Peti

1324 Kata
"Ini, aku kelebihan sedikit makanan. Barangkali kau belum makan malam, jadi kau bisa menyantapnya!" Ujar si wanita dengan rambut ikal itu. "Wah, terima kasih banyak! Sebenarnya aku baru saja makan malam, tapi tidak apa, aku dan rekanku akan bekerja sepanjang malam jadi mungkin aku bisa menyantapnya nanti!" "Rekanmu?" Tanya wanita itu dengan kening mengkerut. "Iya, aku tinggal di sini bersamanya. Eum, sebenarnya unit ini miliknya, aku hanya menumpang," jelas Ben. "Apa lelaki sombong itu?" Ben terkejut sekaligus menahan tawa ketika wanita itu menyebut Daniel lelaki sombong. "Kau sudah bertemu dengannya?" Wanita itu terlihat berpikir sejenak, "sepertinya tadi aku berpapasan dengannya, dia baru saja keluar dari unit ini," "Ya, dia memang baru saja keluar. Dan dia juga memang begitu, apatis dan tidak bisa berekspresi, tapi dia sebenarnya baik," ujar Ben. "Begitukah?" Ben hanya memberi anggukan sebagai jawaban, "Kalau begitu... Aku permisi dulu, ya!" . . . . . Daniel seketika menjauhkan lengannya dari kucing mungil itu, ia sendiri nampak keheranan, gelagapan. Wajahnya terlihat begitu panik kala menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Daniel menatap kedua lengannya sendiri tak percaya, sementara Tony dengan perasaan yang bercampur aduk perlahan menghampiri Daniel. Terkejut, takut, tidak percaya, juga ada rasa ingin muntah ketika Tony menyaksikan apa yang Daniel lakukan pada anak kucing itu. "Mr. D..." Lirih Tony. Kedua mata Daniel berkaca, kemudian lelaki itu berdehem untuk menetralkan suaranya. "Apa yang ingin kau bicarakan?" Tanya Daniel. Ia mulai mengendalikan dirinya lagi. Memasang ekspresi datar seperti biasanya, bahkan gelagatnya sudah nampak normal bagi Tony, sampai-sampai Tony kembali dibuat bingung kenapa Daniel bisa berubah secepat itu. "A-aku..." Kata Tony menggantung. Entah rasanya malah jadi tak keruan, Tony nyaris saja lupa tentang hal yang hendak ia sampaikan pada Daniel. "Kau, sudah tahu 'kan kalau kasus yang kutangani sebelumnya itu dialihkan?" Tanya Tony berbasa-basi. Daniel hanya berdehem dan memberi anggukan. "Kau juga ingat akan kasus pencurian pakaian dalam wanita di sekitar tempat tinggalku, bukan?" Lagi-lagi Daniel berdehem juga mengangguk. "Sekarang aku menangani kasus itu... Sebenarnya aku hanya ingin berkonsultasi atau sekadar berdiskusi denganmu, boleh 'kan?" Ujar Tony yang kemudian menoleh ke arah Daniel, melempar tatapan dengan mata yang berbinar. Daniel sendiri tidak mengerti, bocah ini padahal tadi sudah menyaksikan sendiri apa yang dilakukan oleh Daniel, tapi kenapa ia malah melayangkan tatapan seperti itu seakan tak terjadi apa-apa. Setelah membalas tatapan Tony cukup lama, Daniel pun mengangguk, "sila berdiskusi denganku kapan pun kau butuh, selama aku tidak dalam waktu sibuk," jawab Daniel. Tony mengembangka senyumannya, "terima kasih, Mr. D! Terima kasih!" Pun Daniel hanya menganggukkan kepalanya lagi. Entah sudah berapa kali Daniel mengangguk. "Jadi... Menurutmu kalau aku dan Willy mengambil langkah dengan cara memancing si pelaku... Bagaimana?" Tanya Tony. Dan, untuk yang kesekian kalinya Daniel mengangguk lagi, "itu bagus... Tapi kalau bisa, jangan hanya sekali memancing lalu langsing kau tangkap. Kau mesti mencaritahu dulu apa motivasi si pelaku untuk melakukan itu? Ingatlah kalau segala tindakan pasti punya alasan di baliknya," Kini giliran Tony yang mengangguk, "tapi, bukankah itu akan membuang waktu jika mesti membiarkannya dulu dan tidak langsung membekuknya?" "Gunakan ini," Daniel meletakkan ujung telunjuknya tepat di d**a Tony, "dan ini," kali ini jarinya mendarat di kepala Tony. "Sinkronkan hati dan pikiran, sebagai anggota penyidik kau pasti dianugerahi serta dibekali akal dan insting yang tidak seperti pada umumnya, bukan? Gunakanlah sebaik-baiknya... Kau mesti bisa memposisikan diri sebagai si pelaku, berpikir dari pola pikir pelaku, serta melihat dari sudut pandang pelaku. Dari situlah kau baru benar-benar bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi." Mendengar penuturan Daniel, mata Tony semakin berbinar, ia menganggukkan kepalanya sembari memandamgi wajah Daniel yang sedang menatap lurus ke depan dari samping. "Ketika kau menangani suatu kasus, kasus itu mesti benar-benar kau genggam. Bukan sekadar menangkap pelaku, menjebloskannya ke penjara, dan mendapatkan uang. Bukan itu intinya, kau mesti memahami apa yang sebenarnya terjadi agar tidak keliru juga termanipulasi keadaan." Untuk kali pertamanya, sosok Daniel atau yang dikenal sebagai Mr. D, yang begitu misterius di mata Tony, pada akhirnya bisa berbicara panjang lebar. "Terima kasih banyak!" . . . . . "Sama-sama, kalau begitu aku permisi!" Ujar Dilla ketika berada di ambang pintu. Wanita itu akan segera meminggalkan unit apartemen miliknya yang dihuni oleh wanita si rambut ikal tersebut untuk menuju kediamannya. Menyusuri koridor juga menanti datangnya lift yang akan menuju ke lantai bawah. Namun, begitu lift tiba di lantai tujuan Dilla, bersamaan dengan pintunya yang baru saja terbuka. Sesosok lelaki dari beberapa orang yang berjajar mananti datangnya lift berhasil mencuri perhatian Dilla. Itu Daniel. Kakaknya sendiri. Dilla melintas dengan arah yang berlawanan tepat di sebelah lelaki itu, tapi ya seperti sebelumnya, Daniel tak menyadari kalau ternyata sang adik berada di sekitarnya. Dilla sendiri sengaja tidak menyapa sang kakak lebih dulu, ia ingin kalau Daniel bisa menyadari kehadirannya di sini. Sedang Daniel, lelaki itu benar-benar tidak menyadari. Mungkin karena tadi itu cukup banyak orang juga sifat Daniel yang terlalu apatis membuatnya tidak sadar kalau sang adik sudah berada di dekatnya. Daniel tetap melanjutkan langkahnya, menyusuri koridor ketika pintu lift sudah terbuka di lantai yang ia tuju. "Kau sedang apa?" Tanya Daniel ketika melihat rekannya berada di meja makan terlihat seperti tengah menyantap sesuatu, padahal ia tadi sudah makan malam bersama Daniel. "Tadi penghuni baru itu memberiku ini," ujar Ben. Daniel melangkahkan kakinya mendekat ke arah Ben untuk melihat apa yang rekannya itu makan. Begitu netra Daniel berhasil menangkap apa yang ada di salam wadah, seketika satu nama terlintas di kepalanya. Dilla. Itu makanan kesukaan adiknya, dulu, ketika masih tinggal bersama dan semuanya masih baik-baik saja, Daniel sering sekali membuatkan hidangan itu untuk adiknya. Tak mau berlarut-larut meratapi masa yang sudah lewat, Daniel pun melangkah menuju ke ruang kerjanya. "Ponselmu sudah kusimpan di ruanganmu, ya!" Teriak Ben untuk memberitahu. Daniel tidak menanggapinya dan terus menapaki anak tangga sampai ia tiba di depan pintu ruangan kerjanya. Segera masuk dan menempati singgasananyabdi sana. Daniel mengembuskan napas berat, menjambak rambutnya sendiri serta mengusap wajah. Kejadian di taman tadi kembali mengusik pikirannya, Daniel sendiri tak mengerti kenapa ia melakukan itu. Tiba-tiba Daniel teringat akan Tony, entah tapi rasanya ia perlu menjelaskan pada bocah itu akan traumanya terhadap kucing yang membuatnya secara tidak sengaja melakukan itu. Tunggu, apa itu bisa disebut dengan 'tidak sengaja?' Lantas Daniel meraih ponselnya, mengetikkan sesuatu di sana, sebuah pesan singkat untuk Tony. Sementara Tony yang masih dalam perjalanan itu sedikit keheranan kala ada sebuah pesan singkat dari Mr. D yang mendarat di ponselnya. Setelah membaca seluruh isinya, Tony hanya membalas pesan tersebut dengan dua huruf, O dan K. . . . . . "Sudah terlalu larut. Aku mesti segera pulang, selamat beristirahat ya, sayang!" Kata si lelaki seraya mengecup kening wanita dengan rambut ikal itu. "Hati-hati, ya! Hubungi aku jika sudah sampai," kata wanita itu kala menyambut kepergian sang kekasih sampai ke ambang pintu. Setelah memastikan kekasihnya itu sudah cukup jauh melangkah, wanita dengan rambut ikal pun kembali menutup pintunya dan merapikan kediamannya. Mencuci peralatan makan yang kotor, juga menatanya lagi di tempat semula. Setelah dirasa semuanya beres, wanita itu pun beranjak menuju ke kamarnya. Namun, ada satu ruangan yang menelisik rasa penasarannya. Ruangan di lantai atas pada sudut huniannya. Dengan sedikit keraguan juga rasa takut, perlahan jemarinya meraih gagang pintu dan mulai membukanya. Gelap. Itulah kesan pertama yang ia dapat ketika pintu sudah terbuka. Wanita itu pun mencari tombol untuk menyalakan lampu pada ruangan itu. Setelah lampu menyala, betapa terkejutnya ia melihat sebuah peti mati yang diletakkan di tengah-tengah ruangan. Bahkan wanita itu sampai terhentak beberapa langkah ke belakang dan nyaris berteriak. Kedua tangannya digunakan untuk menutupi mulutnya, tanpa buang waktu lagi, wanita itu pun segera mematikan lagi alat penerangan dan menutup pintu itu rapat-rapat, kemudian beringsut menuju ke kamar tidurnya. Waktu terus berjalan dan malam semakin larut, bahkan sudah di penghujung menuju pagi. Bumi terus berputar sampai pada akhirnya matahari mengambil peran. Sialnya, semalaman wanita itu tidak bisa memejamkan mata. Otaknya terus bergerak memikirkan apa yang dia lihat di ruangan itu. Sebuah peti mati, untuk apa? Isinya apa? Rasa penasaran kembali menghantuinya, malam tadi wanita itu terlalu terkejut sekaligus takut untuk memeriksanya lebih jauh lagi. Mungkin kalau di siang hari, ada sedikit keberanian yang menyelinap dalam jiwanya. Alarm pun berbunyi, pertanda ia mesti bersiap untuk menjalani aktifitasnya. Wanita itu beranjak dari ranjang menuju ke kamar mandi. Menatap dirinya sendiri di depan cermin, ada lingkaran hitam di matanya. Kantung mata juga terlihat membesar. Ah, sial. Ini gara-gara semalam ia nekat memeriksa ruangan aneh itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN