"Sebenarnya kau siapa?" Tanya seorang lelaki yang ada di hadapan Daniel.
Daniel hanya menyunggingkan senyumnya, "apa jika kuberitahu, kau akan membantuku?"
"Apa yang kau inginkan?"
Daniel meraih sesuatu dari dalam kantongnya, sebuah amplop berwarna coklat yang telah ia persiapkan sebelumnya.
"Kau bisa mendapatkannya lebih jika kau ingin!" Kata Daniel seraya menampar bagian d**a lelaki tersebut dengan amplop coklat itu. Si lelaki itu pun meraih amplop yang diberikan Daniel, melihat isinya yang ternyata lembaran uang yang sangat tebal.
"Katakan apa yang mesti kulakukan," kata si lelaki tersebut.
"Kau hanya perlu menceritakan padaku, bagaimana caramu menghabisi nyawa korban?"
Lelaki itu menghela napasnya, kemudian melemparkan amplop yang diberikan Daniel ke dalam mobilnya melalui kaca jendelanya yang terbuka.
"Apa kau tahu, istilah membunuh tanpa menyentuh?" Pertanyaan yang dilempar oleh lelaki itu tak diberi jawaban oleh Daniel.
"Aku membunuh untuk mendapatkan uang, tidak mungkin aku mengambil resiko cukup besar yang berpotensi menjadikanku kehilangan pekerjaanku ini, jadi... Aku menggunakan metode membunuh tanpa menyentuh untuk menghilangkan jejak,"
Daniel masih terdiam, membunuh tanpa menyentuh... Untuk menghilangkan jejak. Sedang dalam kasus yang ditangani Daniel, di pembunuh malah sengaja meninggalkan jejak.
"Membunuh tanpa menyentuh? Kira-kira bagaimana?" Tanya Daniel.
"Mudah saja. Kau hanya perlu menbuat korban tidak bernyawa dengan menyuntikkan cairan mematikan, atau beri racun pada hidangan mereka. Setelahnya, kau bisa bekukan jasad mereka dalam peti untuk diangkut oleh kapal pembawa barang yang akan berlayar, dan biarkan anak buah kapal membuangnya di tengah laut,"
Beri racun? Sebentar... Ben bilang, dia menemukan arsenik pada salah satu tubuh korban, bukan?
"Racun apa yang biasanya kau gunakan?"
"Raja dari segala racun, arsenik. Sebab senyawa tersebut hampir sulit terdeteksi. Sangat mudah ditemukan juga digunakan,"
Betapa terkejutnya Daniel kala mendengar kalau ternyata lelaki tersebut juga menggunakan arsenik. Apa mungkin, memang dia yang melakukannya? Lantas Daniel mengeluarkan selidik pamungkasnya.
"Kau tahu ini?"
"Pentagram?"
Keduanya beradu tatap, kalau benar dia orangnya... Maka selesai sudah kasus ini.
.
.
.
.
.
"Belum, belum selesai," kata Tony pada seseorang yang bicara dengannya melalui panggilan suara.
"A-apa?! Dihentikan? Tapi kenapa?"
Willy yang memang berada pada ruangan yang sama dengan Tony pun seketika menoleh begitu mendengar rekannya bicara dengan nada yang sedikit ditinggikan. Ada apa? Apa yang dihentikan?
"T-tapi... Pak? Halo? Halo??"
"Sialan!" Gerutu Tony ketika mengetahui panggilan suaranya diputuskan secara sepihak.
"Ada apa?" Tanya Willy yang masih terduduk di kursi kerja dengan kaki di angkat ke atas meja.
"Kasus ini akan dihentikan,"
"Apa?! Awww!!" Pekik Willy dan segera menurunkan kaki, tapi naasnya malah terbentur meja sehingga ia juga sedikit meringis.
"Kenapa bisa dihentikkan?" Tanya Willy.
Tony menghela napas dan menyeret kursinya agar mendekat pada sang rekan, "entahlah... Mereka bilang kasus ini akan dialihkan pada anggota intelejen di kepolisian, dan p********n untuk kita akan segera di transfer."
Tepat ketika Tony menyelesaikan kalimatnya, ponselnya berdenting, menampilkan notifikasi dari mobile banking. Bayaran mereka ternyata sudah dikirimkan.
Willy yang kebetulan juga mengintip isi notifikasi dari ponsel Tony barusan pun merasa ada sedikit rasa tidak terima, "jadi... Kita benar-benar tidak bisa melanjutkan penyelidikan ini?"
Tony hanya mampu menggeleng lemah.
.
.
.
.
.
Pintu lift baru saja terbuka, menampilakan dua orang wanita yang segera melangkah keluar, menyusuri koridor apartemennya yang megah itu. Yang satu adalah wanita dengan rambut ikalnya, sedang yang satu lagi tentunya Dilla.
"Unit ini sudah kubeli saat pertama kali aku menginjakkan kaki di negara ini, tapi aku kurang nyaman tinggal di tempat seperti ini, tidak terbiasa mungkin," tutur Dilla sembari tertawa renyah.
"Silakan masuk..." Dilla mempersilakan wanita itu untuk memasuki unit apartemennya itu.
"Ini... Mewah sekali," kata wanita rambut ikal itu.
"Kalau kau mau... Kau bisa menempatinya, sayang juga 'kan kalau dibiarkan kosong terlalu lama, lagi pula aku pikir mantan kekasihmu itu tak akan bisa mengganggumu kalau kau tinggal di sini," jelas Dilla. Ia memang sudah mengetahui jelas duduk permasalahan si wanita tersebut, keduanya semakin akrab setelah pertemuan tidak sengaja itu dan berlanjut dengan perbincangan di kedai tempo hari lalu.
"Kalau begitu... Sebagai tanda terima kasih, aku akan membayar uang sewa kepadamu setiap bulannya, rasanya sangat tidak tahu diri kalau aku menempati hunianmu begitu saja,"
"Itu hal gampang..." Jawab Dilla diiringi senyuman.
Sebab langit semakin pekat juga malam semakin larut, kedua wanita itu pun memutuskan untuk kembali ke kediamannya masing-masing. Kebetulan kekasih wanita rambut ikal itu sudah menantinya di bawah.
"Jadi... Kemungkinan besok aku akan segera pindah ke sini, terima kasih banyak, ya!" Ujar wanita tersebut ketika mereka baru saja keluar. Kini keduanya berjalan di koridor ke arah pintu lift untuk menunggu datangnya lift yang masih ada di lantai bawah itu. Tak lama kemudian, pintu lift pun terbuka, ada beberapa orang di dalamnya. Namun, begitu kedua wanita tersebut melangkah ke dalam lift, ada seorang lelaki yang melintas di samping mereka, melangkah ke arah yang berlawanan. Dilla tahu betul, itu Daniel, kakaknya. Dilla hanya mampu tertunduk, mengulum senyum kala dirinya berpapasan dengan sang kakak yang tidak mengenalinya. Namun, siapa sangka, kala pintu lift tertutup Daniel justru membalikkan tubuhnya.
"Kenapa aku merasa sangat tidak asing..." Gumamnya.
"Hey bodoh! Sedang apa kau berdiri di sana?" Teriak Ben yang baru saja keluar dari hunian Daniel.
"Aishh, si k*****t ini! Siapa yang kau sebut bodoh itu?"
"Kau! Siapa lagi? Tidak ada orang lagi di sini. Sedang apa kau berdiri memandangi lift?"
"Kau mau kemana?" Alih-alih menjawab tanya yang dilempar oleh Ben, Daniel malah berbalik melemparkan pertanyaan.
"Bekerja, lah! Jadi bagaimana? Apa dia pelakunya? Atau kau dapat informasi lain?" Ben membondong Daniel dengan beragam tanya yang membuat lelaki itu malah memejamkan mata dan meninggalkan Ben begitu saja.
"Tidak punya adab! Tidak punya akhlak! Dasar kau b******k! Aku bertanya bukannya diberi jawaban malah ditinggalkan!" Teriak Ben memaki. Sementara Daniel hanya berjalan sengan santainya seakan tak mendengar apa pun.
Daniel segera menuju ke ruang kerjanya, begitu pintu terbuka, ponsel yang di atas mejanya itu sudah berdering. Dari Tony, meskipun nomor ponsel lelaki itu tidak disimpannya pada kontak, tapi Daniel sudah hapal sebab memang Tony cukup sering menghubunginya.
"Ya?" Sapa Daniel.
Sembari melepaskan jaketnya, Daniel mendengarkan apa yang dituturkan lawan bicaranya dengan saksama.
"Apa?!" Pekik Daniel, tak kalah terkejutnya dengan Willy ketika mendengar kalau kasus mereka akan dihentikan.
'kau menghubungi Mr. D?' samar-samar Daniel mendengar suara Willy yang berbicara di sana.
'biarkan aku bicara sebentar,' lagi, Daniel mendengar kalau Willy meminta untum berbicara dengannya.
"Hm?" Daniel hanya berdehem untuk menyapa rekannya di seberang sana.
'bisa kita bertemu dan bicara sebentar?'
"Sekarang?"
'hm' kini giliran Willy yang berdehem mengiyakan tanya yang di lempar Daniel.
"Aku baru saja pulang, kalau kau bersedia, kemari saja!"
Tanpa menimpali lagi kalimat Daniel, lelaki itu pun memutus panggilan tersebut dan bergegas meninggalkan Tony untuk menuju ke kediaman Daniel. Melajukan kendaraannya dengan kecepatan penuh, jalanan juga sudah cukup lengang, jadi Willy bisa tiba ke tempat tujuan tanpa membuang banyak waktu.
Daniel mendengar suara bel rumahnya, ia menghidupkan alat yang bisa memonitor keadaan di depan huniannya untuk melihat siapa yang menyambanginya. Ternyata itu Willy, lantas ia segera melangkah ke arah pintu, untuk memberikan akses masuk kepada rekannya itu.
"Mari masuk!" Kata Daniel dan mengarahkan rekannya itu untuk mengikuti langkah Daniel.
Willy merasa keheranan dan sedikit canggung ketika Daniel mulai menapaki anak tangga.
"Mau kemana?" Tanya Willy.
"Ruang kerjaku."
Willy hanya menganggukkan kepala dan tetap mengekor pada Daniel. Betapa terpukaunya Willy, kala Daniel baru saja membuka pintu ruang kerjanya. Pandanga Willy mengedar, menyapu ke setiap sudut ruangan. Beragam jenis senjata api juga pisau ternyata ada di sana. Jangan lupakan beberapa foto yang tertempel pada dinding. Ada yang diberi tanda silang dengan tinta merah, diberi lingkaran dengan tinta merah dan ada juga yang bertinta hitam. Yang membuatnya sedikit terkejut, ada foto dirinya juga di sana.
"Kenapa wajahku ada di sana?" Protes Willy. Daniel hanya nyengir, menampilkan jajaran giginya. Aneh rasanya melihat Daniel berekspresi seperti itu.
"Apa yang mau kau bicarakan?" Tanya Daniel seraya duduk pada sofa yang memang sengaja ia letakkan di ruangannya.
"Aku... Tidak mengerti harus bagaimana lagi kalau kasus ini mesti dihentikan," ujar Willy yang juga mendaratkan tubuh pada sofa Daniel.
"Ya bagaimana lagi? Kenapa memangnya? Kau tidak dibayar?" Tanya Daniel, "sebentar, siapa yang memintamu untuk duduk?"
"Sialan kau!" Maki Willy.
"Bukan, ini bukan tentang uang. Sebagai orang yang sudah menggeluti dunia intelejen bertahun-tahun, aku merasa... Kasus ini seakan memang sengaja dibuat untuk memanggil kita,"
Daniel terdiam, "padahal aku baru saja meminta Tony untuk segera melakukan penangkapan pada dalang pembunuhan seorang mafia kasino,"
"Kau, meminta Tony untuk melakukannya?"
Daniel mengangguk.
.
.
.
.
.
"Tony?" Seorang lelaki menyapa Tony ketika Tony baru saja hendak memasuki mobilnya.
Tony menyipitkan matanya, dan pada detik berikutnya...
"Ah, Pengacara Ry? Apa kabar?!" Kata Tony dengan begitu antusias seakan menyapa sahabat lama, bahkan keduanya sampai berjabat tangan.