"Ah, sial!" Gerutu Ben ketika melihat gelas ukurnya sudah menjelma menjadi kepingan di atas lantai.
"Ada apa Dokter Ben?" Tanya seorang lelaki yang biasa membantu pekerjaan Ben.
"Tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya tidak sengaja menjatuhkannya," jawab Ben.
"Kalau begitu biar aku yang bereskan,"
"Tidak! Tidak perlu, biar aku saja," cegah Ben seraya melepaskan sarung tangan karet yang merekat pada kedua tangannya. Kemudian Ben mulai merendahkan posisinya untuk mengumpulkan pecahan gelas ukur tersebut.
"Aw!" Sepertinya dewi keberuntungan sedang tidak berpihak pada Ben hari ini. Ujung jarinya tergores sedikit kena pecahan. Lukanya kecil, tapi cukup perih, memberi akses pada darah segar untuk mengalir. Lantas Ben segera bangkit dan mencari kotak obat untuk mengobati lukanya sendiri. Membalurkan obat merah, juga menutupnya menggunakan plester, baru setelah itu Ben kembali membereskan pecahan yang masih berserakan di lantai.
Baru selesai membereskan, tiba-tiba saja ponselnya berdering,
"Siapa sih?!" Gerutu Ben lagi. Dengan langkah yang sedikit dihentak, Ben tetap meraih ponselnya.
"Ya? Kenapa?!" Ucap Ben dengan nada yang sedikit menyalak.
Namun, setelah mendengar penuturan lawan bicaranya itu, ekspresi Ben seketika berubah.
"Baik, aku segera kesana!" Katanya dan segera mengganti jas putihnya dengan blazer yang semula ia tanggalkan. Tak lupa Ben membawa serta tas kerja berisi perlengkapannya.
.
.
.
.
Garis polisi sudah dipasang mengelilingi sebuah tempat pembuangan sampah. Ketua tim penyidik mendapatkan sebuah laporan kalau telah ditemukan jasad tak bernyawa di sana.
"Bagaimana kronologisnya?" Tanya seorang lelaki yang tak lain adalah ketua tim, baru saja tiba di lokasi sembari merekatkan sarung tangannya.
"Seorang petugas kebersihan hendak membuang sampah, lalu ia melihat seperti ada darah yang mengalir, setelah diperiksa ternyata ada jasad yang tak lagi bernyawa dengan luka yang cukup parah," jelas lelaki yang lain.
"Sudah hubungi tim medis?"
"Itu mereka!" Katanya sembari menunjuk mobil jenazah juga mobil pribadi yang melaju ke arah mereka.
Ketua tim pun melintasi garis polisi, mengambil langkah lebih dekat dengan jasad korban tersebut. Sekilas terlihat ada luka tusuk di perutnya.
"Ada beberapa luka tusuk, juga pada lehernya..." Seorang lelaki yang entah muncul dari mana tiba-tiba ada di sebelah ketua tim, kini lelaki tersebut tengah menggerakkan kepala korban untuk memeriksa area leher.
"... Lihatlah! Sepertinya pelaku juga mencekik korban," tambahnya. Ketua tim hanya mengangguk memerhatikan lelaki yang mengenakan masker bedah lagi sarung tangan karet tersebut.
Tak lama kemudian, beberapa petugas medis datang untuk segera mengeksekusi korban, memindahkannya untuk di bawa ke rumah sakit menggunakan mobil jenazah agar segera diperiksa.
"Tunggu!" Cegah ketua tim kepada lelaki yang mengenakan masker bedah itu kala dirinya hendak berlalu bersamaan dengan petugas medis yang menggotong tubuh korban.
"Kau ahli forensik baru?"
Lelaki tersebut pun mengangguk dan membuka maskernya, "namaku Ben, akan segera kuhubungi lagi jika pemeriksaan sudah selesai. Aku permisi!"
.
.
.
.
.
"Aku tidak tahu pastinya kapan semua ini bermula, tapi untuk diriku sendiri, aku sudah mengalami kehilangan sebanyak tiga kali," ujar seorang wanita paruh baya.
"Apa Ibu pernah melihat ada seseorang yang gerak-geriknya mencurigakan?" Selidik Willy. Kini, dirinya dan Tony tengah memintai keterangan pada warga sekitar terkait kasus pencurian pakaian dalam wanita yang akhir-akhir ini terjadi.
"Tidak ada. Sama sekali tidak ada."
Sejenak hening, Willy dan Tony sempat beradu tatap seakan keduanya berkomunikasi melalui pandangan.
"Kalau begitu, terima kasih atas keterangannya. Kami permisi dulu!" Ucap Tony.
"Iya, baiklah! Semoga kasus ini cepat terselesaikan karena jujur saja bagiku ini cukup meresahkan!" Kata wanita paruh baya tersebut. Mendengar kalimat barusan, Willy merasa dipundaknya mengemban harapan dari para korban yang mengalami kasus serupa. Hal itu sedikit menyulut semangat Willy agar bergerak lebih cepat lagi untuk mengusutnya.
"Kita mau kemana lagi?" Tanya Tony.
Willy menghela napasnya, "sepertinya... Kita perlu memancing si pelaku,"
"Memancingnya?" Tony mengerutkan kening.
"Kita jajarkan pakaian dalam wanita di salah satu pekarangan rumah. Melihat itu tentu dia akan menjalankan aksinya," tutur Willy.
"Benar juga..." Gumam Tony sembari menganggukkan kepala, yang kemudian menyadari kalau rekannya itu tengah menatap ke arahnya.
"Kenapa menatapku begitu?" Bukannya menjawab tanya yang dilempar Tony, Willy malah masih terus menatap rekannya.
"Apa? Kenapa?" Tanya Tony lagi.
"Kita gunakan rumahmu!"
"A-apa?!" Pekik Tony tidak percaya.
"Tidak! Aku tidak mau! Yang benar saja, aku kan lelaki. Masa aku menjajarkan pakaian dalam wanita di pekaranganku! Tidak sopan!" Gerutu Tony.
"Lalu mau bagaimana lagi? Kediamanmu kan di sekitaran sini,"
Untuk sejenak hening. Sepasang intelejen tersebut nampak tengah berpikir mencari solusi.
"Aku tahu!" Seru Tony, membuat Willy seketika memusatkan seluruh atensinya pada lelaki itu. Menantikan ide apa yang kira-kira rekannya cetuskan.
"Kita bekerjasama debgan Dilla!"
Deg.
Jantung Willy seketika mencelos kala mendengar nama yang terlontar dari mulut Tony. Padahal, baru saja ia lupa akan pengajuan berkas yang diserahkan Tony pagi tadi, pasal Dilla yang akan bergabung dalam timnya. Bukan apa, di masa yang telah lewat, di negara asalnya, Dilla dan dirinya memang pernah menjadi partner, tergabung dalam tim penyidik di mana Willy menjabat sebagai ketua tim kala itu. Sampai pada akhirnya, mereka menguak sebuah kasus pembunuhan berantai yang ternyata pelakunya adalah, Dilla sendiri. Hal tersebut juga yang menjadikan Willy melarikan diri ke sini. Sama seperti Daniel, yang ingin memulai lagi kehidupan barunya. Namun, entah bagaimana caranya wanita itu bisa berada di sini juga? Dan... Bagaimana kalau Daniel tahu akan hal ini? Atau mungkin lelaki itu memang sudah tahu?
"Willy?" Tony melambaikan tangannya tepat di hadapan wajah Willy. Memecah lamunan lelaki tersebut.
"Y-ya ada apa?"
"Kenapa kau malah melamun? Jadi bagaimana?"
Willy menggaruk kepalanya sendiri, sebenarnya tidak terasa gatal tapi entah sepertinya ia perlu menggaruknya.
"Eum... Bekerja sama, dengan... Dilla?" Ucap Willy dengan penuh keraguan, berbanding terbalik dengan rekannya yang malah mengangguk mantap.
"Memangnya... Dia bisa bantu apa?"
"Tempat tinggalnya juga di sekitar sini, kita bisa menjalankan rencanamu itu di kediamannya," ujar Tony yang justru membuat lidah Willy semakin tercekat. Jadi selama ini... Dilla tinggal di dekat kediaman Tony? Kebetulan yang sangat kebetulan. Firasat Willy sedikit buruk tentang ini.
"B-baiklah... Mungkin bisa kita coba."
.
.
.
.
.
Daniel tengah memeriksa koleksi senjata miliknya, yang tersimpan di ruang kerjanya. Belakangan ini jarang digunakan, hanya satu yang sering dibawanya kemana pun untuk berjaga-jaga. Aktifitasnya itu terhenti kala salah satu ponselnya berdering, memaksa kaki Daniel untuk melangkah menunu ke tempat di mana ponsel tersebut berada.
"Ya?" Sapa Daniel pada seseorang di seberang sana.
'Mr. D! Apa kabar? Ini aku ketua tim,'
"Ada apa?" Tanya Daniel, nada bicaranya sangat terkesan dingin.
Kemudian, ketua tim selaku penelepon pun menjabarkan niatnya, sementara Daniel mendengarkannya dengan saksama dan sesekali mengangguk.
"Sebelum aku membantumu, bisa kau bantu aku terlebih dulu?" Ujar Daniel.
"Coba kau periksa pada tubuh korban, bila terdapat lambang pentagram, segera beritahu aku!"
Di tempatnya berada, setelah memutus panggila suara tersebut, lelaki itu segera bergegas menuju rumah sakit untuk menjalanka perintah Daniel atau yang dikenalnya sebagai Mr. D.
Menyusuri lorong rumah sakit menuju sebuah ruang pemeriksaan di mana korban tersbut diberi penanganan. Tidak berlu menunggu lama, dokter forensik yang ditemuinya tadi baru saja keluar dari ruangan tersebut dengan masker bedah yang masih menutupi bagian bawah wajahnya.
"Permisi! Dokter..." Lelaki itu menggantung kalimatnya sebab lupa akan nama dokter tersebut.
"Ben, aku Ben!" Lanjut sang dokter.
"Ah, iya. Dokter Ben, apa kau sudah memeriksa seluruhnya?"
"Sudah, segera kuserahkan hasil visumnya kepadamu. Juga sebaiknya kita menyegerakan tindak autopsi untuk kepentingan penyidikan,"
"Aku mengerti. Tapi, ada satu hal yang ingin kutanyakan,"
"Apa itu?"
"Apa kau... Menemukan lambang pentagram pada tubuh korban?"
Seketika Ben terdiam. Pentagram? Aneh, kenapa lelaki ini menanyakan tentang hal itu? Apa ia tahu sesuatu?
Lantas Ben menurunkan masker yang dikenakannya sampai ke dagu, melayangkan tatapan yang sedikit mengintimidasi.
"Kenapa kau menanyakan hal itu?"
"Tidak, hanya saja aku--"
"Siapa yang memerintahkanmu?" Sela Ben.
"Mr. D," jawabnya dengan lugas.
Mendengar nama rekannya yang disebutkan, Ben menganggukkan kepala. Ia pikir ada seseorang yang lain yang memerintah si ketua tim ini.
"Biar nanti aku yang menyampaikannya sendiri," ujar Ben dan segera berlalu meninggalkan lelaki tersebut yang masih tidak mengerti akan situasi sebenarnya.
Mr. D, pentagram, dan Dokter Ben.
Apa ketiganya berkaitan?
.
.
.
.
.
"Kapan kau akan menjalankan tugasmu?! Harus berapa lama lagi aku menunggu ha?!" Seorang lelaki nampak dikuasi amarah hingga membuatnya memaki melalui panggilan suara.
"Aku sudah bayar setengahnya jangan kau lupakan tugasmu! Aku tidak mau tahu kau mesti segera membereskanya!" Makinya lagi dan segera memutus panggilan secara sepihak.
Sementara lawan bicaranya, seorang lelaki di sebuah ruangan yang cukup gelap. Hanya terkekeh mendengarkan makian tersebut.
"Dasar bocah ingusan! Tidak punya etika lagi bodoh, segala sesuatunya butuh proses, bersabarlah sedikit..." Lelaki itu terlihat seperti berbicara pada ponselnya, membayangkan kalau ponselnya itu adalah lelaki yang memakinya tadi. Kemudian ponsel pun diletakkan, ia beralih pada laptop yang menyala di hadapannya. Mulai mengetikkan sesuatu di sana, membiarkan jemarinya menari bebas melahirkan kata demi kata yang menjadi paragraf.
"Sabar sedikit... Semua pasti akan selesai."