"Baik, aku akan segera ke sana." Kata Dilla di ujung pembicaraannya dengan Tony melalui panggilan telepon. Ia baru saja mendapat kabar kalau dirinya diperbolehkan untuk bergabung dalam tim intelejen swasta bersama Tony dan rekannya. Dilla yang tengah menatap dirinya sendiri di cermin pun, menyimpulkan senyuman. Sebelum pada akhirnya wanita itu melangkahkan kakinya untuk bergegas menuju ke kantor Tony.
Sementara di sana, Willy geming di kursinya, jemarinya diketukkan ke atas meja.
"Sebentar lagi dia akan ke sini," kata Tony yang tak mendapat tanggapan apa pun dari Willy. Lelaki itu menatap lurus dengan tatapan kosong, jemarinya masih diketukkan ke meja, tidak menyadari kalau Tony sudah memanggil namanya sebanyak dua kali.
"Hey!" Tegur Tony sembari mendaratkan telapak tangannya di pundak Tony. Baru ketika merasa ada yang menepuk pundaknya, Willy seketika terkesiap.
"I-iya ada apa?" Katanya nampak gelagapan.
"Kau kenapa? Dari tahu aku perhatikan hanya melamun," Tony yang sedikit khawatir melihat tingkah laku Willy yang sedikit aneh sejak kemarin.
"Tidak, aku tidak apa-apa." sahut Willy berbohong. Sebenarnya ia tengah memikirkan bagaimana kalau ia benar-benar mesti berada dalam lingkup yang sama lagi dengan Dilla. Memang, kemarin dirinya sudah membuat keputusan untuk akhirnya menjadikan Dilla sebagai anggota tim. Namun, entah ini keputusan yang tepat atau justru sebaliknya. Di satu sisi, Willy tahu betul kalau kemampuan yang dimiliki wanita itu memang tak bisa diragukan lagi, tapi di sisi lain, Willy juga tahu betul tindak-tanduk jejak kriminal yang pernah ditorehkan oleh wanita berparas lugu itu. Ketika Willy memeriksa lagi berkas-berkasnya, entah dia memanipulasi data atau memang dia lolos dari hukuman, tapi rekam jejak kejahatannya tidak tercatat di sana.
"Dilla sedang menuju ke sini," cetus Tony.
"O-oh, begitu, baiklah," Sahut Willy. Tony benar-benar tidak mengerti akan sikap rekannya. Terlihat tidak seperti biasanya.
"Kau sakit?" Tanya Tony, yang diberi gelengan kepala oleh Willy sebagai tanggapan.
Di tengah perbincangan mereka, tiba-tiba saja terdengar suara pintu yang diketuk dari luar. Pun keduanya seketika menoleh secara bersamaan ke arah pintu. Berbeda dengan Tony yang nampak antusias, Willy justru semakin gelisah tak menentu kala rekannya itu melangkahkan kaki ke arah pintu untuk menyambut yang datang. Willy tahu betul itu pasti Dilla. Ketika jemari Tony berhasil meraih gagang pintu, dan menggerakkannya agar pintu terbuka, waktu seakan melambat. Begitupun kala pintu benar-benar terbuka dan wanita dengan rambutnya yang pendek melangkahkan kaki masuk ke ruangan tersebut, beradu pandang dengan Willy yang berdiri tanpa ekspresi.
"Selamat datang!" Sambut Tony, wanita itu melemparkan senyumannya sejak baru saja pintu terbuka.
"Dilla, ini rekanku Willy. Dan Willy, ini Dilla,"
Keduanya saling pandang, Willy benar-benar tidak percaya kalau hari ini akan tiba. Wanita itu, wanita yang telah membuat kekacauan dan menjadikannya mesti berlari sejauh ini, sekarang malah datang lagi dengan wajah tanpa dosa.
"Aku ada urusan," ujar Willy yang segera meraih jaketnya, dan berlalu meninggalkan Tony yang keheranan, sementara Dilla, Wanita itu hanya menatap kepergian Willy sembar mengulum senyum.
"Maafkan rekanku Dilla, dia memang begitu. Mari ikut aku! Akan kutunjukkan meja kerjamu!"
.
.
.
.
.
Willy, melangkah dengan tergesa keluar dari kantor sembari menatap ponselnya, ia baru saja mengetikkan sesuatu di sana. Sebelum memasuki mobilnya, ia lebih dulu menyimpan ponsel ke dalam saku. Setelah menempati posisi di balik kemudi juga mengaitkan sabuk pengaman, Willy tancap gas, membiarkan kendaraannya melaju membelah jalanan kota dengan kecepatan penuh.
Hanya ada satu nama yang terlintas dalam pikirannya saat ini, Daniel. Ia harus segera bertemu dengan lelaki tersebut. Setelah keluar dari mobil, dengan ambil langkah seribu, Willy mulai memasuki bangunan apartemen yang megah itu. Menggunakan lift untuk tiba di lantai temoata di mana Daniel tinggal. Begitu pintu lift terbuka pada lantai tujuannya, tanpa buang waktu lagi, kaki Willy segera menyusuri koridor. Dari kejauhan, di depan pintu hunian Daniel, Willy melihat ada sesosok lelaki yang tengah berbincang dengan seorang perempuan. Willy menyipitkan matanya, memastikan kalau dia tidak salah lihat. Itu Ben, sedang bicara dengan siapa dia? Pasti wanita itu sedang diberi bualan oleh si k*****t itu.
"Jangan dengarkan dia, nona!" Teriakan Willy terdengar menggema di koridor yang sepi itu. Membuat dua orang yang tengah berbincang seketika menoleh.
"Diam kau, sialan!" Sahut Ben seraya terkekeh.
Willy mempercepat laju langkahnya.
"Kalau begitu, aku permisi!" Kata si wanita itu sembari menunduk tersipu, dan segera menimggalkan dua lelaki tersebut.
"Ah, dasar pengacau!" Gerutu Ben.
"Eyy, memang siapa wanita itu?" Willy menyenggol bahu rekannya yang masih memerhatikan langkah si wanita.
"Penghuni baru, aka hanya menyapanya dan bertanya-tanya sedikit," kata Ben.
Willy menganggukkan kepala, lalu mengarahkan telunjuknya pada pintu kediaman Daniel, "dia ada?" Tanyanya.
Ben hanya mengangkat kedua bahu mengisyaratkan ketidaktahuannya, "aku baru pulang," jawab Ben.
Keduanya pun memasuki kediaman Daniel dengan Ben yang membukakan akses.
"Daniel?!" Teriak Ben. Lelaki itu menyapu pandangannya ke seluruh penjuru. Lalu mulai menapaki anak tangga satu persatu, sementara Willy memilih untuk duduk di sofa ruang tamu, bagaimana pun juga ia hanya tamu di sini.
Ben mengetuk pintu kamar Daniel, tapi tak mendapatkan jawaban. Hingga akhirnya ia membuka pintu kamar tersebut dan mengedarkan pandanan, Daniel tidak berada di kamarnya. Tempat berikutnya adalah, ruang kerja. Baru saja Ben hendak melayangkan ketukan, pintu itu sudah lebih dulu dibuka dari dalam, menampilkan sosok lelaki yang dicarinya.
"Beruntung wajahmu tidak kuketuk!" Celetuk Ben.
"Berani mengetuk wajahku, akan kutembak keluar isi kepalamu!" Ancam Daniel yang sebenarnya hanya candaan.
"Willy datang untuk menemuimu!" Kata Ben memberitahu.
"Suruh dia kemari!"
Lantas Ben segera melangkah ke tepian tangga, "Willy! Daniel memintamu kemari!" Teriak Ben.
"Baiklah!" Sahut Willy yang tentunya juga dengan berteriak.
"Serasa di hutan," ketus Danie.
"Maksudmu aku seperti orangutan?!" Ben menyalak.
Daniel memasang tampang yang tidak berdosa, "aku tidak bilang begitu,"
"Ah sudahlah aku mau mandi!" Ujar Ben yang segera melangkah menuju kamarnya.
"Mandi tinggal mandi, perlu kumandikan?" Daniel semakin meledek rekannya.
"Diam kau b******k!" Teriak Ben tanpa menoleh sedikit pun ke arah Daniel, dan menutup pintu kamarnya dengan cukup keras.
Willy yang baru saja tiba di lantai atas hanya terkekeh melihat polah dua rekannya itu.
"Masuklah!" Kata Daniel mempersilakan tamunya untuk masuk ke ruang kerjanya.
"Ada apa kau kemari?" Tanya Daniel sembari melangkah menuju kursi kerjanya, sementara Willy mendaratkan tubuhnya di sofa.
"Kau sibuk?" Willy malah berbalik melempar tanya.
"Mana pernah aku tidak sibuk?" Sialan, agaknya Willy sedikit menyesal melempar tanya pada Daniel. Jawaban yang diberi rekannya itu memang terkadang suka buat kesal.
Mesin pencetak dokumen milik Daniel berbunyi, pertanda kalau lelaki itu baru saja mencetak sesuatu.
"Biar aku yang ambil!" Dengan segera Willy bangkit dari duduknya dan mulai meraih lembar demi lembar yang keluar dari mesin itu.
"Ya memang tadinya aku mau menyuruhmu untuk mengambil," kata Daniel.
Setelah semuanya tercetak, Willy merapikan kertas-kertas tersebut. Namun, ada satu hal yang membuat matanya terbelalak.
"Ada apa?" Tanya Daniel yang melihat ada perubahan ekspresi dari wajah rekannya.
"I-ini... Pria ini..." Ucap Willy terbata.
"Siapa? Kenapa?" Daniel semakin tak mengerti dibuatnya, sementara Willy masih geming, terpaku di tempatnya berdiri dengan terus memerhatikan kertas yang di genggamannya, kertas berisi data korban pada kasus yang Daniel tangani.
"Apa dia... Tewas?" Retorik. Pertanyaan yang di lempar Willy benar-benar retorik.
"Pria ini...."
"Daniel! Aku lupa memberitahu kalau aku sudah memeriksa korban yang semalam, dan... Ada lambang pentagram pada tubuhnya," sergah Ben yang tiba-tiba saja menerobos pintu ruang kerja Daniel. Juga penuturan Ben barusan semakin membuat Willy membelalakan matanya.
"Kau kenapa?" Tanya Ben.