Ben baru saja selesai menjalankan prosedur autopsi, cacing di perutnya sudah tak kuasa lagi bertahan lebih lama. Lelaki itu segera menanggalkan jas putihnya dan mengganti dengan blazer sebagai luaran yang ia kenakan. Lelaki itu berencana untuk mencari kudapan makan siang di sekitar laboratorium. Namun, seketika langkahnya terhenti, kala netranya menangkap seorang lelaki yang berada di seberang jalan, lelaki yang baru saja membuka pintu mobilnya dan tengah menatap ke arahnya.
Ada sebuah hantaman kala Ben melihat sosok itu berdiri di seberangnya dengan mata kepala Ben sendiri. Sosok lelaki yang juga ada pada masa lalu Daniel, yang menyebabkan nyaris hancurnya kehidupan Daniel. Lalu bagaimana jika sampai Daniel tahu lelaki itu hadir lagi? Apa sebaiknya ia tak perlu beritahu Daniel tentang ini? Sudahlah, lupakan.
Lantas Ben kembali melanjutkan langkahnya, menuju ke sebuah rumah makan di sudut sana. Setelah memesan seporsi makanan lengkap dengan minumnya, Ben pun menyantapnya dengan sangat santai, posisi duduk di tepi jendela membuatnya bebas melihat keadaan luar kedai. Sampai netranya kembali menangkap sosok lelaki yang sebelumnya beradu tatap dengannya, melangkah memasuki rumah makan di mana Ben berada.
Lelaki itu tak luput dari pandangan mata Ben, mungkin ia pun merasa kalau ada yang memerhatikan dirinya sedari tadi, maka lelaki itu turut menoleh. Bahkan hingga ia memilih tempat duduk juga menyantap hidangannya pun tetap saling melempar pandangan dengan Ben. Sampai-sampai rasanya selera makan Ben hilang seketika. Setelah menghabiskan kudapannya dan menyelesaikan p********n, tanpa harus berlama-lama lagi Ben segera melangkahkan kaki keluar dari tempat itu. Siapa sangka, ternyata lelaki itu juga bangkit dari duduknya.
"Ben!" Panggil lelaki itu ketika keduanya sudah berada di luar rumah makan.
"Mau apa kau?" Tanya Ben dengan anda yang amat ketus.
"Apa kabar? Lama tidak bertemu," ujarnya disertai senyum pada akhir kalimatnya.
"Berhenti berbasa-basi! Dan berpura-puralah kita tak pernah bertemu, aku sangat muak hanya dengan melihat wajahmu!" Tegas Ben dan kembali melanjutkan langkahnya. Sementara lelaki itu hanya menatap punggung Ben yang perlahan menjauh dengan senyuman yang terlukis di wajahnya.
.
.
.
.
.
Ketua tim dan beberapa anggotanya baru saja tiba di kediaman korban, berbekal alamat yang berhasil Daniel dapatkan.
"Apa benar ini tempatnya?" Tanya salah satu anggotanya.
"Menurut alamatnya sih begitu." Ucap sang ketua yang segera melangkah menuju pintu depan kediaman si korban. Tak lupa ia mengeratkan sarung tangan karet sebelum jemarinya meraih gagang pintu.
Ternyata tidak dikunci, ketua tim pun langsung beradu pandang dengan beberapa rekannya, ini menandakan ada yang aneh, kenapa juga pintunya dalam kondisi tidak terkunci?
Mereka pun menggeledah kediaman korban. Namun, sialnya tak ada satu pun bukti yang bisa ditemukan. Si pelaku bermain terlalu rapih, tapi bukan tim penyidik namanya kalau tidak bisa menemukan celah, ada sebuah cctv milik tetangga yang mengarah langsung tepat ke pekarangan rumah si korban. Tanpa buang waktu lagi, ketua tim segera menyambangi kediaman tetangga korban itu, semoga saja sang pemilik cctv bersedia untuk memberikan hasil rekamannya.
"Maaf mengganggu," ucap ketua tim sembari menunjukkan lencana dari balik jaket.
"Apa kami bisa memeriksa cctv yang ada di sana?" Ujarnya, sembari menunjuk ke arah di mana cctv tersebut berada.
"Untuk apa, ya?" Tanya si pemilik rumah yang merupakan seorang wanita yang bisa dibilang cukup lanjut usia.
"Di kediaman sebelah sana, terduga telah terjadi pembunuhan. Untuk itu, kami perlu bukti untuk menyingkapnya. Dan kami lihat, kamera pengawas milik anda itu mengarah tepat ke sana, benar begitu bukan?"
"Iya benar. Kebetulan kamera itu memang sengaja dipasang untuk memantau keadaan sekitar, tapi bisakah kau kembali lagi nanti ketika anakku sudah di rumah? Aku tidak mengerti cara mengoperasikannya," tutur wanita itu.
"Baiklah, kami akan kembali lagi nanti. Ah, ini kartu nama kami, anda bisa menghubungi kami dengan nomor yang tertera di sana. Kalau begitu, kami permisi!" Kata ketua tim.
.
.
.
.
.
Willy, Tony dan Dilla baru saja menjalankan aksinya. Mereka membiarkan Dilla menjajarkan pakaian dalam -yang sengaha dibeli- di pekarangan rumah menggunakan alat penjemur. Sebab khawatir kalau Willy dan Tony ikut turun tangan, nantinya si pelaku ternyata sudah mengintai dan rencana mereka ketahuan. Setelahnya, mereka akan memasang kamera tersembunyi dari dalam rumah yang mengarah langsung ke tempat penjemuran itu, yang nantinya rekaman tersebut akan dijadikan barang bukti.
Pelaku kejahatan lebih banyak beroperasi ketika langit sudah mulai pekat dan suasana sudah mulai sepi. Untuk itu, Willy dan Tony memutuskan untuk tetap tinggal di kediaman Dilla sampai esok pagi. Namun, ponsel milik Willy berdering tanpa aba-aba.
"Ada apa?" Sambut Willy pada sang penelepon.
"Aku punya waktu tapi tidak banyak," kata Willy setelah mendengarkan apa yang dituturkan oleh lawan bicaranya.
"Baik aku segera ke sana!" Seru Willy di akhir pembicaraan.
"Aku pinjam mobilmu!" Kata Willy lagi, seraya meraih kunci mobil milik Tony yang tergeletak di atas meja. Mereka kemari memang menggunakan mobil Tony, sementara mobil Willy sengaja ditinggalkan di kantor.
"Kau mau kemana?!" Teriak Tony dari dalam rumah, yang tidak mendapatkan jawaban dari rekannya itu. Willy keburu masuk mobil dan tancap gas bertolak dari kediaman Dilla untuk menuju ke sebuah laboratorium, tempat yang telah disepakatinya untuk bertemu dengan Ben. Entah ada hal apa yang akan disampaikannya yang jelas nada bicara lelaki tersebut nampak begitu serius.
Setelah menepikan mobilnya tak jauh dari gedung laboratorium tempat Ben bekerja, Willy meraih ponsel dan mengetikkan sesuatu di sana, memberitahu rekannya kalau dirinya sudah tiba. Tak lama kemudian, seorang lelaki nampak melangkah dengan terburu menuju ke arahnya, dan langsung masuk menempati kursi penumpang di sebelah Willy.
"Ada apa?" Tanya Willy.
"Aku bertemu Ryan," kata Ben tanpa basa-basi langsung pada intinya.
Deg.
Keduanya seketika saling melempar tatap, mata Willy terbelalak.
"Kau tahu... Dilla bergabung dengan tim ku,"
Kini giliran Ben yang membelalakan matanya.
"Sial... Aku punya perasaan buruk tentang ini," ujar Ben.
"Apa Daniel tahu?" Tanya Willy.
"Tidak,"
Willy menghela napasnya, "Daniel juga belum tahu tentang adiknya,"
"Sebaiknya memang tidak perlu tahu," kata Ben.
"Tapi kurasa tidak bisa, cepat atau lambat ia pasti tahu,"
"Tapi kau tahu sendiri bukan dia berlari sejauh ini agar bisa memulai kehidupan barunya! Bagaimana jadinya kalau dia tahu sang adik juga sepupunya yang k*****t itu berada di sini juga! Hidup Daniel bisa hancur lagi!" Tutur Ben dengan nada bicaranya yang menggebu.
Lagi-lagi Willy menghela napas, "terkadang kita tidak bisa untuk terus berlari, ada beberapa hal yang memang semestinya dihadapi..." Lirih Willy, dengan tatapan yang lurus ke depan.
"Lantas kau akan memberitahu Daniel?" Tanya Ben.
"Biar dia tahu dengan sendirinya. Aku yakin kedua orang itu memang sengaja mencari Daniel,"
"Bagaimana kalau Daniel membenci kita karena kita tidak memberitahukannya sejak awal?"
Willy menyimpulkan senyum, "Daniel bukan orang seperti itu."
Kini giliran Ben yang menghela napasnya, "apa kau berpikir kalau ternyata semua ini...."
"Bisa jadi," Willy memotong kalimat Ben sebab ia tahu betul kemana arah pembicaraan mereka saat ini.
"Tapi..." Gumam Willy.
"Tapi apa?"
"Kurasa mungkin Dilla sudah berubah,"
Mendengar apa yang dituturkan oleh Willy membuat Ben berdecak dan memutar bola matanya malas, "apa kau lupa, kalau mantan rekanmu itu memang pandai dalam hal memanipulasi diri?" Ujar Ben dengan sedikit menekan kata 'mantan' dalam kalimatnya.
Lidah Willy serasa terlalu kelu untuk menjawabnya. Memang, ia kenal betul bagaimana sifat Dilla. Wanita itu memang penipu ulung, begitu lihai dalam berpura-pura. Seperti iblis yang bersembunyi di balik wajah malaikat. Rautnya yang nampak begitu lugu nan polos selalu berhasil mengelabuhi orang-orang yang tak mengenalnya. Sudah tak terhitung berapa nyawa yang sudah ia renggut dengan tangannya yang mungil itu.