Willy baru saja kembali ke ruangannya, disana rekannya yang semula masih terlelap sudah memanggul ransel bersiap untuk pergi.
"Kau mau pulang?" Tanya Willy. Rekannya itu menganggukan kepala sembari mengucek sebelah matanya.
"Nanti aku balik lagi." Katanya. Berikutnya ia hendak berlalu meninggalkan Willy di ruangan itu. Namun, baru saja kakinya melangkah, mata Willy menangkap sesuatu yang tidak asing pada sebuah hiasan yang menggantung di ransel rekannya.
"Tony!" Pekik Willy, membuat lelaki bernama Tony itu menghentikan langkahnya dan kembali menoleh kepada Willy, melempar tatapan yang menyiratkan 'ada apa?'
Perlahan Willy melangkah ke arahnya, perlahan juga jemari Willy menggapai hiasan yang menggantung pada resleting ransel rekannya, Tony.
"Pentagram," gumam Willy.
"Apa?" Tony yang tak bisa mendengar ucapan Willy pun memastikan sekali lagi.
Alih-alih mengucapkannya ulang, Willy malah melempar tanya kepada Tony yang tengah menatapnya bingung.
"Kau dapat ini dari mana?"
Tony melirikan kedua matanya ke arah atap, lelaki itu nampak berpikir sejenak.
"Aku... Tidak begitu ingat..."
Willy menghela napasnya kemudian menarik lagi jemarinya dari hiasan ransel milik Tony.
"Selesaikan urusanmu dan cepatlah kembali!"
.
.
.
.
.
"Jadi... Kau menemukan lambang ini di setiap korban yang kasusnya kau tangani?" Tanya Ben. Kini fokusnya sudah bukan lagi tertuju pada laptop, melainkan pada Daniel yang seketika menciptakan diskusi serius mengenai kasus yang ditanganinya begitu ia melihat sebuah lambang pentagram pada kertas Ben.
"Tidak, bukan pada setiap korban yang kasusnya kutangani, tapi hanya pada kasus Willy. Namun, ternyata aku menemukannya juga pada kasus yang lainnya," tutur Daniel. Kini ia tengah duduk berdampingan bersama Ben.
"Ini pentagram. Aku menggambarnya sendiri, iseng-iseng. Kerap dikaitkan dengan ilmu hitam. Namun, semakin kesini eksistensi pentagram yang pada awalanya adalah sebagai pesona perlindungan terhadap setan, pentagram atau yang juga dikenal dengan Sigil of Baphomet juga punya makna tersendiri sebagai tanda kejahatan," Daniel mendengarkan penuturan rekannya dengan saksama.
"Waw! Kau terdengar sangat paham akan seluk beluknya," Daniel mulai memincingkan matanya pada Ben yang memang terdengar punya pengetahuan lebih tentang lambah itu, juga anehnya ia menggambarnya sendiri di atas kertas.
"Aku memang cerdas. Pentagram terbalik, dengan dua sudut ke atas seperti ini..." Ben membalikkan kertasnya, "adalah simbol kejahatan dan menarik pasukan yang menyeramkan karena menjungkirbalikkan tatanan yang tepat dari segala suatu dan menunjukkan kemenangan. Ini adalah hawa nafsu kambing yang menyerang langit dengan tanduknya, sebuah tanda untuk melaksanakan sesuatu yang telah dimulai."
Kening Daniel mengkerut, mencerna kata demi kata dalam rangkaian kalimat yang dituturkan rekannya.
"Bagaimana kau tau? Dan kenapa kau menggambar lambang itu?" Selidik Daniel.
"Aku hanya menyukai bentuknya. Dan aku tau karena pernah membaca sedikit," jawab Ben. Lelaki itu menyadari kalau kini Daniel pasti sedang mencurigainya.
"Tenang saja, aku tidak bersekutu dengan setan dan aku bukan penjahat!"
"Mantan mafia itu bukan penjahat, ya?" Sarkas Daniel seraya bangkit dari duduknya, dan melangkah untuk menuju ruang kerjanya di lantai atas.
"Hey, jangan ungkit masa lalu!" Teriak Ben yang tentunya tidak digubris oleh Daniel. Memang, dulunya Ben itu seorang mafia. Dirinya berkecimpung di pasar gelap, jual beli organ tubuh manusia. Ia memanfaatkan wewenang membedah tubuh sebagai ahli forensik untuk mengambil organ-organ pentingnya. Namun, akhirnya Ben memutuskan untuk menghentikan bisnisnya, lalu meminta bantuan pada salah satu dokter kenalannya yang tinggal di Las Vegas agar memudahkan dirinya untuk bekerja di negara yang ia tempati sekarang.
Ponsel Daniel berdering, setelah membaca nama pada layarnya, Daniel segera menggeser simbol telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan tersebut.
"Ya?" Kata Daniel mengawali pembicaraan via suara tersebut.
Setelah mendengarkan penuturan lawan bicaranya, ekspresi Daniel seketika berubah.
"Ini aneh..." Lirihnya. "Aku pun melihat lambang itu pada salah satu kertas milik Ben,"
'Ben?!' pekik si penelepon dengan cukup nyaring, membuat Daniel seketika menjauhkan ponselnya dari pendengarannya.
'm-maaf, maksudmu... Ben rekanmu itu?'
Daniel berdehem sembari mengangguk menanggapi tanya yang di lempar oleh seseorang di seberang sana. Untuk apa mengangguk ya padahal tak terlihat juga oleh lawan bicaranya.
"Dia bertugas disini dan tinggal bersamaku sekarang," jelas Daniel.
"Kembali ke pembicaraan awal. Rekanmu yang... Siapa tadi namanya? Dia mendapat gantungan ransel itu dari mana?"
"Daniel! Daniel!!" Teriak seseorang dari luar ruangannya, tak salah lagi itu suara Ben. Terpaksa Daniel mengakhiri panggilan suaranya lalu menemui rekannya yang berteriak itu.
"Kenapa?" Tanya Daniel dari lantai atas kepada Ben yamg berada di sofa bawah.
"Aku pergi dulu, ya!"
Daniel berdecak, "pergi tinggal pergi tak perlu berteriak!" Sahutnya sembari melangkahkan kaki untuk kembali ke ruang kerja, mengabaikan rekannya yang juga melangkah menuju pintu depan. Daniel mulai menggelar data-data yang diperolehnya, mecocokkannya satu sama lain. Namun, tiba-tiba tanya yang pernah dilontar oleh Ben kembali melintas di pikiran Daniel.
'Jadi... Kau menemukan lambang ini di setiap korban yang kasusnya kau tangani?'
Lantas segera Daniel mengulik kembali berkas kasus-kasusnya yang lalu. Memerhatikan tiap lembaran foto korban. Betapa terkejutnya Daniel ketika hal yang dipertanyakan oleh rekannya itu benar terjadi. Ternyata, pada beberapa kasus ke belakang, memang ada tato temporer yang sama pada bagian tubuh korban. Sial, bisa-bisanya Daniel kecolongan.
"b******k!" Dengan tangan yang terkepal, Daniel menggebrak meja kerjanya yang dipenuhi kertas.
Segera Daniel meraih ponselnya, hanya ada satu nama yang muncul dalam pikiran Daniel disaat-saat seperti ini.
"Willy, bisa kita bertemu sekarang?"
.
.
.
.
.
Seorang lelaki berdiri di sudut jalan, memandang ke arah kantor tim penyidik. Sudah beberapa hari ini ia menyambangi kantor tim penyidik, tapi kakinya tak mampu untuk melangkah masuk ke sana. Ia yanya mampu berdiri berjam-jam di tepi jalan dengan perasaan bimbang, bahkan terkadang sampai larut malam. Ingin rasanya memberanikan diri untuk melangkah kesana dan mengatakan yang sebenarnya. Namun, apa daya? Kakinya terasa begitu berat.
Terlintas sosok yang sempat tertangkap matanya beberapa kali, lelaki yang ia lihat turut memeriksa kejadian di museum, juga sempat mengunjungi kantor tim penyidik. Lelaki itu, lelaki yang menurut informasi yang ia dapat adalah seorang profiler yang andal. Apa ia mesti menemui lelaki itu dan menceritakan semua kepadanya?
.
.
.
.
.
"Lihatlah!" Daniel menjabarkan semua penemuannya ke atas meja kerja Willy. Foto-foto korban dari kasus yang pernah ia tangani, juga foto korban yang ia dapat dari Willy.
"Apa ini semua ada kaitannya?" Tanya Daniel.
Willy bangkit dari duduknya, berjalan mondar-mandir sembari mengetukkan pena pada dagunya.
"Aku yakin ada tujuan dibalik semuanya tapi... Semua korban ini tidak ada korelasinya sama sekali. Aku benar-benar tidak mengerti apa motif si pelaku," tutur Willy.
"Apa kau punya hasil autopsi para korban?" Tanya Daniel.
Willy menggelengkan kepalanya, "hasil autopsi lebih lama keluar, terkendala oleh keterbatasan tenaga forensik."
Benar juga, Daniel pun ikut merasakan kendala tersebut. Beberapa kasus yang pernah ia bantu tangani sempat tersendat akan kendala tersebut.
"Tapi dari kasat mata, pelaku pada kasus yang kutangani ini banyak meninggalkan luka fisik," ucap Willy.
"Apa kau menyimpan foto korban yang lebih spesifik? Mungkin agak sulit tapi akan aku coba intuk identifikasi."
.
.
.
.
.
"Ben! Apa kabar? Silakan masuk!" Sambut seorang lelaki agak berumur yang berbalut jas putih kepada Ben yang baru kali pertama menyambangi laboratorium di negara ini.
"Terima kasih! Ini berkas-berkasku." Seraya mendudukan diri di salah satu kursi yang tersedia disana, mengikuti lelaki tersebut yang sudah duduk lebih dulu.
Lelaki itu menyambut sebuah map yang dijulurkan oleh Ben, kemudian mengeluarkan berkas dari dalamnya dan membolak-balikan memeriksanya sekilas.
"Kemampuanmu tidak bisa diragukan. Aku percaya akan dirimu yang begitu kompeten. Untuk itu, kau bisa mulai besok pagi dengan autopsi, sebab ada beberapa jasad yang sudah mengantre untuk segera dieksekusi!"
Ben menampilkan senyuman sumringahnya, "Terima kasih banyak!" Katanya seraya menjabat tangan lelaki yang menjadi lawan bicaranya itu.
"Ah, iya! Kau mau kopi?" Tawarnya.
Ben menggeleng dan malah bangkit dari duduknya, "Tidak perlu repot-repot, aku harus segera kembali sebab perlu mempersiapkan diri untuk autopsi besok. Permisi!"
"Sayang sekali! Kalau begitu sampai jumpa lagi, Ben! Aku mengandalkanmu."