"Pria ini adalah orang yang aku ceritakan padamu beberapa waktu lalu, dia... Petugas kebersihan museum yang menjadi saksi pembunhan kala itu,"
"Apa?!" Pekik Ben. Sementara Daniel hanya terdiam, sebenarnya ia pun terkejut, hanya saja tidak bereaksi yang berlebihan.
"Apa saja yang kau tahu? Bisa ceritakan semuanya?" Sergah Ben. Semula ia hanya memunculkan kepalanya dari balik pintu, tapi kini ia sudah beranjak masuk bergabung dengan Daniel juga Willy.
Pun Willy menjabarkan semuanya, Ben mendengarkan tiap detailnya dengan saksama. Sedang Daniel, lelaki itu tengah bergelut dengan pemikirannya sendiri. Lelaki yang menjadi saksi, tiba-tiba saja tewas terbunuh setelah pertemuannya dengan Willy. Itu berarti, pelaku ada di sekitaran mereka.
"Jadi bagaimana, Daniel? Apa yang akan kita lakukan?" Tanya Ben.
Daniel menatap kedua rekannya secara bergantian. Ben, juga Willy. Mereka melemparkan tatapan yang menyiratkan sebuah harapan.
Daniel menghela napasnya, "kita akan selesaikan ini, bersama." Ujar Daniel.
Namun, tiba-tiba saja suara dering ponsel mengejutkan mereka bertiga. Itu ponsel Willy, lelaki tersebut lantas segera menyerahkan berkas milik Daniel yang semula dipegangnya, tangannya kini berlaih pada ponselnya untuk menjawab panggilan suara dari nomor tidak dikenal itu.
"Ya?" Ucap Willy.
Ia nampak serius mendengarkan penuturan dari lawan bicaranya di seberang sana.
"Baik! Aku sedang berada di luar dan akan tiba sekitar 15 menit mendatang," kata Willy di akhir pembicaraannya. Lelaki itu kembali menyimpan ponselnya di balik saku.
"Aku pergi dulu!" Kata Willy dan segera meninggalkan kediaman Daniel untuk menepati janji temunya dengan ketua tim yang meneleponnya barusan. Lelaki itu henda mengambil berkas-berkas berisi data mengenai kasus yang sebelumnya Willy tangani. Katanya, ketua tim akan tiba sebentar lagi di kantor Willy, jadi Willy melajukan kendaraannya dengan sangat terburu.
Benar saja, begitu Willy memarkirkan mobilnya, si ketua tim itu sudah berdiri di depan kantor Willy.
"Maaf membuatmu menunggu lama!" Kata Willy dengan sedikit mengatur napas, sebab berlari dari tempat mobilnya terpakir menuju ke arah ketua tim.
"Tidak, tidak! Harusnya aku yang minta maaf sebab menganggu aktifitasmu,"
"Ah, tidak apa! Sebentar aku ambilkan." Kata Willy yang segera melangkahka kakinya memasuki kantor, menuju ke tempat di mana ruangannya berada. Begitu pintu terbuka, di sana terdapat rekannya juga Dilla, yang hampir saja terlupa oleh Willy kalau wanita itu sudah bergabung bersama timnya.
"Kau sudah datang?" Sapa Tony, Willy hanya berdehem dan segera meraih berkas-berkas yang memang dicarinya.
"Mau kau bawa kemana?" Tanya Tony.
"Ketua tim penyidik, dia menunggu di depan." Sahut Willy dan bergegas kembali keluar ruangan.
"Ini berkasnya!" Kata Willy. Kini berkas tersebut sudah berpindah tangan, Willy menaruh harapan besar di sana, semoga semuanya lekas terkuak.
"Terima kasih! Kalau begitu aku permisi dulu!"
Namun, ketika kakinya baru dua kali melangkah, lelaki tersebut kembali berbalik ke arah Willy.
"Ah, iya. Bisakah aku menghubungimu kalau aku butuh bantuan?"
Willy menyulam senyum, "tentu!"
Setelah ketua tim benar-benar pergi, Willy masih terpatri di tempatnya. Berat sekali kakinya untuk melangkah kembali ke ruangannya. Dengan penuh keraguan, mau tidak mau ia mesti kembali ke sana. Ia mesti membiasakan akan kehadiran sosok wanita itu lagi.
.
.
.
.
.
Daniel tengah disibukkan dengan urusan dapur, menyiapkan makan malam untuk dirinya juga rekannya, Ben, yang sudah menempati posisinya di meja makan.
"Daniel! Kau sudah tahu kalau ada penghuni baru?" Kata Ben dengan sangat antusias.
"Penghuni baru?" Daniel malah kembali melempar tanya.
"Entahlah, aku tidak pernah peduli akan itu," tambah Daniel.
"Aish, kau ini benar-benar apatis!" Cetus Ben.
"Tidak penting bagiku!" Kata Daniel tak mau kalah.
"Semalam aku bertemu dengannya, seorang wanita, rambutnya ikal dan terlihat sangat manis. Dia menempati unit yang ada di ujung,"
Tahu bagaimana tanggapan Daniel atas penuturan rekannya yang sudah berceloteh panjang lebar itu? Daniel hanya ber-oh ria. Membuat Ben dengan amat terpaksa menelan salivanya yang terasa pait.
Salah satu ponsel Daniel berdering. Kebetulan ketiga ponsenya sedang di letakkan di meja makan sebab tadi baru saja ia gunakan. Daniel yang tengah bertempur dengan spatulanya pun seketika beranjak sejenak untuk meraih ponsel tersebut, dan kembali lagi untuk menerima panggilan sembari memasak. Multitasking sekali.
"Ya?" Kata Daniel.
Lelaki itu tetap mendengarkan penuturan si penelepon dengan tangan yang sibuk menari dengan spatula.
"Baiklah!" Seru Daniel, ia melirik pada jam dindingnya seklias
"Aku akan menemuimu setelah makan malam," kata Daniel dan segera memutus panggilan secara sepihak.
Setelah menyimpan ponselnya di meja dapur, Daniel segera memindahkan hasil karya masakannya ke dalam wadah, kemudian menyajikannya di atas meja makan agar bisa dinikmati oleh dirinya beserta sang rekan.
"Kau akan pergi lagi?" Tanya Ben yang baru tengah menyiduk nasi.
Daniel hanya menganggukkan kepala. Keduanya kini sibuk menyantap hidangannya masing-masing dengan berselimut hening. Begitu selesai, Daniel segera membawakan wadah yang kotor ketempat pencucian.
"Biar aku yang selesaikan, kau pergilah!" Ucap Ben tiba-tiba.
"Kau? Mencuci piring? Yang benar?" Selidik Daniel yang tak percaya. Sebab memang makhluk yang satu itu sangat jarang untuk terjun langsung ke dapur bahkan nyaris tidak pernah.
"Jangan banyak bicara sudah pergilah! Jangan buat kolegamu menunggu lama!"
Daniel menatap rekannya dengan tatapan penuh arti, lalu mendaratkan telapak tangannya pada bahu Ben sebelah kiri.
"Jangan kau pecahkan barang-barangku!" Ujarnya dengan nada yang amat mendalam. Kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Ben dengan piring-piring kotornya.
Daniel meninggalkan kediamannya hanya dengan berbaluat kaus hitam juga celana pendek. Tidak membawa apa pun bahkan juga kunci mobilnya. Sebab memang tempat janji temu mereka itu pada sebuah taman yang berada di sebelah bangunan apartemen. Saat baru saja keluar dari huniannya, Daniel berpapasan dengan perempuan berambut ikal yang melayangkan senyuman kepadanya. Namun, Daniel hanya menunduk dan bersikap tak acuh, terus melanjutkan langkah menyusuri koridor.
'apa dia penghuni baru yang dibicarakan Ben?' batin Daniel.
Begitu Daniel menginjakkan kaki di tempat yang sudah dijanjikan, ternyata Tony belum tiba. Lelaki itu memilih untuk duduk di salah satu bangku dekat pohon. Cukup sepi, hanya ada beberapa pasangan muda mudi yang bersemayan di sudut-sudut taman yang minim pencahayaan. Daniel tak mau ambil pusing akan hal itu, baginya, tiap detik dalam perjalanannya itu berharga. Daniel tak ingin membuang waktunya hanya untuk disibukkan dengan hal yang bukan menjadi urusannya. Selama tidak merugikan, ya biarkan saja.
Kesendirian Daniel ternyata membuat seekor kucing kecil berinisiatif untuk menghampirinya, sembari mengeong, kucing itu mengelilingi kaki Daniel membuat lelaki itu terlonjak seketika. Melihat seekor kucing, membuat Daniel serasa ingin memuntahkan isi perutnya. Rekaman kejadian masa lalunya kembali terputar jelas dalam ingatan. Dimana ketika Ryan, sepupu Daniel mencekik seekor kucing tak berdosa di bawah pohon yang tumbuh di pekarangan rumah Daniel. Sepupunya melakukan itu sebab kucing tersebut sempat mencakar dan membuat kulit Daniel tergores, Ryan sangat tidak suka melihat sepupunya terluka.
Tanpa sadar, perlahan Daniel menjulurkan tangannya hingga jemarinya itu berhasil mencengkram leher kucing mungil itu. Perlahan tapi pasti, di luar kendali Daniel, jemarinya semakin kuat mencengkram sampai kucing tersebut berdecit dan tercekat.
"M-Mr. D?"
.
.
.
.
.
"Kau sudah tiba? Silakan masuk!" Wanita berambut ikal itu menyambut kedatangan Dilla yang memang sudah berjanji akan menyambanginya malam ini.
"Apa kekasihmu akan ke sini juga? Aku membawakan makan malam untuk kalian!" Ujar Dilla seraya meletakkan dua kantung makanan yang dibawanya.
"Wah, terima kasih banyak! Kau sudah makan? Bergabunglah bersama kami untuk makan malam," ucap wanita itu sembari menyiapkan wadah untuk makanan yang dibawakan Dilla.
"Tidak, tidak perlu! Tadi dalam perjalanan pulang, aku sengaja mampir ke sebuah rumah makan untuk makan malam juga membawakannya untukmu," jelas Dilla.
"Kau baik sekali..." Lirih wanita tersebut, sementara Dilla hanya membalasnya dengan senyuman.
"Bagaimana, apakah nyaman tinggal di sini?"
Wanita itu menganggukkan kepalanya dengan sangat antusias, "sangat nyaman! Keamanannya di sini juga cukup bagus jadi mantan kekasihku tidak akan bisa menggangguku lagi," jawabnya.
"Lagipula, kurasa dia tidak akan tega untuk menyakitimu..." Kata Dilla.
"Entahlah... Dia itu orangnya sangat nekat!"
Dilla menghela napas sejenak, "sudahlah! Jangan dipikirkan, yang terpenting kau bisa tinggal dengan nyaman di sini!"
Wanita itu menyulam senyum, kedua tangannya begitu cekatan menempatkan beragam hidangan pada wadahnya masing-masing, juga menatanya di atas meja.
"Sepertinya ini terlalu banyak, boleh aku membaginya pada tetanggaku?" Tanya wanita itu yang membuat kening Dilla mengkerut.
"Tetangga?" Kata Dilla sedikit keheranan. Baru beberapa hari tinggal di sini tapi wanita itu sudah akrab dengan tetanggnya.
Ia pun mengangguk dengan sangat antusias, "ada seorang lelaki yang juga tinggal di lantai ini, ia sangat ramah. Kurasa aku bisa berbagi makanan ini kepadanya,"
Lelaki? Siapa kiranya? Dilla hanya menganggukkan kepalanya perlahan, "jangan terlalu mudah percaya, yang ramah belum tentu benar-benar ramah. Berhati-hatilah...."
Entah kenapa rasanya agak sedikit berbeda pada kalimat akhir yang Dilla ucapkan. Namun, wanita itu tidak mau terlalu memikirkannya dan segera mengemas kembali beberapa hidangan menggunakan tempat makan yang ia punya.
"Kau mau ikut?" Tawar wanita itu pada Dilla ketika hendak memberikan makanan itu pada tetangganya. Namun, Dilla menggeleng.
"Aku tidak kenal, sebaiknya kau saja."
Meski begitu, Dilla tetap penasaran. Ia mengintip dari sela-sela pintu, kiranya di pintu sebelah mana wanita itu menghentikkan langkahnya. Dan, siapa sangka, Dilla terkejut bukan main dibuatnya. Wanita itu berhenti dan mengetuk pintu kediaman Daniel. Benar, kakak Dilla yang hingga saat ini tidak menyadari kalau Dilla sudah berada di sekitarnya.
Detik berikutnya pintu pun terbuka, Dilla harap-harap cemas menanti Daniel keluar dari kediamannya. Namun, bukan Daniel yang dilihatnya, melainkan sosok laki-laki lain yang sepertinya tidak asing bagi Dilla, tapi siapa? Sial, Dilla tidak bisa mengingatnya.