"Dia pasti punya orang kepercayaan. Kau bisa dapatkan informasi dari sana," kata Daniel seraya bangkit dari duduknya.
"Terima kasih banyak, Mr. D!"
Daniel pun segera melangkah untuk melanjutkan pekerjaannya. Lelaki itu belum tidur semalaman. Dan sekarang dia harus kembali ke kediamannya, tapi bukan untuk tidur, melainkan kembali melanjutkan penyelidikan di ruang kerjanya.
Daniel baru saja memasuki kediamannya, ia melihat rekannya yang juga tinggal disini nampak sedang berbicara dengan seseorang meja makan.
"Daniel! Kemana saja kau?" Kata Ben yang melihat kedatangan Daniel.
"Aku sedang melakukan penyelidikan. Dan kau... Willy?" Kata Daniel dengan sedikit rasa terkejut melihat rekannya yang lain berada di kediamannya juga.
"Bagaimana kau bisa kesini?" Tanya Daniel seraya menghampiri keduanya dan menarik kursi di sebelah Ben yang duduk berhadapan dengan Willy.
"Pagi tadi aku melihat ponselku mendapat beberapa panggilan tak terjawab darimu, lantas aku segera menghubungimu kembali, tapi ponselmu malah tidak aktif. Aku penasaran, jadi aku nekat kemari dan bertemu Ben di pintu masuk," tutur Willy.
"Dan dia terlihat seperti orang kebingungan, hanya berdiri memandangi bangunan apartemen," tambah Ben.
"Sepertinya rekanmu ini hampir melupakanku, dia nyaris tidak mengenaliku tadi," kata Willy tak mau kalah.
"Aku memang meneleponmu semalam. Ingin menanyakan perihal kasus yang baru saja terjadi," ucap Daniel yang mendapat tanggapan ekspresi bingung dari Willy.
"Kasus baru?" Tanya Willy, sedang Daniel hanya mengangguk.
"Kasus baru yang mana?" Willy melempar tanya lagi dan kini giliran Daniel yang memasang tatapan bingung.
"Tony tidak memberitahumu?" Kata Daniel.
"Tidak, memangnya ada apa? Aku sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi."
Daniel menghela napasnya, "anak bodoh... Coba kau hubungi rekanmu itu!"
Dengan segera Willy meraih ponselnya dari dalam saku, berusaha menemukan nomor ponsel yang ia cari dan menyambungkannya pada panggilan suara.
"Tony!" Pekik Willy setelah panggilan suara mendapatkan jawaban.
"Kudengar ada kasus baru? Ada apa sebenarnya kenapa kau tidak beritahu aku?"
'Willy, nanti kuhubungi lagi, ya! Aku sedang berada di MGM Grand Hotel,' ucap Tony dari seberang sana.
"Hotel? Untuk apa?" Alih-alih mendapat jawaban dari kalimat tanyanya, panggilan suara itu malah diputus sepihak oleh Tony.
"Halo? Tony? Tony!!" Willy nampak mulai geram.
"Katanya dia sedang di hotel!" Ujar Willy.
"Hotel?" Daniel teringat akan sesuatu, tentang gambar yang dikirimkan oleh Tony semalam. Benar, pasti sekarang Tony tengah melakukan penyelidikan.
.
.
.
.
.
"Benar sekali, pak! Beliau memang sering berkunjung kemari, bahkan kalau tidak salah, beliau juga terdapat sebagai anggota player's club!" Tutur pegawai hotel yang tengah dimintai keterangan oleh Tony.
Itu artinya, si korban merupakan pemain casino. Kalau begitu, bisa jadi pelaku yang menghabisi nyawanya adalah rivalnya sendiri dalam bermain casino.
Tony mencoba untuk segera menghubungi Daniel, tapi tak mendapat jawaban. Ya bagaimana tidak, ponselnya itu ada di ruang kerja sedang Daniel masih di meja makan bersama kedua rekannya, ia tengah menjelaskan kepada Willy apa yang sebenarnya terjadi.
"Jadi begitu? Tapi kenapa Tony tidak memberitahu aku?" Kata Willy setelah mendengar semuanya. Daniel hanya mengangkat kedua bahunya mengisyaratkan kalau dirinya tak tau apa-apa.
"Aku ke kamar dulu, ya. Mau beristirahat sebab nanti aku harus kembali lagi ke rumah sakit," ucap Ben yang undur diri dari mereka.
"Hm, baiklah!" Sahut Willy.
Ben baru saja memasuki kamarnya, lelaki itu segera melucuti pakaiannya sendiri dan menggantinya dengan pakaian rumah biasa. Ia harus segera tidur sebab waktu istirahatnya sangatlah sebentar.
Setelah selesai merapikan semuanya, Ben merebahkan tubuh ke atas ranjan, meluruskan otot-otot punggungnya. Namun, begitu ia memejamkan mata, terlintas bayangan korban yang ia periksa semalam. Rasa-rasanya ia melihat lambang pentagram di lengan sebelah kirinya. Lantas Ben membuka lagi matanya.
"Apa aku salah lihat?" Gumamnya. Ah, sial. Kenapa hal ini harus mengusik pikirannya, ia jadi tidak bisa beristirahat kali ini. Namun, sepertinya Ben betul-betul melihat lambang itu pada tubuh korban, tapi Ben sendiri kurang yakin.
"Sialan!" Gerutunya dan bangkit dari rebahnya.
"Kenapa baru sekarang aku memikirkan hal itu! Ah aku benar-benar gila!" Ben mengacak rambutnya sendiri.
"Apa aku harus memeriksanya lagi?" Tanyanya pada diri sendiri.
Akhirnya, Ben yang tadinya berencana untuk tidur pun mesti menggugurkan niatnya. Ia kembali beranjak dan melangkah keluar kamar untuk menemui Daniel dan menuturkan hal tersebut. Begitu ia menuruni anak tangga, Daniel tengah mengantar Willy ke ambang pintu.
"Sampai jumpa!" Ujar Willy. Namun, begitu ia hendak melangkahkan kakinya, Willy sempat melirik ke pintu tetangga Daniel yang sedikit terbuka.
"Kenapa terbuka?" Katanya sembali menunjuknya dengan tatapan mata.
"Entahlah, memang selalu begitu." Jawab Daniel yang memang sudah terbiasa dengan polah tetangganya itu. Tak mau ambil pusing, Willy pun segera melangkah meninggalkan kediaman Daniel untuk menuju ke kantornya.
Setelah Willy melangkah cukup jauh dari pandangannya, Daniel kembali masuk dan menutup rapat pintunya.
"Daniel!" Panggil Ben yang berjalan ke arahnya.
"Rasanya aku seperti melihat lambang pentagram pada tubuh korban semalam,"
Sontak Daniel seketika membelalakan matanya.
"Apa kau yakin?!"
Ben menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "a-aku... Tidak begitu yakin..."
Daniel menghela napasnya dan berlalu meninggalkan Ben menuju ke ruang kerjanya. Mulai memeriksa kembali berkas-berkas yang diterimanya, semua foto korban dimana ada lambang yang sama pada tubuh mereka. Setelah Daniel periksa, ternyata para korban itu meregang nyawa dengan cara yang berbeda, ini benar-benar tak ada korelasinya antar satu sama lain. Daniel memijit keningnya sendiri. Sepertinya Daniel butuh secangkir kopi.
Lantas ia segera bangkit dari duduknya, baru saja dirinya keluar dari ruang kerja. Rekannya, Ben, sudah kembali bersiap dengan pakaian formalnya.
"Kau mau kemana lagi?" Tanya Daniel.
"Ini terasa sangat mengganggu, aku tidak bisa beristirahat. Aku akan segera memeriksanya lagi untuk memastikan kalau aku tidak salah lihat."
Dengan langkah yang terburu, Ben segera melesat kembali menuju rumah sakit menggunakan taksi.
"Dokter Ben? Bukankah jadwalmu itu siang nanti?" Tanya salah seorang perawat yang melihat Ben berjalan dengan sangat tergesa. Namun, Ben sama sekali tak menggubris tanya yang dilempar oleh perawat tersebut, ia terus melangkah menuju ruang penyimpanan jenazah. Setelah mengenakan semua perlengkapannya, masker beda juga sarung tangan, Ben pun kembali memeriksa tubuh korban.
"Aku tidak salah lihat!" Gumamnya. Kali ini Ben mengambil gambar lambang pada tubuh korban tersebut dengan kamera ponselnya sebagai bukti untuk dikirimkan kepada rekannya demi kepentingan penyelidikan.
Ponsel pribadi Daniel yang baterainya baru saja terisi penuh pun berdenting. Dengan bertemankan secangkir kopi yang baru saja dibuatnya, Daniel membuka pesan masuk yang mendarat di ponselnya. Ternyata itu pesan bergambar dari rekannya, Ben.
Kening Daniel sempat mengkerut begitu melihat isi gambar yang dikirimkan, Daniel menggunakan fitur perbesar gambar untuk melihatnya lebih jelas lagi. Rekannya itu, ternyata benar, ia tidak salah lihat. Itu benar... Pentagram.
Tak lupa Daniel segera mencetak gambar tersebut juga mengirimkannya kepada Willy. Potret korban dengan lambang yang sama kini bertambah. Meskipun tak ada korelasi antar satu dan yang lain, tapi Daniel yakin pelaku sengaja membuat ciri seperti itu dengan tujuan tertentu. Entah kenapa, tiba-tiba kedua mata Daniel melirik ke arah foto yang tertempel di dindingnya.
"Ryan..."