Penguntit

1102 Kata
Daniel menerima panggilan suara tersebut dengan terpaksa setelah membaca nama yang tertera pada layar, itu dari Ben, pasti ada sesuatu yang ingin disampaikannya, pikir Daniel. "Hm ada apa?" Kata Daniel dengan mata yang setengah terpejam. Namun, setelah mendengar penuturan rekannya itu mata Daniel kembali terbuka. Ia menggaruk pelipisnya yang sebenarnya tak gatal. "Mungkin sudah berada di tangan Willy atau detektif yang bersangkuta. Sudahlah aku mau istirahat dulu!" Kata Daniel di ujung panggilannya. Ponselnya ia letakkan di atas nakas, lantas kembari merebahkan tubuh, mencari posisi ternyaman untuk lelapnya. . . . . . "Ini hasil autopsi yang kau minta." katanya sembari menyerahkan beberapa berkas yang berhasil diperolehnya dari rumah sakit kepada seorang lelaki yang tengah berkutat di depan laptopnya. "Bagus! Aku akan segera mengirimkan hasil manipulasinya kepada para detektif bodoh itu!" Ujarnya dan kemudian terbahak pada akhir kalimatnya. "Ada 1 tugas lagi..." Ucap lelaki tersebut sembari mengacungkan jari telunjuknya. "Kita mesti segera mendapatkan rekaman kamera dashboard itu, sebelum lebih dulu jatuh ke tangan Daniel," ujar lelaki itu. "Aku akan segera mendapatkannya!" Kata rekannya yang berdiri di samping. "Tidak perlu... Kali ini biar aku yang turun tangan." Ujarnya dan segera bangkit dari kursi tempatnya mendudukan diri. Kakinya melangkah untuk segera meninggalkan ruangan tersebut, meninggalkan laptopnya yang masih dalam keadaan menyala, juga meninggalkan rekannya yang masih terpaku di tempatnya. "Dia masih melanjutkan ceritanya..." Gumam sang rekan begitu melihat apa yang ada di laptop ketika si pemilik sudah tidak berada di ruangan itu. . . . . . Wanita berambut ikal itu baru saja keluar dari rumahnya, ia berencana untuk pergi ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan bulanannya. Setelah mengunci pintu rumah dan mengirim pesan singkat berisi kabar kepada sang kekasih, ia pun mulai melangkahkan kakinya meninggalkan pekarangan rumahnya. "Siang!" Sapa wanita paruh baya yang kebetulan adalah tetangganya sendiri. Kediamannya bersebrangan dengan si wanita berambut ikal itu. "Siang, Bu!" Wanita berambut ikal tersebut pun menyapanya balik, sekadar beramah tamah kepada warga sekitar. "Lelaki yang dahulu sering berkunjung ke rumahmu itu, sekarang sering datang lagi, ya?" Pertanyaan yang baru saja didengarnya itu berhasil membuatnya mengerutkan kening. "Maksudnya?" Tanya wanita berambut ikal itu untuk memastikan. Kini benaknya sedang ketar-ketir takut kalau saja ternyata mantan kekasihnya itu menguntit dirinya. "Apa yang Ibu maksud itu... Lelaki jangkung yang matanya agak kecil? Dan biasa mengenakan jaket biru dongker?" Lalu, tetangganya itu pun mengangguk. Membuat rasa takut dan kekhawatirannya itu benar adanya. Sial. Benar-benar lelaki gila! "Apa Ibu yakin?" Tanya wanita berambut ikal itu sekali lagi. Dan lagi-lagi tetangganya mengangguk. "Sangat yakin! Aku sering melihatnya di ujung sana, di bawah pohon! Biasa dari siang hingga sore hanya terduduk memerhatikan kediamanmu. Bahkan tak jarang hingga larut ia berada di sana!" Penuturan tetangganya itu benar-benar membuatnya semakin ketakutan. Dengan senyuman palsu yang dipaksakan untuk menutupi rasa takut, wanita berambut ikal tersebut segera mengakhiri perbincangan mereka dan melanjutkan langkahnya menuju ke supermarket. Masih diselimuti rasa takut, wanita itu segera menghubungi si kekasih melalui pesan singkat tentang apa yang baru saja didengarnya dari sang tetangga. Kalau benar mantan kekasihnya itu menguntit dirinya, itu artnya kini ia berada dalam posisi yang sangat-sangat tidak aman. Pasti lelaki itu bisa berbuat apapun demi memenuhi keinginannya. Kenapa juga ya dirinya sempat mengencani lelaki yang memiliki permasalahan mental seperti itu. "Aduh!" Pekik wanita berambut ikal ketika dirinya yang tengah berjalan sembari mengutik ponsel itu menabrak seseorang dengan tidak sengaja. "M-maaf aku tidak sengaja!" Ujarnya kepada wanita lain yang ditabraknya. Wanita itu melemparkan senyuman, "tidak apa! Aku juga tidak lihat tadi," katanya. "Benar tidak apa-apa?" Tanya wanita berambut ikal itu lagi. Dan wanita yang ditabraknya itu melemparkan senyuman untuk yang kedua kalinya. "Benar! Aku tidak apa-apa," "Kalau begitu, sekali lagi aku minta maaf! Aku ada urusan dan mesti segera pergi, permisi!" Kata wanita si rambut ikal dan segera berlalu meninggalkan wanita yang ditabraknya, ia masih berdiri di tempatnya semula dan memerhatikan wanita si rambut ikal itu hingga langkahnya lumayan jauh. . . . . . Daniel baru saja terbangun dari tidurnya, lelaki itu kini baru saja menuangkan whiskey ke dalam gelas yang sudah ia isi dengan beberapa es batu sebelumnya. Kediamannya nampak sepi, sepertinya Ben masih disibukkan dengan tugasnya. Berbicara tentang Ben, Daniel jadi teringat apa yang disampaikan rekannya melalui panggilan suara sebelumnya. Menurut Ben, dari apa yang dituturkan oleh senior sekaligus kenalan Ben, semua korban yang kasusnya ditangani oleh Daniel maupun Willy itu jasadnya sudah diautopsi, bahkan hasilnya pun sudah dikeluarkan. Lantas Daniel berinisiatif segera menghubungi Willy untuk menanyakan apakah hasil autopsi sudah benar-benar berada di tangannya? Daniel meraih ponsel pribadinya, menggulirkan layar hingga menemukan nama Willy di sana dan segera menghubunginya melalui panggilan suara. Setelah mendengarkan nada sambung selama beberapa detik, akhirnya panggilan tersebut mendapatka jawaban. "Apa kau sudah mendapat hasil autopsi?" Tanya Daniel langsung pada inti, dirinya sangat tidak suka berbasa-basi. 'Hasil autopsi? Belum, memangnya kenapa?' Daniel mengkerut mendengar tanggapan rekannya. "Kukira sudah, Ben bilang korban pada kasusmu itu sudah diautopsi dan hasilnya sudah keluar," kata Daniel. 'Begitukah? Kalau benar, mungkin saja kini suda berada di Tony, coba nanti kutanyakan. Sekarang Tony sedang tak ada di kantor.' Ada sesuatu yang janggal bagi Daniel. Kalau pun memang sudah ada di Tony, pasti lelaki itu sudah menginfokan kepada dirinya ataupun Willy. Lantas Daniel segera beranjak ke ruang kerjanya, meraih salah satu ponsel yang sering ia gunakan demi kepentingan bisnis, mencoba untuk menghubungi Tony tapi sialnya hanya ada suara operator yang mengatakan kalau nomor ponsel tersebut sedang tidak aktif. "Sedang apa dia?" Tanya Daniel pada dirinya sendiri. Tak kehabisan cara Daniel pun berusaha menghubungi detektif-detektif lain yang pernah meminta bantuannya, yang menurut penuturan Ben hasil autopsi dari para korban dikasusnya itu sudah dikeluarkan. Daniel mesti segera memastikannya. 'Mr. D? Apa kabar? Ada apa menghubungiku, apa kau butuh bantuan?' Sambut salah satu detektif yang dihubungi Daniel. "Apa kau sudah terima hasil autopsi?" Tanya Daniel. 'Belum, apa hasilnya sudah keluar?' Sontak Daniel dibuat keheranan, kenapa ia malah bertanya balik? "Oh, belum. Baiklah kalau begitu." Kata Daniel dan segera menutup panggilan suaranya itu. Tak mau membuang waktu, Daniel langsung menghubungi detektif yang lainnya lagi. Ada beberapa yang berhasil Daniel konfirmasi dan mereka semuanya memberikan jawaban yang sama. Hasil autopsi, belum diterima. Lalu kemana? Kemana hasil autopsi tersebut mendarat? Di sudut lain, seorang lelaki tengah tertawa licik sembari membolak-balikkan lembaran berkas berisi hasil autopsi yang belum lama didapatnya. Setelahnya, ia melemparkan berkas-berkas tersebut ke atas meja kerjanya dengan asal. "Mereka itu benar-benar sekumpulan orang bodoh yang mempertaruhkan peruntungannya sebagai detektif. Apalagi... Daniel, bocah itu sangat tidak layak menyandang status sebagai profiler handal! Jelas-jelas dirinya saja selalu kecolongan!" Ujar lelaki itu pada dirinya sendiri. Dan dengan tawa licik yang masih disuarakannya, kini ia beralih pada laptop miliknya, kembali melanjutkan kalimat pada sebauh penggalan paragraf yang sempat terhenti. "Cerita ini... Akan terus berlanjut. Dan hanya aku yang bisa menemukan, bagaimana cerita ini menemui akhir." Katanya, di akhiri dengan senyuman yang sini. Jemarinya mulai menari, begitu berirama ketika dihentakkan dengan papan berisi jajaran huruf. Tanpa disadarinya, sepasang mata mengintip dari celah pintu sejak tadi. Memerhatikan semua gerak-geriknya dan memberi senyuman simpul di balik kegelapan. "Benar... Cerita ini... Akan terus berlanjut."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN