel tidak langsung menuju basement sebab ia ada janji temu dengan Tony di taman sebelah gedung. Daniel tiba lebih dulu, berbeda dengan malam hari, pagi ini taman cukup ramai pengunjung. Ada yang sekadar melintas, ada juga yang berolahraga. "Maaf membuatmu menunggu lama, jalanan cukup macet pagi ini," sebuah suara yang menyapa pendengaran Daniel membuatnya sedikit terkejut. "Tidak, aku juga baru tiba. Duduklah!" Kata Daniel mempersilakan lelaki yang baru saja datang itu untuk menempati bagian kursi yang kosong di sebelahnya. "Kau tinggal di sana?" Tanyanya berbasa-basi sembari menunjuk ke bangunan apartemen yang megah itu. Daniel hanya berdehem lagi mengangguk. "Wah... Luar biasa! Pantas saja semalam kau hanya mengenakan pakaian santai." Ucap lelaki tersebut yang tak lain adalah Tony. Daniel berdehem, "tentang semalam..." Ujarnya dengan nada yang amat serius, membuat Tony yang paham akan maksud Daniel pun seketika menoleh dan ekspresinya sedikit berubah. "Aku..." Daniel merasa bingung harus memulainya dari mana. "Segala tindakan pasti punya alasan di baliknya," sergah Tony seraya menyulam senyum. Mengulang kalimat yang Daniel lontarkan semalam ketika tengah memberi wejangan pada Tony tentang kasus yang ia tangani. "Kau sendiri yang mengucapkan itu semalam, apa kau tidak ingat?" Kata Tony lagi. Daniel hanya mengatupkan bibirnya rapat-rapat, kepalanya tertunduk. Dan pada detik berikutnya... "Aku punya trauma tersendiri dengan kucing. Dulu, ketika aku masih kecil, aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri ketika sepupuku membunuh seekor kucing karena kucing tersebut mencakar lenganku. Aku menyaksikannya dengan jelas, dia mencekiknya sampai kucing itu benar-benar tak bernyawa, semenjak saat itu rasanya aku ingin memuntahkan seluruh isi perutku kalau melihat hewan yang satu itu. Dan entah kenapa... Semalam... Aku malah..." Daniel tak mampu melanjutkan kalimatnya. "Tidak apa, aku mengerti itu di luar kendalimu, Mr. D!" "Kau tidak takut padaku? Aku bisa saja membahayakanmu," Tony hanya menyimpulkan senyum, kemudian lelaki itu melirik arloji di tangan kirinya. "Aku mesti segera ke kantor, Willy pasti sudah menungguku," kata Tony seraya bangkit dari duduknya. "Tidak keberatan 'kan kalau nanti aku ingin berdiskusi lagi denganmu?" Tanya Tony sebelum melangkahkan kakinya. Daniel mengangguk juga ikut bangkit dari duduknya, "tentu. Hubungi aku kapan pun kau butuh." Setelah memenuhi janji temunya dengan Tony, kini Daniel segera meluncur menuju ke kantor penyidik untuk bertemu dengan ketua tim. Ada yang mesti ia sampaikan terkait kasus yang mereka tangani. "Mr. D? Kau sudah datang, silakan masuk!" Sambut seorang lelaki yang juga tergabung dam tim. "Mr. D! Apa kita perlu membicarakannya di luar?" Sapa ketua tim yang baru saja bangkit dari kursi kerjanya dan melangkahkan kaki menuju ke arah Daniel. "Tidak perlu, lagipula kurasa anggotamu juga perlu tahu," "Kalau begitu silakan duduk!" Setelah menempati kursi yang disediakan, Daniel mulai membuka tas kerjanya, mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah map berisikan beberapa lembar kertas mengenai data korban. "Ini yang berhasil kukumpulkan, korban merupakan petugas kebersihan di museum," tutur Daniel. Ketua tim meraih berkas yang diserahkan oleh Daniel, membacanya sekilas. "Museum?" Tanya salah seorang anggota. Daniel hanya mengangguk mengiyakan. "Museum tempat terjadinya pembunuhan guru sejarah?" Tanyanya lagi. Daniel kembali menganggukkan kepala, "benar. Bisa jadi sebenarnya si korban ini menyaksikan kejadian guru sejarah itu, dan karena si pelaku mengetahuinya, jadi ia segera menghabisi nyawa sang korban," jelas Daniel. "Masuk akal..." Gumam ketua tim. "Dan setelah kuperiksa jadwal kerja si korban di hari kejadian, ternyata sangat bertepatan dengan waktu kematian guru sejarah itu," tambah Daniel. Seluruh anggota tim nampak bergelut dengan pemikirannya masing-masing. "Satu hal lagi... Tidak mungkin kalau si korban ditikam langsung di tempat pembuang sampah. Besar kemungkinan, dia dihabisi di tempat lain, kemudian sengaja diletakkan di tempat pembuangan sampah," "Benar!" Salah seorang anggota menyetujui penuturan Daniel, "seperti mayat yang ditemukan beberapa hari lalu di sudut jalan, aku rasa itu juga sengaja diletakkan di sana!" Mendengar kalimat yang dilontar oleh anggota tersebut, berhasil membuat Daniel teringat akan sesuatu. Tentang mayat di ujung jalan itu, hanya ada satu kunci. Kamera dashboard. Kenapa Daniel tidak menemui sang pemilik mobil lagi? Barangkali rekaman yang ia berikan pada lelaki misterius itu hanya salinan, bukan rekaman yang asli. Lantas Daniel tiba-tiba bangkit dari duduknya, membuat beberapa orang yang ada di ruangan itu termasuk ketua tim melempar Daniel dengan tatapan bingung. "Aku sudah mendapatkan alamat rumahnya, barangkali ada informasi yang bisa kalian dapatkan dari sana. Aku masih ada urusan, permisi!" Ujar Daniel yang segera membalikkan tubuh dan mengambil langkah keluar dari ruangan itu. "Terima kasih banyak!" Seru mereka serentak. Daniel melangkah dengan tergesa, entah kenapa dirinya seketika bergegas untuk menyambangi sang pemilik mobil itu lagi. "Hey, anak muda! Untuk apa kau kembali lagi?" Kata wanita paruh baya yang rumahnya berhadapan dengan orang yang dia cari. "Apa dia ada di rumah?" Tanya Daniel, sembari menunjuk ke arah kediaman sang pemilik mobil. "Kau pikir ini jam berapa? Tentu saat ini dia sedang bekerja!" Ujarnya. Benar juga, jelas-jelas kemarin saja ketika Daniel berhasil bertemu dengan orang itu, saat Daniel menyambanginya di malam hari. Lantas Daniel segera kembali ke mobilnya. Dan bertolak meninggalkan tempat itu. . . . . . "Jadi ini kediamanmu?" Tanya Tony. Ketika dirinya, Willy juga Dilla tiba di sebuah kediaman dengan pekarangan yang agak luas. "Silakan masuk!" Kata Dilla seraya membukakan pintu rumahnya. Tony dengan sangat antusias segera melangkah memasuki kediaman Dilla. Sementara Willy, dengan kedua lengan yang disimpan di balik saku celana pun menyapu pekarangan rumah Dilla dengan pandangannya. Ada banyak tanaman dengan beragam jenis di sana, persis seperti kediaman Dilla yang dulu. "Kau tidak bayak berubah," gumam Willy sembari melangkahkan kakinya untuk memasuki kediaman Dilla, yang tentunya masih dapat didengar oleh Dilla sebab wanita itu berada di ambang pintu. "Sebentar aku buatkan minum terlebih dahulu." kata Dilla yang bergegas menuju ke dapur, menyiapkan dua cangkir minuman untuk tamunya. Setelah tersaji di atas meja, wanita itu melangkah lagi ke bagian yang lebih dalam di rumahnya, kemudian kembali dengan sebuah alat menjemur pakaian yang bisa dilipat. "Kita bisa gunakan ini," ujar Dilla. "Benar, dimana pakaian yang telah kau beli tadi?" Kata Willy dengan melempar tanya pada Tony yang diberi tugas membeli pakaian dalam wanita, tapi pada eksekusinya Tony enggan melakukan itu dengan dalih merasa risih, jadilah Dilla yang mesti turun tangan. "Ada di mobil, sebentar aku ambil dulu!" Selama Tony mengambil barang-barang tersebut, tinggalah Willy dan Dilla yang berada di sana. Willy nampak sangat canggung, pandangannya mengedar ke seluruh ruangan, ada sebuah figura yang ditempel pada tembuk, itu potret Dilla dan sang kakak beberapa tahun lalu, di saat semuanya masih baik-baik saja. Kemudian Willy melirik ke arah luar jendela, memerhatikan Tony yang dirasa terlalu lama mengambil barang. Lantas Willy pun meraih cangkir minumannya yang ada di atas meja, menyeruputnya tanpa aba-aba dan tanpa disadari juga kalau minuman itu masih panah. Membuatnya sedikit menyemburkan lagi minuman yang telah menempel pada bibirnya itu. "Itu masih panas!" Seru Dilla. Dalam hati, Willy menggerutu 'kenapa tidak bilang dari tadi!'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN