Pekat

1476 Kata
Ketika langit mulai menyembunyikan semburatnya dan memamerkan kepekatan, saat itulah kejahatan mulai bergerak. Semakin larut, gemerlap casino semakin riuh. Tempat itu memang selalu menjadi tempat pujaan bagi orang-orang yang menguji keberuntungannya. Tak sedikit juga yang sangat terobsesi untuk selalu menang, main kotor jadi pilihan. Yang tak terima, tentu akan melakukan pembalasan. Bukan hanya cuan, tapi nyawa juga ikut jadi taruhan. "Ini pembayarannya. Segera bereskan!" Kata lelaki tua yang sudah oleng terpengaruh oleh alkohol, sebatang rokok terselip di jemarinya. "Jangan meragukanku!" Ucap lelaki lain dengan setelan formalnya. Ia nampak lebih muda dari lelaki yang satu. Setelahnya, lelaki yang lebih muda itu melangkahkan kakinya keluar casino. Begitu ia menempatkan posisinya di kursi pengemudi, lelaki itu tidak langsung melajukan kendaraannya, ia meraih ponsel yang disimpannya di saku celana, mengetikkan sesuatu disana dan mendekatkan layar ponsel pada pendengarannya. "Sekarang!" Ucapnya ketika panggilan suara itu disambut oleh seseorang di seberang sana. Dan seseorang yang menyambut itu ternyata sudah bersiap di mobilnya sendiri. Tanpa ragu lagi begitu mendengar perintah ia langsung tancap gas ke tempat yang tujuan, sebuah gedung tua yang terbengkalai di pinggiran kota. Setelah memarkirkan mobilnya di tanah lapang depan gedung. Ia membuka bagasi belakangnya, ternyata di dalamnya terdapat seorang lelaki yang sudah tak sadarkan diri. Masih mengenakan pakian formal, lelaki yang sudah cukup tua itu tangan dan kakinya terikat, bagian mukutnya ditutup dengan lakban hitam. Tanpa rasa belas kasih, ia menggulingkan lelaki itu hingga terdampar di tanah. Setelahnya ia menyeret hingga ke dalam gedung. Di bagian tengah gedung, lelaki itu kembali di ikatkan pada pilar gedung dengan posisi duduk terkapar, bersinarkan cahaya redup dari lampu yang menggantung di atas. Kemudian ia merendahkan posisinya agar sejajar, mendongakkan wajah lelaki itu dengan ujung jarinya. Memperhatikannya lekat-lekat. "Dari mana aku harus memulai?" Ucapnya sembari mengeluar pisau lipat yang tersimpan di balik jaketnya. Lalu ia mulai menyusuri wajah lelaki itu menggunakan pisau lipatnya. Perlahan ia mulai menggoreskan pipi sebelah kanan lelaki itu. Membiarkan ujung pisau menembus kulitnya, membuat si lelaki tersadar dan meringis kesakitan. Namun, ia masih melanjutkan aktifitasnya yang kerap ia sebut dengan 'melukis'. Dirinya membuat lambang kartu as pada wajah lelaki itu sembali menyeringai di balik penutup wajahnya. Begitu kesadarannya terkumpul, si lelaki membelalakan matanya, berusaha untuk berteriak namun tertahan sebab mulutnya terkunci. Lelaki itu mulai meronta, sementara orang dengan penutup wajah itu hanya terkekeh melihat korbannya sedang berusaha. "Ya... Berusahalah terus! Aku tau kau orang yang gigih! Kau selalu berusaha untuk mendapatkan apa yang kau mau kan? Termasuk memenangkan permainan dengan cara yang licik!" Tuturnya yang kini sudah bangkit dari posisinya semula. Lagi-lagi lelaki itu berusaha untuk mengatakan sesuatu. "Apa? Aku tidak dengar kau bicara apa?" Orang itu malah terkekeh sembari meledek. Ia mengedarkan pandangannya, ada sebuah potongan besi yang sudah berkarat tergeletak di sudut sana. Lantas ia segera meraihnya. Merendahkan kembali posisinya agar sejajar, menarik rambut lelaki itu menggunakan lengan kirinya dengan keras hingga terdongak. Sementara jemari kanannya yang berbalut sarung tangan berwarna hitam, mulai menempati posisi pada leher lelaki itu, dengan perlahan jemarinya mulai mencekik. Semakin lama semakin kencang, membuat lelaki itu membelalakan matanya, saat si lelaki hampir kehabisan napas, ia justru melepaskan jemarinya pada leher lelaki tersebut. Kini ia kembali beralih pada pisau lipatnya, baru saja hendak menggoreskannya lagi pada wajah lelaki itu, ponsel yang berada di saku celananya berdering. "Ah, sial!" Gerutunya yang dengan sangat terpaksa harus menjawab panggilan tersebut. "Baiklah, baiklah! Padahal aku masih ingin bersenang-senang dengannya terlebih dulu!" Ucapnya setelah mendapat perintah lagi dari seseorang di seberang sana. Sembari berbicara melalui telepon, sesekali matanya melirik ke arah lelaki yang napasnya sudah tersengal itu. "Aku tertarik dengan bola matanya, sepertinya bagus kalau kita buat sebagai gantungan!" Penuturannya kepada lawan bicaranya di telepon itu cukup membuat si lelaki bergedik ngeri. "Baiklah! Akan segera kubereskan!" Katanya di akhir pembicaraan. Setelah menyimpan kembali ponselnya, ia mulai mendekatkan diri lagi pada lelaki itu. Mengelus wajahnya dengan perlahan. "Sayang sekali... Kita tak bisa bersenang-senang lebih lama." Lirihnya. Lalu tanpa aba-aba ia mendaratkan pisau lipatnya pada baju bagian kanan si lelaki, membuatnya mengerang kesakitan. "Ah ini merepotkan." Katanya sembari mengelap ujung pisaunya yang sudah ia cabut dan terlumur darah, tak lupa ia juga menyeka percikan darah pada sisi wajahnya. Berikutnya, yang paling utama, ia menancapkan ujung potongan besi berkarat itu pada perut lelaki itu. Kali ini benar-benar membuatnya mengerang dan terkulai lemas, darah yang keluar pun tentunya jauh lebih banyak. Melihat korbannya sudah semakin tak berdaya, ia melepaskan lakban hitam yang mengunci mulutnya. Dengan mata yang setengah terpejam lelaki itu mencoba untuk mengucapkan sepatah kata. Namun, jemari si pelaku lebih dulu mendarat di leher lelaki itu dan mulai mencekiknya lagi. Ia semakin menekannya, lebih kencang, lebih menekan. Membuat napas lelaki itu hanya tinggal di tenggorokan, dan hingga pada akhirnya, ia menyaksikan sendiri sampai napas si lelaki benar-benar habis. Ia kembali mengamati wajah lelaki yang sudah tak bernyawa itu. Sebuah senyuman terukir ketika ia memeriksa bola mata lelaki itu, kemudian ia juga memeriksa deretan gigi yang terjajar rapi. "Sepertinya giginya juga bagus kalau dijadikan hiasan!" Katanya sembari meraih ponsel dari saku celana. "Aku sudah selesai, lanjutkan sisanya!" Ucapnya melalui panggilan suara. "Tunggu! Giginya juga sangat bagus, aku suka! Bisa kau ambilkan satu?" . . . . . "Bisa! Tadi dokter kenalanku bilang, besok aku bisa langsung melakukan autopsi karena memang ada banyak autopsi yang tertunda," kata Ben. "Ya memang selama ini kasus-kasus sering terkendala di autopsi. Semoga dengan dipekerjakannya kau disini, semua bisa membaik," ucap Daniel sembari membuka lemari penyimpanan alkoholnya. "Mau whiskey?" Tawar Daniel. "Aku sedang tidak ingin minum," jawab Ben, "ah, iya. Bisa kau ceritakan detail kasusmu itu? Barangkali aku bisa bantu." Setelah menyajikan sebotol alkohol beserta gelasnya di atas meja makan untuk dirinya sendiri, juga menempatkan diri di kursi yang berhadapan dengan rekannya, Daniel mulai menceritakan apa saja yang terjadi pada kasusnya. Mulai dari kasus yang di museum, sampai kerjasamanya dengan Willy, juga penemuan lambang pada tubuh korban beberapa kasusnya ke belakang. "Willy?" Ben menegakkan posisi duduknya, ia nampak sedikit antusias begitu mendengar nama Willy. "Willy yang..." Daniel berdehem, memotong sekaligus membenarkan pernyataan Ben. "Willy si detektif itu? Dia disini juga?" Daniel hanya mengangguk menanggapi. . . . . . "Kau tidak pulang, Willy?" Merasa namanya disebut pun Willy menoleh. Matanya menangkap sosok yang ia kenal, Tony, rekannya yang baru saja datang lagi ke kantor. "Kau baru kembali?" Tanya Willy kepada Tony yang sedang meletakkan ransel yang dibawanya ke kursi kerjanya. "Istirahatlah, kau belum tidur dari kemarin. Biar aku yang melanjutkan pemeriksaan," ujar Tony sembari memungumpulkan beberapa kemasan sisa makanan juga air mineral ke dalam satu kantong besar. "Ehm, baiklah. Kalau begitu... Aku pulang dulu," kata Willy seraya merapikan meja kerjanya. "Kalau ada apa-apa, hubungi aku atau Mr. D," "Mr. D?" Tony tersentak dan menghentikan aktifitasnya sejenak begitu mendengar rekannya melontarkan nama Mr. D. "Kenapa?" Tanya Willy, kini matanya menatap lurus ke arah mata Tony. "Tidak apa-apa, kenapa aku harus menghubungi dia?" Tony mengalihkan pandangannya dan mengikat kantong besar berisi sampah itu. "Dia bertugas membantu kita untuk mengusut kasus ini," "Oh, ya?" Tony melangkahkan kakinya mendekat ke arah Willy, "Mengapa aku tidak tau?" Willy sempat gelagapan. Sebab memang untuk meminta bantuan kepada seorang profiler andal itu adalah keputusannya sepihak. Willy merasa sudah tidak tau lagi harus bagaimana. "Ah, ya, itu... Itu... Aku berniat segera untuk memberitau kepadamu nanti," Tony menghela napasnya, kemudian ia menggaruk alisnya yang tidak gatal. "Kita tidak akan mampu membayar jasanya, Willy! Jangan main-main dengan Mr. D, dia itu profiler yang sangat andal!" Mendengar kekhawatiran rekannya, Willy menyunggingkan senyuman. "Sebab dia andal maka aku meminta bantuan dia. Masalah p********n, aku bahkan bisa membayar Mr. D hanya dengan secangkir kopi," Willy meletakkan tangan kanannya di pundak kiri Tony. "Apa maksudmu?" "Aku pulang dulu, selamat bekerja!" Willy meraih ranselnya setelah menepuk pundak Tony dua kali. Sementara Tony, lelaki itu masih terpaku pada tempatnya, menatap langkah Willy yang meninggalkan ruangan ini. Tony dikejutkan dengan ponselnya yang berdering di saku celananya. Ia memeriksa layar, panggilan dari nomor tidak kenal. Dengan kening mengkerut Tony pun menjawab panggilan tersebut. "Selamat malam, ada yang bisa kubantu?" Sapa Tony kepada si penelepon. "Apa?!" Pekik Tony begitu ia mendengar penuturan seseorang di seberang sana. "Baik aku segera kesana!" Ketika baru saja ia berlari sampai ke ambang pintu. Dirinya teringat apa yang dikatakan Willy barusan. Kalau ada apa-apa, hubungi aku atau Mr. D. Kemudian Tony meraih kembali ponselnya, menggulir kontak yang ada disana, begitu matanya menangkap nama Willy, jemari Tony terhenti. Ia sempat geming menatap layar ponsel selama beberapa detik. Willy baru saja pulang dan belum istirahat, tak mungkin ia meneleponnya untuk balik lagi. "Ah, sial!" Dengan sangat terpaksa, Tony memutuskan untuk kembali ke meja kerjanya, mencari nomor kontak Mr. D yang entah ia sendiri lupa dari mana bisa mendapatkan itu. Tony mulai mengetikkan angka demi angka pada layar ponselnya, setelah memastikan deretan angka itu sesuai, dengan sedikit keraguan ia mencoba menghubungi nomor yang katanya nomor Mr. D itu. Sesaat setelah Tony menempelkan layar pada pendengarannya, nada sambung pun mulai terdengar. Tony menunggu seseorang menyambut panggilannya dengan harap-harap cemas. Ekspresinya berubah, ketika dirinya mendengar nada yang mengisyaratkan kalau panggilan suaranya berhasil dijawab. "Mr. D? Apa benar ini Mr. D?" Sergah Tony, seseorang di seberang sana hanya berdehem menanggapinya. "Aku Tony, rekan Willy. Kau tau Willy, bukan?" Di sudut yang berbeda, di ruang kerjanya, Daniel menerima telepon dengan acuh tak acuh sembari menenggak segelas whiskey dan mengoperasikan komputernya. Namun, begitu ia mendengar nama Willy, rautnya berubah menjadi serius. "Willy?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN