"Jadi Tony menemuimu untuk berdiskusi?" Tanya Willy yang diberi anggukan oleh Daniel.
"Bahkan dia juga melaporkan kalau di sekitar tempat tinggalnya ada kasus pencurian pakaian dalam beruntun kepadamu?"
Lagi-lagi Daniel memberinya anggukan.
"Kau tahu, Daniel? Dia tak mengatakan apa pun kepadaku," ujar Willy. Daniel sama sekali tak menunjukkan yang berbeda.
"Begitukah?" Kata Daniel yang terdengar sangat tidak peduli.
"Padahal aku ini rekannya, kenapa dia malah melaporkan dan berdiskusi denganmu?"
Baru ketika ia mendengar apa yang dituturkan Willy barusan, Daniel seketika menatap rekannya. Hanya menatap, tanpa mengucap.
Sementata Tony, lelaki itu sudah berada di sebuah bar. Ia tak sendirian, di sebelahnya ada sosok lelaki yang baru saja menenggak minumannya, sosok lelaki yang ia sebut sebagai 'pengacara Ry' tadi.
"Jadi bagaimana pekerjaanmu, Tony?" Tanya lelaki tersebut.
Tony berdecak, "ya, begitulah..." Jawabnya dengan nada yang agak malas.
Lelaki itu sedikit terkekeh, kemudian ia melirik ke arah ransel yang dibawa Tony, hiasan berupa lambang pentagram yang pernah ia berikan ternyata digantungkan oleh Tony pada resleting ranselnya.
"Kau masih menyimpannya?" Tanya pengaca Ry. Namun, Tony nampak tak mengerti maksud pertanyaan tersebut, lelaki itu mengerutkan kening melempar sebuah tatap yang bersirat 'apa?' hingga akhirnya mengikuti arah pandangan mata Tony.
"Ah, gantungan ini?" Cetus Tony ketika memorinya berhasil mengingat kalau ternyata gantungan yang sempat dipertanyakan oleh Willy itu adalah pemberian dari pengacara Ry.
"Maaf aku tidak ingat kalau ini pemberianmu. Beberapa waktu lalu... Rekanku pernah menanyakannya," tutur Tony.
"Menanyakan apa?"
"Dia bilang, dari mana aku memperoleh gantungan itu? Sebab gambarnya sama dengan gambar yang ada pada tiap tubuh korban yang kami temui,"
Pengacara Ry hanya menganggukkan kepalanya sembari menyembunyikan senyum.
"Rekanmu... Siapa namanya?" Tanya pengacara Ry.
"Willy?" Sahut Tony.
"Benar, Willy!"
"Ada apa bertanya tentang dia?"
Pandangan pengacara Ry memandang lurus ke depan dengan siratan yang nampak berbeda, detik berikutnya ia menyunggingkan senyum, dan,
"Tidak, sepertinya sebentar lagi aku akan bertemu dengannya."
.
.
.
.
.
"Ah, iya. Aku baru ingat!" Ujar Willy.
"Ada seseorang yang menemuiku, dia mengaku sebagai petugas kebersihan di museum dan dia juga menyaksikan kejadian pembunuhan itu! Aku sudah memberikannya kartu namamu, apa dia sudah menghubungimu?"
Daniel mengerutkan kening, "sebentar biar kuperiksa!" Lantas ia bergegas meraih ponsel dan memeriksanya. Benar saja, ada beberapa panggilan tak terjawab dari nomor tidak dikenal. Namun, sayangnya ketika Daniel menghubunginya kembali, hanya ada suara operator yang mengatakan kalau nomor tersebut sedang tidak aktif.
"Bagaimana?" Tanya Willy.
"Tidak bisa, ponselnya tidak aktif!"
"Tidak aktif? Mungkin kau mesti mencobanya lain kali," kata Willy. Sebenarnya ada sedikit yang mengganggu pemikirannya. Terlintas sebesit rasa khawatir akan keberadaan lelaki yang menjadi saksi tersebut. Instingnya sebagai detektif kawakan mengatakan kalau posisi lelaki tersebut sedang terancam, si pelaku bisa saja tak segan-segan untuk segera melenyapkan lelaki itu. Willy tidak tahu saja, kalau dugaannya itu benar adanya. Bahkan kini, jasad lelaki tersebut sudah di lemparkan ke tempat pembuangan sampah.
.
.
.
.
.
Setelah sempat menyambangi unit apartemen milik Dilla kemarin, malam ini wanita berambut ikal tersebut memutuskan untuk segera pindah. Tak banyak yang ia bawa, sebab semua peralatan sudah tersedia di unit tersebut. Tentunya sebelum pindah ia menghubungi dulu sang pemiliknya, dengan dibantu sang kekasih, wanita tersebut sudah memindahkan semua baju juga perlengkapannya dari tempat tinggal lamanya, ke apartemen baru yang akan ia tempati.
"Aku yakin kau akan aman di sini," ucap sang kekasih. Wanita tersebut menanggapinya dengan senyuman.
Unit tersebut ternyata berada di lantai yang sama dengan hunian yang Daniel tempati. Namun, bedanya kalau milik Dilla itu berada di ujung, tidak seperti Daniel yang berada tengah.
Berbicara tentang Dilla, gadis itu kini sedang bersama Tony. Pertemuan mereka kali ini memang sudah dijanjikan lebih dulu. Hanya sekadar berbincang di kedai tempat mereka untuk kali pertamanya bersua tatap.
"Jadi, kau pernah menjadi anggota intelejen?" Tanya Tony yang merasa sedikit tidak percaya kala Dilla menceritakan sedikit tentangnya.
"Kalau begitu... Apa kau mau bergabung bersamaku? Kau tinggal persiapkan saja berkas-berkas yang diperlukan," tutur Tony.
Mendengar penawaran Tony barusan, Dilla mengembangkan senyum seraya meraih cangkir minumannya di atas meja untuk disruput.
Ini kesempatan bagus, pikir Dilla. Lantas setelah wanita itu tiba dikediamannya, ia segera mengumpulkan semua berkas yang akan diserahkannya kepada Tony besok. Entah, keputusan Tony untuk merekrut Dilla ini benar atau tidak, yang jelas dirinya telah membuka jalan bagi Dilla untuk bertemu lagi dengan Willy yang tentunya juga nanti pasti akan bertemu dengan sang kakak, Daniel.
Seperti yang sudah dijanjikan, pagi hari sebelum Tony berangkat ke kantornya, lelaki itu akan menemui Dilla terlebih dulu untuk mengambil berkas-berkasnya dan diserahkan kepada sang rekan, Willy.
"Baiklah, nanti kukabari lagi, ya!" Kata Tony sebelum akhirnya kembali melajukan mobilnya untuk menuju kantor setelah singgah sejenak di taman dekat kediamannya, yang menjadi tempat janji temunya dengan Dilla.
Begitu Tony menginjakkan kakinya di kantor, ruangan kerjanya itu masih sepi. Tony masih harus menunggu kehadiran Willy untuk menyerahkan berkas yang dibawanya. Ketika baru saja Tony mendaratkan tubuh di kursi kerjanya, tiba-tiba ponsel yang berada di sakunya itu berdering. Tony menatap layarnya sejenak, panggilan suara dari nomor yang tidak dikenal, pada detik selanjutnya, Tony menggeser lambang telepon berwarna hijau dan mendekatkan ponselnya pada indra pendengar.
"Ya?" Sapa Tony.
'Tony? Ini aku,' begitu lelaki di seberang sana mengeluarkan suaranya, Tony menganggukkan kepala. Ia kenal betul itu suara lelaki yang menjadi tokoh masyarakat di sekitar kediamannya.
"Ada apa, Pak?"
Sementara di luar kantor, Willy baru saja hendak melangkahkan kakinya untuk masuk. Namun,
"Selamat pagi! Maaf mengganggu apa kau yang bernama Willy?" Seorang lelaki tiba-tiba menghalau langkahnya.
"Iya, ada apa?" Tanya Willy.
Lelaki tersebut nampak mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya, itu lencana kepolisian. Willy semakin keheranan, sebenarnya ada apa?
"Aku tim penyidik yang ditugaskan untuk mengambil alih kasusmu, jadi aku kesini untuk--"
Penuturannya terhenti kala ponsel lelaki tersebut tiba-tiba saja berdering.
"Sebentar!" Serunya. Sekaligus meminta izin untuk sejenak menerima panggilan suara tersebut.
"Selamat pagi! Ada yang bisa kubantu?" Sapanya kepada si penelepon.
"Apa?!" Willy sempat tersentak ketika lelaki itu memekik. Rautnya semakin nampak kebingungan.
"Baik aku segera ke sana!" Serunya di ujung pembicaraan. Kini lelaki tersebut terlihat panik dan tergesa.
"Willy, maaf aku harus pergi. Boleh aku minta kartu namamu untuk kuhubungi lagi nanti?"
Willy yang masih kebingungan pun hanya mengangguk dan menyerahkan sebuah kartu dari balik jaketnya. Setelah kartu tersebut berpindah tangan, lelaki itu segera pergi dengan terburu meninggalkan Willy yang tak mau ambil pusing dan melanjutkan langkah untuk menuju ruangannya.
"Oh, kau sudah datang?" Sambut Tony yang sedang disibuk di depan komputer kala Willy membuka pintu.
"Ada kasus baru, aku sedang mencetak semua datanya," ujar Tony, sementara Willy hanya menganggukkan kepala dan mendaratkan tubuh di kursi kerja. Berbanding terbalik dengan Tony yang malah bangkit dari kursinya untum mengambil lembaran kertas yang baru saja keluar dari mesin pencetak dokumen.
Setelah menyatukannya dengan penjepit kertas, Tony menyerahkan berkas tersebut kepada Willy.
"Sila diperiksa!"
Lantas Willy pun segera membacanya, baru sekilas, agaknya Willy sudah paham akan duduk permasalahan kasus ini. Sebab sebelumnya ia sudah mendengarnya dari Daniel, tentang pencurian pakaian dalam wanita di sekitaran tempat tinggal Tony.
"Ini di dekat kediamanmu, bukan?" Tanya Willy dengan fokus yang masih terpaku pada lembaran kertas tersebut.
Tony berdehem mengiyakan.
"Kita bisa memulai penyidikan hari ini!" Seru Willy seraya bangkit dari duduknya.
"Ayo, bersiap!" Katanya sembari meraih beberapa perlengkapannya.
"Willy, sebentar!" Cegah Tony. Kemudian lelaki itu meraih sebuah map coklat dari atas meja kerjanya, dan menyerahkannya kepada Willy.
"Beberapa hari lalu, kau bilang sepertinya kita perlu merekrut anggota. Aku mendapatkan kandidat, sila kau periksa dulu berkasnya!"
"Ini berkas kandida?" Tanya Willy yang diberi anggukan oleh Tony.
Ketika Willy membuka map dan mengeluarkan lembaran kertas dari dalamnya, waktu seakan melambat. Semuanya berjalan dengan sangat lambat sampai pada akhirnya lembaran tersebut berada di genggaman Willy. Begitu Willy mengeja nama yang tertoreh pada berkas tersebut, seketika matanya terbelalak,
Dan,
.
.
.
.
.
Prangggg
Sebuah gelas ukur tidak sengaja mendarat bebas dari atas meja, beruntung tidak ada cairan di dalamnya. Ben beserta kecerobohannya yang menyenggol gelas tersebut pun seketika terkejut kala gelas ukur itu terdampat dan hancur berkeping di atas lantai.