Setelah Ben datang kembali ke rumah sakit untuk memeriksa tubuh korban, akhirnya lelaki itu memutuskan untuk tetap di rumah sakit dan segera menjalankan prosedur autopsi.
Lelaki itu telah bersiap di sebuah ruangan dengan jas putihnya, tak lupa masker bedah juga sarung tangan karet yang merekat di kedua tangannya.
Dalam prosedur autopsi, pertama kali mesti dilakukan pemeriksaan eksternal atau tubuh bagian luar, termasuk data dan fakta mengenai jenazah seperti; tinggi, berat badan, umur, serta keterangan lainnya yang akan dikumpulkan sebagai proses identifikasi. Catat juga karakter yang membedakan seperti; tanda lahir, bekas luka, atau bahkan tato.
Setelahnya, asisten Ben segera menyiapkan perlengkapan untuk melakukan rontgen, bertujuan agar dapat mengetahui kondisi tulang pada jenazah. Juga melakukan pemeriksaan menggunakan sinar ultraviolet guna memeriksa sisa-sisa bahan mencurigakan yang masih menempel di tubuh. Jangan lupa mengambil sample rambut dan kuku untuk pemeriksaan DNA.
Fotografi sangat berguna bagi Ben untuk mendokumentasikan penampilan tubuh jenazah, juga untuk setiap temuan yang signifikan atau hal-hal tidak biasa yang dilihatnya di tengah penyelidikan. Sebab selama autopsi berlangsung, dokter yang memeriksan berkewajiban untuk mencatat semua yang ada pada tubuh jenazah sedetail mungkin.
Ben mengadahkan telapak tangan kanannya, kemudian sang asisten meletakkan sebuah pisau bedah di sana. Pisaunya menari membentuk huruf "Y" besar di atas sana. Berlenggak-lenggok serta menyapu jasad tak bernyawa yang terkapar di atas meja bedah itu.
Rangkaian demi rangkaian telah berhasil diselesaikan oleh Ben dan assisten yang membantunya. Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan ini, umumnya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sehingga, selama penyidikan masih berlanjut, jenazah akan diamankan di sebuah ruangan khusus.
.
.
.
.
.
Tony baru saja kembali ke kantor dengan membawa sepenggal informasi yang didapatannya dari hotel yang ia sambangi barusan.
"Mr. D sudah menjelaskannya padamu?" Tanya Tony kepada rekannya yang tengah terduduk di kursi kerjanya.
Willy hanya berdehem menanggapinya.
"Aku tidak memberitahumu sebab aku hanya ingin kau berisitirahat terlebih dulu." Kata Tony sembari mendudukkan dirinya di kursi miliknya.
Kemudian ia merogoh ponsel yang disimpan di saku celana, menggulir layar ponselnya sampai menemukan nama yang ia cari.
"Halo? Mr. D, menurut informasi yang kudapat, korban merupakan pengunjung rutin di MGM Grands Hotel, bahkan ia terdaftar sebagai player's club," ucap Tony kepada seseorang yang menjadi lawan bicaranya itu.
Di sudut lain, Daniel yang baru saja mendapatkan fakta baru hanya mampu memutar-mutarkan ponsel di tangannya, otaknya juga dipaksa memutar untuk mencerna semuanya.
Detik berikutnya, Daniel kembali menekan tombol di sisi ponsel untuk membuka layar kuncinya. Mencari salah satu nomor ponsel koneksinya.
"Bisa bantu aku?" Kata Daniel.
.
.
.
.
.
Suara jemari yang beradu dengan keyboard terdengar begitu berirama, seorang lelaki berselimutkan gelap nampak tengah mengetikkan sesuatu pada laptop pribadi miliknya sebelum akhirnya ponsel yang ia letakkan tepat di sebelah laptop itu berdering.
"Bagaimana?" Katanya langsung pada inti tanpa berbasa-basi.
"Baik kalau begitu aku segera kesana." Ucapnya setelah mendengar penuturan lawan bicaranya itu. Dan segera menghentikan aktifitasnya semula, lelaki itu segera meraih hoodie yang ia tanggalkan di belakang pintu, setelah memakai topi serta penutup kepala, lantas ia segera meluncur dari kediamannya menuju ke lokasi yang telah dijanjikan dengan kendaraan pribadinya.
Langit masih cerah, ia memilih tempat pertemuan yang jauh dari keramaian. Di sudut jalan yang cukup terpencil. Jarang ramai orang yang melintasi jalan tersebut. Lelaki itu tiba lebih dulu, berdiam diri di dalam kendaraannya, duduk di balik kemudi. Sampai sebuah mobil lain datang ke arahnya, memarkirkannya dengan jarak yang tak jauh. Dalam hitungan milisekon, seorang lelaki keluar dari mobil tersebut dan berjalan menuju ke aranya. Begitu si lelaki sudah cukup dekat, ia membuka kaca jendelanya.
"Masuklah!" Ucapnya, lelaki tersebut pun segera membuka pintu mobil dan menempati kursi di penumpang di sebelah pengemudi.
"Langsung saja, aku akan menerima tawaranmu untuk membereskan ini semua."
Mendengar penuturan lelaki tersebut, ia menyunggingkan senyumannya yang teramat sinis.
"Kau benar ... Jika aku tidak bisa memilikinya, maka orang lain pun begitu," katanya lagi.
"Tapi satu yang kuingin! Buat dia semenderita mungkin, buat dia merasakan sakit yang teramat sakit seperti yang aku rasakan ...."
Lelaki itu pun akhirnya kembali ke mobilnya sendiri, meninggalkan sosok lelaki lain yang menyunggingkan senyuman licik nyaris menyeringai. Lantas lelaki dengan senyum licik itu merogoh ponsel dalam sakunya. Setelah menggulir layar ponsel, lantas ia segera mencoba menghubungi nomor kontak yang ia temukan itu.
"Ada tugas baru ..." Ucapnya yang masing tersenyum sinis.
.
.
.
.
.
"Kau mau kopi?" Tawar Tony kepada rekannya. Keduanya masih sibuk menggali informasi, bahkan Tony belum memejamkan matanya sama sekali.
"Machiatto 1! Ah, tapi biar aku saja yang beli!" Seru Willy yang langsung disergah dengan gelengan kepala oleh Tony.
"Tak apa biar aku saja, sekalian mau cari udara segar," kata Tony.
"Kau yakin?"
Setelah meyakinkan rekannya dengan sebuah anggukan, Tony segera melangkahkan kaki untuk menuju ke kedai kopi terdekat. Tak perlu menggunakan mobil, cukup dengan berjalan kaki saja hitung-hitung olahraga.
Kedai kopi tidak begitu ramai, maklum sekarang masih jam kerja jadi belum terlalu banyak orang yang singgah kemari. Pandangan Tony menyapu ke tiap sudut kedai, hanya ada beberapa meja yang terisi. Di tempat untuk melakukan pemesanan pun tidak terdapat antrean, hanya ada seorang gadis berambut pendek disana. Tony menyejajarkan posisinya dengan gadis itu.
"Machiatto dan Americano ukuran besar, ya!" Seru Tony kepada barista.
Tanpa ia sadari, gadis yang berada di sebelahnya itu menoleh. Melabuhkan tatapannya pada Tony.
"Atas nama siapa?" Tanya si barista pada Tony. Namun, belum sempat Tony memberi jawaban, barista lainnya lagi sudah menyuarakan nama pemesan yang lain.
"Latte, atas nama Lala!"
"Latte, atas nama Lala!"
Sampai dua kali barista tersebut berseru. Mata Tony berpapasan dengan gadis yang di sebelahnya, yang tengah memandangi wajahnya tanpa berkedip. Tony berkekeh kecil, sepertinya pesanan yang diserukan barista itu milik gadis tersebut, ya sebab tak ada orang lain lagi yang memesan selain dirinya juga si gadis itu.
"Lala? Itu pesananmu sudah siap," ucap Tony dengan melukiskan senyuman di akhir kalimatnya.
Gadis itu mengerjapkan matanya, wajahnya seketika menunduk untuk menyembunyikan semburat merahnya. Lantas segera meraih pesanannya dari si barista.
Tony memerhatikan gadis dengan berwajah oriental itu, bahkan ketika gadis itu mulai melangkah dari tempatnya, terlihat sangat lugu dan menggemaskan seperti anak kecil. Entah mendapat bisikan dari mana, tiba-tiba dirinya melontarkan kata,
"Tunggu!"
Membuat gadis itu seketika menghentikan langkahnya, dan dengan malu-malu ia kembali berbalik menatap ke arah Tony.
"Namamu ... Lala?" Tanya Tony. Gadis itu menggeleng dengan kepala yang sedikit tertunduk, Tony semakin gemas dibuatnya.
"Dilla, aku Dilla." Ucapnya dan segera melanjutkan langkah untuk keluar dari kedai. Meninggalkan Tony yang masih memerhatikannya hingga hilang di balik pintu.
.
.
.
.
.
Waktu bergerak begitu cepat, bahkan langit pun sudah kembali meredup lagi. Daniel yang sedari kemarin malam belum sempat merebah di ranjangnya, kini harus kembali ke sekitar lokasi kejadian. Ia akan kembali menyambangi kediaman yang terindikasi sebagai pemilik mobil yang terparkir di tepi jalan.
Daniel baru saja turun dari mobil, menghela napasnya sejenak, dengan kantung mata yang menghitam, pandangan Daniel sudah mengarah ke sebuah rumah yang ada di sebelah sana. Lalu kakinya mulai melangkah ke arah rumah tersebut.
Mengetuk pintunya sebanyak dua kali. Namun, ia tak mendapatkan jawaban sama sekali. Bahkan lampu rumahnya pun tidak menyala, apa mungkin penghuninya belum kembali ke rumah?
Tanpa ia sadari, seorang lelaki tengah memantau dirinya sjak tadi, dari balik sebuah pohon yang berada tak jauh dari rumah tersebut. Bahkan lelaki itu sudah berada di sana dari sebelum mobil Daniel terparkir.
"Usaha yang bagus, Daniel!" Kata lelaki tersebut dan segera berlalu dari tempat persembunyiannya.