Seorang lelaki dengan tergesa mengambil langkah untuk meninggalkan kantor. Meninggalkan pekerjaannya, meninggalkan tumpukan berkas yang mesti diperiksa, bahkan meninggalkan komputernya dalam keadaan yang masih menyala. Setelah membaca pesan singkat yang diterima dari kekasihnya, tanpa memikirkan apapun dan membuang waktu lagi, ia segera bergegas untuk menemui sang kekasih.
Melajukan kendaraannya yang semula terparkir di tempat yang kantornya sediakan. Kepergiannya yang secara tiba-tiba dan masih masuk pada jam kerja membuat pegawai lainnya keheranan dan menerka, sebenarnya ada apa? Lelaki itu melajukan kendaraannya dengan kecepatan penuh menuju ke supermarket yang berdasarkan kabar kekasihnya itu sedang berada di sana.
Setibanya di supermarket tujuan, lelaki itu bergegas keluar dari mobil dan berlari memasuki tempat perbelanjaan yang memang rutin dikunjungi oleh sang kekasih. Di pertengahan ia mengedarkan pandangannya, berusaha untuk menemukan sosok yang dicarinya, wanita dengan rambutnya yang ikal. Lalu ia menyusur pada tiap sudutnya, berharap cepat menemukan kekasihnya itu. Sampai pada sebuah rak yang menjajarkan produk kecantikan, netranya berhasil menangkap sosok yang tak pernah luput dalam ingatannya itu. Di sana, wanita berambut ikal itu sedang memilih salah satu produk kecantikan langganannya.
"Kau baik-baik saja?" Sergahnya dengan napas terengah, membuat wanita itu tersentak seketika.
"Sayang, kenapa kau di sini? Bukankah seharusnya kau masih di kantor?" Tanya sang wanita.
Lelaki itu mengatur napasnya terlebih dulu, setelah dirasa agak lebih baik, ia mulai berdehem untuk menetralkan suara.
"Aku betul-betul khawatir setelah membaca pesanmu. Apa itu benar? Kau tidak sedang bercanda 'kan?"
"Apa aku terlihat bercanda?"
Selama beberapa detik keduanya beradu tatap. Setelahnya si lelaki mengalihkan pandangannya sembari menggaruk keningnya yang sebenarnya tidak terasa gatal, ia hanya sedang kebingungan, tak tau apa yang mesti dilakukannya sekarang.
Wanita berambut ikal itu menghela napas, tangan kanannya digunakan untuk mengelus lembut bahu sang kekasih.
"Tidak apa... Semua akan baik-baik saja." Kata si wanita berusaha menenangkan kekasihnya dengan senyum yang dipaksakan, karena sejujurnya ia pun sangat ketakutan, tapi dirinya mesti menyembunyikan rasa takutnya untuk sementara waktu di depan sang kekasih.
"Lebih baik sekarang kau kembali ke kantor, aku tidak apa, aku baik-baik saja..." Ucapnya lagi.
"Aku akan kembali setelah mengantar dan memastikanmu selamat sampai ke rumah."
.
.
.
.
.
"Ini aneh..." Lirih Daniel yang tengah terduduk di meja makan, membuat Ben yang sedang datang membawa segelas air mengerutkan keningnya.
"Apanya yang aneh?" Tanya Ben seraya menarik kursi yang berhadapan dengan Daniel. Lelaki itu baru tiba beberapa menit yang lalu, dan sebentar lagi juga pasti ia akan kembali pergi ke laboratorium untuk melanjutkan kerjanya.
"Kau bilang hasil autopsi sudah keluar, tapi tak ada satu pun yang menerimanya," tutur Daniel.
"Benarkah? Apa kau sudah tanyakan pada para detektif itu?" Pertanyaan Ben ditanggapi sebuah anggukan dari Daniel.
"Apa kau tahu siapa yang mengambil hasil autopsi dari pihak forensik?" Tanya Daniel lagi.
Ben nampak berpikir sejenak, "entahlah... Nanti akan kutanyakan pada seniorku ketika aku bertemu,"
"Baiklah, segera tanyakan." Kata Daniel sembari bangkit dari duduknya dan melangkah menuju ke ruang kerjanya.
Baru saja ia tiba di sana, pintu baru saja dibukanya, Daniel sudah disambut dengan salah satu ponselnya yang berdering. Lantas ia segera menjawab panggilan telepon tersebut.
"Ya?" Kata Daniel.
Begitu mendengar penuturan dari seberang sana, Daniel mengangguk meskipun tak dapat terlihat oleh sang lawan bicara.
"Terima kasih atas informasinya!" Seru Daniel di penghujung panggilan.
Lelaki itu menduduki singgasananya. Kursi kerja yang hanya ditempati oleh Daniel seorang.
"Pembunuh bayaran..." Gumamnya. Kini piliran Daniel mulai memikirkan kalimat yang disampaikan oleh ketua tim penyidik barusan. Iya, panggilan yang tadi diterima oleh Daniel itu dati ketua tim penyidik untuk kasus pembunuhan di museum. Ia menyampaikan kalau ternyata, pengusaha yang membunuh guru sejarah tersebut menggunkana jasa pembunuh bayaran. Otak Daniel mulai berputar, sedikit banyak ia memang kenal dengan beragam mafia di kota ini, tapi kalau pembunuh bayaran? Rasanya Daniel belum pernah berurusan dengannya...
.
.
.
.
.
Jarum jam berputar dengan sangat cepat, mengganti warna langit yang semula cerah menjadi gelap. Waktunya istirahat bagi para pengais cuan yang berkegiatan di siang hari. Tak terkecuali sosok lelaki dengan tas kerja yang diselempangkan pada tubuhnya. Ia nampak lesu, berjalan kaki dengan kepala yang menunduk. Pakaian terlihat acak-acakkan juga lusuh. Yang membuatnya terkejut, begitu ia tiba di depan kediamannya, ada seorang lelaki yang sudah menanti kehadirannya.
"Cari siapa?" Katanya, membuat lelaki yang di depan kediamannya itu menoleh dan menyunggingkan senyum, serta menunjukkan kartu identitas yang menyatakan kalau dirinya merupakan tim penyidik.
"Selamat malam! Maaf mengganggu, apa benar kau pemilik mobil yang terparkir di sebelah sana?" Ujarnya dengan sangat ramah.
Lelaki yang baru saja pulang bekerja itu menganggukkan kepalanya, "iya, benar. Ada apa?"
.
.
.
.
.
"Ada info, maaf membuatmu harus kemari malam-malam begini," ucap lelaki yang sudah lebih dulu menempati meja di sudut kedai.
"Mau pesan apa?" Tawarnya kepada lelaki lain yang duduk di hadapannya.
"Tidak perlu, langsung pada inti." Kata lelaki yang satunya, itu Daniel. Yang beberapa menit lalu mendapat panggilan suara dari salah satu koneksinya yang bilang akan menyampaikan informasi secara langsung. Jadilah keduanya melangsungkan janji temu di kedai ini.
"Orang yang kau tanyakan beberapa waktu lalu... Memang merupakan pemain tetap di MGM Grands, keduanya juga tidak berhubungan baik. Menurut info yang kudapat... Lelaki yang kau kabarkan telah tewas itu, selalu memenangkan permainan," tuturnya.
"Lalu bagaimana dengan lelaki yang satunya? Apa kau bisa memberikanku profil lengkapnya?" Kata Daniel, yang disambut sebuah senyuman oleh lelaki di hadapannya.
"Aku sudah menyiapkannya. Kutahu kau pasti membutuhkannya," ujar lelaki tersebut seraya menyerahkan beberapa lembar kertas kepada Daniel.
Daniel membacanya sekilas, tanpa disadari kepalanya mengangguk menandakan apa yang dilakukan dan diperoleh oleh lelaki tersebut sudah sangat benar. Daniel meletakkan berkas tersebut di atas meja yang berada di depannya, lalu menatap lurus ke arah lekaki itu.
"Berapa yang kau inginkan?"
Lemparan pertanyaan Daniel ternyata justru membuat lelaki tersebut malah terkekeh geli, ia menyeruput cangkir kopi yang telah dipesannya sejak tadi, lantas membalas tatapan mata Daniel.
"Di dunia ini... Tak melulu bisa diukur dengan angka, tuan! Ada yang jauh lebih berharga dari itu," ucapnya, dan berhasil membuat Daniel mengerutkan kening.
"Kalau bukan angka, lantas apa lagi?" Tanya Daniel, terkesan begitu angkuh.
"Jasamu, keberhasilanmu dalam menguak kasus yang nyaris mencoreng namaku... Itu sangatlah berarti bagiku. Rasanya, apa yang kulakukan untuk membantumu saat ini bahkan tak sebanding dengan usahamu kala itu. Waktu, tenaga, pikiran... Semuanya tersita ketika kau menuntaskan kasus tersebut. Dan ketiganya itu... Jauh lebih berharga dari angka yang kau tawarkan, bahkan juga jauh lebih berharga dari keseluruhan angka yang kau punya!"
Daniel seketika terdiam. Ia merasa tersentak lagi tertampar. Selama ini... Ia berusaha keras untuk meraih angka sebanyak-banyaknya hingga menyita hampir seluruh kehidupannya.
"Lihat kantung matamu, bung! Kau butuh istirahat. Beristirahatlah sejenak, aku tahu kau hebat! Tapi kau juga bukan robot yang tak butuh waktu rehat."
Untuk kedua kalinya, Daniel merasa dihantam. Ada benarnya juga apanyang dituturkan oleh lelaki tersebut, ah bahkan bukan lagi ada benarnya, tapi benar adanya. Mungkin memang sebaiknya Daniel rehat dulu, tak menerima kasus apapun lagi selain yang sedang ditanganinya sekarang. Sejak awal ia meniti karirnya, bahkan hingga namanya menjadi besar pun Daniel tak pernah menolak kasus kecuali kasus yang mengarah atau berpihak pada kejahatan.
"Terima kasih banyak!" Seru Daniel. Agaknya ungkapan terima kasih tersebut mempunyai makna lain, bukan sekadar ungkapan rasa terima kasih sebab telah memberikannya informasi beserta data yang diperlukan, juga lelaki tersebut pun seakan bisa memahami lagi merasakan makna yang tersirat dari Daniel.
"Aku permisi."