Matahari baru saja mengintip di balik gelap, wanita berambut ikal itu sudah disibukkan dengan menyiapkan segala sesuatu untuk pergi ke kantor.
"Iya, iya. Aku juga sudah bilang kepada beberapa rekanku agar segera memberitahu jika ada unit yang kosong di sekitar tempat tinggal mereka." Katanya yang tengah berbicara melalui telepon.
Wanita itu mengambil sehelai roti dan mengoleskan selai di atasnya, ponselnya ia jepit di telinga menggunakan bahu.
"Iya, aku mengerti. Aku pasti akan melihatnya dulu bersamamu." Katanya lagi, lalu melahap sepotong roti yang telah diberi olesan selai tersebut.
"Iya, sayang. Ini aku akan segera berangkat." Ucapnya di penghujung panggilan dengan mulut yang penuh dan masih mengunyah.
Setelah panggilan terputus, wanita tersebut segera meraih tas kerjanya dan melangkahkan kaki meninggalkan rumah untuk menuju kantor. Ketika ia sedang berusaha mengunci pintu, tanpa disadari ada seorang lelaki yang tengah memerhatikannya, dari sejak mentari baru terbit lelaki itu sudah berada di bawah pohon yang dikatakan oleh tetangganya kemarin. Benar, itu mantan kekasihnya, lelaki itu tak henti-hentinya menyulam senyum, juga pandangannya tak luput dari wanita berambut ikal yang kini tengah memasuki mobilnya.
Baru saja wanita itu duduk di kursi pengemudi dan mengaitkan sabuk pengaman, ponsel yang disimpannya di dalam tas tiba-tiba saja berdenting.
'Kau sangat cantik.'
Matanya terbalalak tatkala berhasil membaca barisan kata yang menjadi isi pesan singkat tersebut. Lalu untuk yang kedua kalinya, ponselnya kembali berdenting.
'Selalu cantik.'
Berdenting lagi,
'Kau memanc cantik.'
'Kau milikku.'
'Hanya milikku.'
Begitu seterusnya, membuat wanita itu segera melajukan mobilnya secepat mungkin untuk pergi dari sana. Melihat mobil sang mantan kekasih yang melaju dengan kecepatan penuh, lelaki itu malah terkekeh.
"Kau memang selalu memintaku untuk mengejarmu, sayang!"
.
.
.
.
.
Tony menyibakkan gorden kamarnya, kemudian membuka sedikit jendelanya agar bisa menghirup udara pagi yang masih sangat segar. Cuacanya cukup bagus, juga Tony masih memiliki satu jam sebelum dirinya mesti kembali ke kantor. Agaknya berlari di sekitaran tempat tinggal barang sebentar saja tak masalah.
Lelaki itu segera mengganti celana pendek yang dikenakannya dengan celana khusus untuk berolahraga warna hitam, setelah memastikan tali sepatunya sudah benar-benar terikat sempurna. Tony mulai berlari kecil menyusuri jalanan yang ada di depan kediamannya.
Sekali putaran,
Setengah putaran,
Eh tidak, maksudku dua kali putaran.
Dan seterusnya sampai putaran yang kelima, napas Tony mulai terengah. Ia pun memutuskan untuk singgah sejenak di sebuah taman yang memang berjarak tak jauh dari tempat tinggalnya.
Sedang berjalan santai menyusuri taman, netranya menangkap sosok yang sepertinya tidak asing bagi Tony. Seorang wanita berambut pendek tengah terduduk di salah satu bangku taman. Sempat dilema antara menghampiri wanita itu atau tidak, akhirnya Tony memberanikan diri untuk melangkahkan kakinya mendekat ke arah si wanita.
"Kau... Gadis di kedai kopi 'kan?" Sapa Tony. Wanita itu menoleh sembari melemparkan senyuman.
"Dilla, aku Dilla," katanya.
"Ah, iya. Dilla. Kau tinggal di sekitar sini juga?" Tanya Tony berbasa-basi.
Wanita itu hanya mengangguk untuk menanggapinya. Setelah itu hening. Tony tak tahu mesti mengatakan apa lagi.
"Eum... Mau kopi?" Butuh waktu tidak sebentar bagi Tony untuk berpikir sebelum kalimat tawaran itu terlontar. Siapa sangka? Wanita yang mengaku bernama Dilla itu pun akhirnya menyetujui tawaran Tony. Keduanya melangkah dalam kecanggungan menuju ke sebuah kedai kopi di ujung jalan, terutama Tony yang tak berkutik sama sekali. Otaknya sedang dipaksa berputar untuk memikirkan sekiranya topik obrolan apa yang bisa membuat wanita tersebut merasa nyaman berbincang dengan Tony.
"Mau pesan apa?" Tanya Tony.
"Cappucino Ice,"
"Cappucino Ice dan Latte Ice-nya satu, ya!" Kata Tony kepada si barista.
Kemudian keduanya memilih meja di sudut kedai, sangat dekat dengan jendela sehingga bisa menikmati hiruk-pikuk di luar. Lagi-lagi hening yang masih ambil kendali, sesekali Tony melirik ke arah wanita yang ambil posisi duduk berhadapan dengan dirinya, juga Tony kerap menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Maaf sebelumnya, kalau aku perhatikan... Apa kau seorang pendatang?" Tanya Tony berusaha membuka pembicaraan.
"Perimisi, ini pesanannya!" Sela seorang pramusaji yang datang membawa pesanan keduanya.
"Terima kasih!" Ucap Tony ketika pesanannya sudah tersaji di atas meja.
"Iya, aku pendatang," kata Dilla yang akhirnya bersuara.
"Ah, begitu... Sudah berapa lama?" Tanya Tony lagi sembari menyesap Latte Ice pesanannya.
"Belum lama," jawab Dilla yang juga menyesap minuman miliknya.
"Kalu aku boleh tahu... Kau ke sini untuk bekerja atau kuliah? Sepertinya kau terlihat masih muda sekali,"
Dilla tersenyum tersipu dan menundukkan wajahnya yang bersemu merah, "tidak untuk keduanya."
Seketika Tony menatap wanita di hadapannya itu, ini menarik. Ia memilih untuk hidup di negera orang bukan untuk bekerja juga bukan untuk menempuh pendidikan. Lalu untuk apa?
"Aku kesini... Untuk mencari seseorang..." Lirihnya.
"Mencari seseorang? Apa sudah ditemukan?"
Alih-alih mendapat jawaban atas tanya yang dilemparnya, Tony hanya memperoleh sebuah senyum simpul.
"Kau sendiri, apa kau pendatang?" Kini giliran Dilla yang bertanya.
"Sejak lahir aku sudah di sini, tapi orangtuaku bukan berasal dari sini," jelas Tony.
"Ah, tadi kau bilang... Kau ke sini untuk mencari seseorang? Lalu untuk hidup sehari-hari di sini kau bekerja apa?" Tony sepertinya mulai penasaran dengan wanita tersebut.
"Aku belum bekerja," kata Dilla.
Kening Tony mengkerut. Lelaki itu melirik arloji pada tangan kirinya, sial! Ia harus segera ke kantor. Padahal masih banyak yang hendak ia tanyakan, rasanya Tony sangat ingin mengenal lebih jauh wanita bernama Dilla itu.
"Sayang sekali, sepertinya kita harus berpisah di sini. Aku mesti ke kantor, lain kali mungkin pembicaan kita bisa dilanjut lagi!" Ujar Tony seraya bangkit dari duduknya.
"T-tunggu!" Cegah Dilla kala Tony hendak melangkahkan kakinya.
"Namamu..."
"Aku Tony," potong Tony.
"Tony... Bolehkah kita... Bertukar nomor ponsel?" Kata Dilla seraya menyodorkan ponselnya kepada Tony.
Sial. Rasanya perut Tony saat ini sudah dipenuhi oleh kupu-kupu yang menggelitik. Senyuman tak dapat lagi ia sembunyikan. Lantas ia segera meraih ponsel milik Dilla, mengetikkan beberapa digit angka yang menjadi nomor ponselnya. Setelah menamai kontak dengan namanya sendiri, ponsel dikembalikan kepada sang pemilik. Dengan senyuman, Tony pamit dan melangkah meninggalkan Dilla yang masih mengiringi kepergian Tony dengan tatapnya. Bahkan hingga Tony sudah berada di luar kedai, Dilla tersenyum dan detik berikutnya kembali menyesap Cappucino Ice yang dipesannya tadi.
Ponsel yang sudah tersimpan nomor ponsel Tony di dalamnya itu, ia tatap lagi. Dibacanya berkali-kali nama lelaki barusan yang tertera di sana. Namun, tiba-tiba ponselnya kedapatan pesan singkat yang baru saja mendarat. Setelah ia membaca isi pesan tersebut, alih-alih membalasnya ia malah menghubungi nomor tersebut melalui panggilan suara, lantas Dilla segera mendekatkan layar ponsel pada indra pendengarannya.
"Aku segera ke sana!" Ujar Dilla dan segera bangkit dari duduknya, melangkahkan kaki keluar kedai dan segera menuju ke lokasi yang semula dikirimkan.
.
.
.
.
.
"Terima kasih banyak, Pengacara Ry!" Ujar seorang lelaki yang baru saja keluar dari ruang sidang, menjabat tangan lelaki lainnya lagi yang bertugas sebagai pengacaranya.
"Sama-sama, kalau begitu aku permisi dulu, ya! Kalau butuh bantuan, kau bisa hubungi aku lagi." Kata seorang lelaki yang disebut-sebut sebagai pengacara Ry itu. Lantas ia segera melangkahkan kakinya, meninggalkan lelaki yang menjadi klien-nya.
Dalam langkahnya, pengacara Ry sempat melirik sejenak pada ponsel yang berada di genggaman. Detik berikutnya ia menyimpan ponsel di balik saku celana, membenarkan dasi serta menyunggingkan senyum. Langkahnya dipacu semakin cepat tanpa ada keraguan sedikit pun.
Mobil hitamnya yang mempunyai kesan begitu elegan sudah terparkir di halaman depan gedung. Lantas ia segera mengambil posisinya pada kursi pengemudi. Meletakkan tas kerja yang sedari tadi ia jinjing pada kursi penumpang yang berada di belakang. Dan segera melajukan kendaraannya itu membelah jalanan kota.