Seorang lelaki baru saja memasuki ruangan kerjanya, dengan setelan serba hitam lengkap dengan topi yang masih melekat di kepalanya, ia memeriksa ponsel yang diletakkannya di atas meja. Ada satu panggilan tak terjawab dari nomor yang tidak dikenal.
Sementara Daniel, lelaki itu juga baru saja kembali memasuki ruang kerjanya, dengan rambut yang masih basah dan menggosokkan handuk ke kepalanya, Daniel meraih ponselnya, mencoba untuk menghubungi lagi kontak seseorang yang baru didapatnya tadi.
"Hm, ada apa?" Kata seorang lelaki dengan setelan serba hitam itu ketika ponsel yang digenggamnya berdering.
"Aku butuh bantuanmu, bisa kita bertemu?" Kata Daniel, keduanya berbicara melalui panggilan suara.
"Katakan saja apa yang mesti kulakukan melalui panggilan ini," jawab lelaki itu.
"Tidak bisa. Kita mesti bertemu,"
Terdengar melalui ponsel Daniel, lelaki di seberang sana menghela napasnya.
"Baiklah... Nanti malam, di perbatasan kota." Ujarnya dan memutus panggilan suara tersebut secara sepihak.
.
.
.
.
.
Willy baru saja keluar dari mobilnya, melanglahkan kaki menuju pintu depan kantornya.
"Permisi, apa kau yang bernama Willy?" Cegat seorang lelaki ketika Willy hendak saja memasuki kantornya.
"Iya, aku Willy. Ada apa?"
Lelaki tersebut sempat terdiam sejenak lagi menunduk. Sebelum akhirnya menghela napas dan, "bisa kita bicara sebentar?"
Willy nampak sedikit mengerutkan kening, seorang lelaki yang tidak dikenalnya, bahkan rasa-rasanya ia baru pertam akali melihat orang tersebut. Namun, Willy tetap menggiringnya untuk menuju ke sebuah kedai yang tak jauh dari kantornya. Setelah memesan dua cangkir kopi, Willy memilih posisi duduk di sudut kedai yang agak jauh dari pengunjung lainnya. Sebab sepertinya lelaki tersebut hendak menyampaikan sesuatu yang penting.
"Jadi, apa yang hendak kau katakan?" Tanya Willy sembari menyilangkan kakinya.
"A-aku..." Lelaki tersebut nampak sedikit gugup. Sedari tadi ia hanya menunduk juga memainkan jemarinya sendiri.
"Apa kau tahu insiden pembunuhan yang di museum?"
Willy yang habis menyeruput kopinya pun mengangguk, "kenapa?"
"Aku menyaksikannya..." Seketika kedua mata Willy jadi terbelalak.
"Aku petugas kebersihan di museum. Saat itu aku tidak sengaja melihat kejadian tersebut, aku... Melihat jelas siapa yang melakukannya,"
"Lalu kenaa kau mengatakan ini padaku?" Tanya Willy.
"Sudah beberapa kali aku menyambangi kantor tim penyidik, tapi rasanya mereka tidak akan memercayaiku sebab aku tidak punya bukti. Aku hanya menyaksikannya dengan kedua mataku,"
"Lantas apa kau pikir aku akan percaya padamu?"
Lelaki itu menggelengkan kepalanya, "tidak, tapi aku yang percaya padamu. Aku telah melakukan pengamatan secara diam-diam dan kinerjamu benar-benar membuat kuyakin dan bisa menceritakan ini padamu,"
"Tapi kau tahu 'kan aku ini intelejen swasta?"
Lelaki itu terdiam, tak memberi jawaban apa pun pada pertanyaan Willy.
"Kau mesti mengajukan laporan secara rinci agar aku bisa menindaklanjuti kasus ini, juga kau mesti membayarkan sejumlah uang atas kinerjaku,"
Lelaki itu menunduk diselimuti geming.
"Rasanya... Tidak ada gunanya kalau kau mengatakan ini padaku," kata Willy seraya bangkit dari duduknya.
"Aku tak bisa melakukan apapun, aku tidak punya kuasa. Kau salah orang," mendengar penuturan Willy, lelaki tersebut mendongak seketika menatap wajah Willy.
Willy meraih sesuatu dari balik jaketnya, "tapi mungkin Mr. D bisa membantumu," cetus Willy seraya melemparkan kartu tersebut ke atas meja. Lelaki tersebut pun meraihnya. Itu kartu nama Mr. D, lengkap dengan nomor ponselnya tertera di sana. Tanpa mengucap sepatah kata lagi, Willy melangkahkan kakinya keluar kedai, meninggalkan lelaki tersebut yang masih menatap kartu nama Mr. D.
"Terima kasih!" Lelaki tersebut sedikit berteriak ketika Willy hendak membuka pintu kedai, dan diberi tanggapan oleh Willy yang mengangkat sebelah tangannya.
Tanpa keduanya sadari, seorang lelaki sedari tadi memperhatikan gerak-gerik mereka. Terutama lelaki yang memegang kartu nama Mr. D itu.
.
.
.
.
.
"Kau sudah lama menunggu?" Wanita berambut ikal itu menarik salah satu kursi yang disediakan. Dilla yang memang sudah sedari tadi berada di tempat itu dan menempati meja yang ada di sudut pun menyunggingkan senyum.
"Tidak, mau pesan apa?" Tanya Dilla sembari menyodorkan buku menu yang sudah berada di atas meja mereka.
Pun wanita si rambut ikal itu mengambil alih dan membaca satu persatu nama hidangan yang tertera di sana. Rasanya ia sedikit tergiur dengan sebuah minuman perasa Strawberry bercanbur Youghurt. Sedang Dilla hanya memesan secangkir Latte hangat. Setelah menyebutkan pesanan masing-masing, pramusaji meminta mereka untuk menunggu sejenak sampai minuman yang dipesan bisa disajikan di atas meja.
"Kau baru pulang bekerja?" Tanya Dilla basa-basi.
"Ah, iya. Kau sendiri?"
Dilla lantas menyunggingkan senyum dan menundukkan kepala, "aku belum punya pekerjaan,"
"Benarkah?" Tanya si wanita berambut ikal tidak percaya. Namun, Dilla menganggukkan kepala pertanda apa yang dikatakannya itu benar adanya.
"Lalu kau... Apa kegiatanmu sehari-hari?"
Dilla menghela napasnya sejenak, "aku punya tabungan, tapi selama ini juga aku sudah berusaha untuk mencari pekerjaan," katanya.
"Maaf jika pertanyaanku ini sedikit menyinggung, tapi... Sepertinya kau bukan warga asli sini, ya?"
Lagi-lagi Dilla tersenyum. Sudah biasa rasanya mendapat lemparan pertanyaan seperti itu, sebab wajah Dilla memang mempunyai ciri khas oriental. Meski begitu, sejauh ini ia hidup di negeri orang tidak pernah mendapat perlakuan diskriminatif, semuanya begitu ramah lagi toleran.
"Iya, aku pendatang. Aku belum lama datang ke sini," sahutnya.
"Apa rencanamu?"
"Permisi--" pembicaraan mereka sempat terjeda sebab pesanan mereka sudah mendarat di atas meja.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada yang menyajikan, keduanya kembali fokus pada topik yang ada di antara mereka.
"Tujuanku ke sini sebenarnya untuk mencari seseorang," jelas Dilla sembari menyeruput minumannya.
"Sudah ketemu?" Kini giliran wanita rambut ikal itu yang menyicipi pesanannya. Strawberry berkolabirasi dengan Yoghurt. Begitu menyegarkan! Ada rasa manis juga asam yang menciptakan sensasi luar biasa dalam indra pengecap wanita itu.
"Belum." Jawab Dilla.
Ponsel wanita berambut ikal itu tiba-tiba berdering, sedikit membuat dirinya juga kenalan barunya terkejut.
"Kekasihku," ujar wanita itu memberitahu Dilla sekaligus meminta izin sejenak untuk menjawab panggilan.
"Ya, sayang?" Sapanya. Wanita itu nampak begitu serius mendengarkan, sementara Dilla hanya mampu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kedai. Di ujung sana, netra Dilla menangkap sosok seorang lelaki yang dikenalnya, sedang menatap ke arah dimana dirinya berada.
"Iya, iya. Tidak apa, aku juga belum mendapat kabar dari para rekanku tentang hunian yang bisa aku tempati,"
"Iya, iya baiklah. Sampai jumpa, sayang!"
Begitu kiranya yang tertangkap oleh pendengaran Dilla.
"Kau membicarakan hunian, apa kau akan segera pindah?" Tanya Dilla setelah menyesap secangkir Latte miliknya.
Wanita itu mengangguk, "rencananya begitu. Aku mesti segera pindah. Namun, sayangnya aku belum mendapat tempat,"
"Kalau apartemen, bagaimana?" Tawar Dilla.
"Apartemen?"
.
.
.
.
.
"Iya." jawab Daniel, lelaki itu tengah bersiap untuk menemui lelaki yang dihubunginya tadi, lelaki yang menurut informasi adalah seorang pembunuh bayaran.
"Apa aku perlu pergi bersamamu?" Tanya Ben, Daniel telah menceritakan semuanya kepada rekannya itu.
"Tidak," Daniel meraih pistolnya, memandanginya selama beberapa detik, tadinya ia mau menyimpannya di dalam tas kerja. Namun, hal tersebut Daniel urungkan. Daniel menyimpannya di balik jaketnya.
"Aku berangkat!" Kata Daniel seraya berlalu untuk melangkah keluar huniannya.
"Hubungi aku kalau terjadi sesuatu!" Teriak Ben kala rekannya itu menghilang di balik pintu.
Sementara itu, di sudut lain ada seorang lelaki yang tengah berusaha menghubungi Daniel tapi tak pernah mendapatkan jawaban.
"Apa sebaiknya aku hentikan saja?" Gumamnya. Pada detik berikutnya, terdengar suara ketukan pintu dari luar kediamannya.
"Iya, sebentar!" Teriaknya dari dalam, lantas segera melangkah untuk menyambut seseorang datang itu. Namun...
"Aargghh!!!" Tepat ketika pintu baru saja dibukakan, lelaki yang berada di balik pintu itu segera menancapkan pisau pada perut si pemilik rumah.
"K-k-kau..." Ujarnya dengan terbata, matanya terbelalak, kedua tangannya digunakan untuk menekan perutnya sendiri meredam rasa sakit. Namun, lelaki yang menusuknya tadi mencabut lagi pisaunya.
"Jangan coba-coba untuk menghalangiku!" Ancamnya dan kembali menusukkan pisau ke sisi perut yang lain.
"Argghh!!!" Lelaki itu semakin meringis kesakitan. Kemudian pisau kembali dicabut.
"Dan jangan bermain-main denganku!" Untuk yang ketiga kalinya, pisau kembali ditancapkan. Hingga kedua kaki lelaki tersebut tak mampu lagi menopang tubuhnya. Terkulai lemas di atas lantai kediamannya sendiri. Alih-alih berhenti, ia kembali mencabut pisaunya. Namun, kali ini tak lagi untuk ditancapkan. Diletakkannya pisau di sebelah tubuh korban, jemari kanannya beralih pada leher korban yang sudah tak berdaya itu. Mencekiknya, hingga korban benar-benar tak bernyawa lagi.
Daniel keluar dari mobilnya, menghampiri sosok lelaki yang bersandar pada mobilnya sendiri di seberang sana, hingga keduanya berdiri berhadapan. Dengan kedua lengan yang disembunyika di balik saku, Daniel melayangkan tatapan penuh siratan kepada lelaki tersebut.