"Arsenik!"
Daniel seketika tersentak begitu mendengar apa yang diucapkan oleh rekannya itu.
"Kurasa kau juga pasti memikirkan apa yang aku pikirkan!" Kata Ben lagi. Selama beberapa detik keduanya terdiam. Daniel masih bergelut dengan pemikirannya. Melihat Daniel yang tetap saja bergeming, akhirnya Ben memutuskan untuk berbalik dan meninggalkan Daniel.
"Si k*****t itu... Ada di sini..." Gumam Daniel yang masih terdengar oleh Ben, lantas lelaki itu mengurungkan niatnya untuk melangkahkan kaki.
"Siapa?" Tanya Ben yang membalikkan lagi tubuhnya ke arah Daniel.
.
.
.
.
.
"Hey, kau!" Sapa Dilla kepada wanita si rambut ikal yang baru saja keluar dari kediamannya, sepertinya ia baru saja hendak berangkat kerja.
"Dilla?" Kata wanita itu yang kebetulan sudah berkenalan malam tadi, saat Dilla tidak sengaja melintas ketika dirinya sedang membuang sampah.
"Apa kau akan berangkat bekerja?" Tanya Dilla, wanita itu pun mengangguk memberi jawaban.
"Kalau begitu, aku permisi!" Kata Dilla dan kembali bersiap untuk melanjutkan aktifitasnya, wanita itu sedang berlari kecil di sekitaran tempat tinggalnya, Dilla memang rutin membiasakan diri untuk sekadar lari pagi.
"Dilla, tunggu!" Cegah wanita si rambut ikal.
"Sore nanti, kalau kau tidak sibuk. Bisa kita berbincang sebentar di kedai ujung jalan sana?" Ajaknya. Dilla nampak mempertimbangkannya sejenak.
"Hmm, baiklah! Kalau begitu sampai jumpa nanti sore!" Ucap Dilla dan segera meninggalkan wanita yang baru dikenalnya itu.
.
.
.
.
.
'Kami sudah menangkap lelaki yang menjadi akal dari kejadian pembunuhan di museum itu, tapi aku belum bisa menemukan siapa pembunuh bayaran yang dimaksud. Lelaki itu juga bersikeras tak mau mengatakan siapa yang membantunya untuk menghabisi nyawa guru sejarah tersebut. Sampai saat ini kami masih berusaha untuk mencarinya, kalau boleh, aku juga meminta bantuan padamu untuk turut mencari. Terima kasih!'
Daniel baru saja mendengarkan pesan suara dari ketua tim penyidik. Lelaki itu baru terbangun dari tidurnya, rambutnya masih berantakan, wajahnya juga terlihat masih sangat lusuh, matanya belum terbuka sempurna. Namun, Daniel sudah berada di ruang kerjanya demi melanjutkan penyelidikkan.
Ia mengusap wajahnya sendiri menggunakan tangan kanannya. Teringat apa yang disampaikan Tony semalam, kalau ternyata pesaing korban itu ada di kasino pada malam kejadian, artinya ada orang lain yang diminta untuk menghabisi nyawa korban. Bisa jadi, pembunuh bayaran yang menewaskan guru sejarah di museum, merupakan pembunuh yang sama dengan yang menghabisi nyawa korban pemain kasino itu.
Daniel segera meraih ponsel bisnisnya, mencoba untuk menghubungi Tony melalui panggilan suara. Sementara Tony, ia baru saja hendak berangkat menuju ke kantor. Namun, lelaki itu mampir dulu ke sebuah supermarket yang berada di sekitar kediamannya. Saat Tony hendak melakukan p********n di kasir, ia mesti mengikuti antrean, supermarket cukup ramai untuk waktu yang sepagi ini.
"Benarkah? Aku juga beberapa kali pernah kehilangan,"
"Iya! Aku sudah dua kali!"
Tanpa sengaja Tony mendengar pembicaraan para ibu rumah tangga dan satu gadis remaja yang mengantre di depannya. Namun, ia tak bisa mendengar keseluruhannya sebab ponselnya keburu berdering menampilkan sebuah panggilan suara yang baru saja masuk.
"Iya, ada apa?" Tanya Tony yang memang sudah tahu kalau panggilan tersebut berasal dari Daniel atau yang ia kenal sebagai Mr. D.
"Baiklah, aku juga akan segera memprosesnya!" Kata Tony sembari meletakkan beberapa belanjaannya di meja kasir. Kini sudah giliran Tony untuk menyelesaikan p********n.
"Iya, iya baiklah!" Kata Tony di penghujung pembicaraannya. Lantas ponselnya itu kembali ia simpan di dalam saku celana.
"Tadi aku sekilas mendengar, sepertinya mereka semua kehilangan sesuatu, ya?" Tanya Tony kepada sang kasir yang sedang melakukan tugasnya.
"Iya. Kabarnya, akhir-akhir ini para wanita yang tinggal di sekitar sering kehilangan pakaian dalam mereka!" Jawab sang penjaga kasir. Tony sedikit terkejut.
"Benarkah? Bagaimana bisa?" Tanya Tony yang semakin penasaran.
"Entahlah, aku juga tidak mengerti," kata si penjaga kasir seraya menyerahkan belanjaan Tony yang sudah dikemas di dalam kantong.
"Terima kasih!" Ucap Tony setelah menyerahkan beberapa lembar uang kertas serta meraih kantong belanjanya. Lantas Tony segera keluar dari supermarket dan segera bergegas menuju ke kantornya. Namun, ketika ia baru selesai mengaitkan sabuk pengamannya, ponsel dalam saku celana itu berdenting. Tony menyempatkan untuk memeriksanya terlebih dulu. Tanpa sadar, begitu ia membaca isi pesannya, senyuman terlukis begitu saja di wajah Tony.
Kembali pada Daniel, lelaki itu tengah mencoba menghubungi salah satu koneksinya. Lebih tepatnya, mantan mafia yang kasusnya pernah ia tangani. Namun, kini orang tersebut memutuskan untuk keluar dari dunia kelam itu.
"Ini aku, Mr. D! Lama tidak bersua, tuan!"
Seorang pria di seberang sana nampak sedikit terkejut lagi tidak percaya mendapat panggilan suara dari seorang Mr. D. Lantas ia segera membenarkan posisi duduknya.
"Ah, Mr. D! Suatu kehormatan bagiku bisa berbicara denganmu. Ada apa? Apa yang bisa kulakukan untukmu?" Katanya.
Sementara Daniel, dengan menyandarkan tubuh pada kursi kerjanya, lelaki itu mengetukkan jemarinya ke atas meja.
"Beritahu aku... Siapa pembunuh bayaran yang pernah kau pekerjakan itu...."
Sontak lelaki yang menjadi lawan bicara Daniel pun tersentak seketika.
"U-untuk apa?" Tanyanya gugup. Apa mungkin Daniel akan memenjarakan si pembunuh bayaran itu? Pikirnya.
"Beritahu saja kepadaku... Ada yang perlu aku konfirmasi."
Ada sedikit ragu bercampur kecemasan pada jiwa si lelaki itu. Kiranya untuk apa seorang profiler menanyakan pembunuh bayaran? Sebenarnya ada apa? Meski begitu lelaki tersebut tidak bisa menolak permintaan Daniel, ia tetap memberikan kontak yang bisa Daniel hubungi untuk dapat bertemu dengan orang yang Daniel maksud.
Juga Daniel tanpa membuang waktu segera menghubungi nomor ponsel yang diberikan oleh koneksinya tadi. Namun, sayangnya ia tidak mendapatkan jawaban. Ya, Daniel mengerti pasti nomor yang didapatnya ini bukanlah nomor ponsel pribadi. Selayaknya dirinya sendiri yang selalu memisahkan nomor ponsel pribadi dengan nomor ponsel untuk tugas.
Seketika kembali terlintas apa yang dituturkan Ben semalam. Katanya, ia menemukan senyawa arsenik pada salah satu tubuh korban yang terdapat lambang pentagram. Senyawa tersebut memang pernah digunakan oleh sosok yang ia kenal untuk membunuh, apa mungkin sosok itu benar-benar ada di sini? Terlebih Daniel pernah beberapa kali melihat orang yang begitu mirip dengannya.
Sedang asyik-asyiknya termenung, salah satu ponsel Daniel berdering tanpa aba-aba.
"Sialan aku terkejut!" Gumam Daniel.
"Ya, kenapa?!" Nada bicara Daniel terdengar sedikit menyalak. Membuat lelaki di seberang sana menjauhkan ponsel dari pendengarannya seketika.
'A-apa aku mengganggumu?' katanya gelagapan.
Daniel menghela napas seraya mengusap wajahnya, merasa sedikit tidak enak hati atas perilakunya tadi pada si penelepon.
"Tidak. Ada apa?" Kata Daniel, kali ini dengan nada yang biasa saja.
'sebenarnya ini tidak ada hubungannya dengan kasus yang sedang kita tangani, tapi... Tadi ketika aku di supermarekt, menurut warga di sekitar tempat tinggalku, akhir-akhir ini para wanita sering kehilangan pakaian dalamnya. Jujur hal itu sedikit membuatku merinding..." Ujarnya.
"Iya, benar. Itu agak menyeramkan. Terlebih aku juga punya seorang adik wanita jadi...."
'Kau punya adik wanita?' sela lelaki di seberang sana membuat Daniel tersadar akan apa yang ia tuturkan. Bagaimana bisa ia menceritakan hal pribadinya kepada orang yang baru saja dikenalnya itu.
"Lupakan. Kita bisa bahas masalah yang berada di sekitar tempat tinggalmu itu lain waktu, sekarang ada yang mesti aku urus!" Daniel memutuskan panggilan suaranya secara sepihak. Lantas ia segera beranjak dari kursinya, dan melangkahkan kakinya keluar ruangan. Kediamannya nampak sepi, sepertinya Ben belum kembali, sayang sekali padahal ada yang ingin ia diskusikan dengan rekannya itu. Baiklah, mungkin kali ini ia mesti berdiskusi dengan rekannya yang satu lagi.