9. Sembilan

1642 Kata
“Gas,” panggilan yang terdengar sangat lembut. Agas menghentikan langkah saat lengannya digondeli. “Temenin aku disini aja ya.” Pinta Milly. Agas berbalik, menatap wajah gadis cantik yang selalu menggemaskan dimatanya. Sedikit mengulas senyum, lalu ngangguk. Milly pun tersenyum melihat anggukan Agas. Mereka saling berpandangan, lalu mengalihkan pandangan, sampai akhirnya Milly melepaskan genggaman tangannya. Gadis cantik yang rambutnya dibiarkan terurai itu masuk ke kamar, disusul Agas yang hanya berdiri diambang pintu. “Aku tidur dimana?” tanyanya. Milly yang sudah duduk ditepi tempat tidur menepuk kasur empuk sampingnya. “Sini.” Agas menelan ludah. Ada lampu hijau, masa’ nolak? Nggak lah, langsung terkam pokoknya! Berjalan masuk kedalam kamar, menutup pintu sebelum ikutan duduk diatas kasur. Saling diam dengan tubuh yang sedikit mepet, lalu Agas merekatkan duduknya, membuat mereka tanpa jarak. “Mil,” panggilnya tercekat, menahan keinginannya. Milly tak menjawab, hanya sedikit mendongak, menatap suaminya. Tangan Agas terulur mengelus pipi putih Milly. “Aku sayang kamu.” Ungkapnya lirih. Milly tersenyum manis, merem saat melihat Agas yang memiringkan kepala, lalu semakin mendekatkan wajah. Detik kemudian, deru nafas yang terasa sangat hangat menyapu wajah Milly. Bibir yang terkatup itu sedikit terbuka karna kesulitan bernafas. Cuup! Bibir Agas mulai menyentuh bibir soft pink milik Milly. Tak hanya sebentar, tapi cukup lama. Setelahnya, Agas melumat bibir bawah Milly, satu tangannya mendorong pinggang Milly agar semakin mepet ke tubuh. Tak hanya diam, Milly mulai membalas lumatan lembut Agas, untuk sesaat Agas mulai menyusuri setiap sudut mulut Milly, bertukar saliva disana. Rasa yang selalu sama, manis, memabukkan dan membuatnya tak ingin berhenti. Tangan yang ada di wajah Milly itu mulai turun, meraba leher Milly, lalu semakin kebawah. Meremas benda kenyal yang sudah pernah ia rasakan “Eegghh ....” lengkuhan lembut penuh kenikmatan itu lolos dari bibir Milly. Agas melepaskan pagutan, menatap Milly yang terlihat ngos-ngosan dengan bibir basah. Kembali menempelkan bibirnya ke bibir Milly, menuntun gadis itu untuk berbaring diatas kasur. Lalu tangannya kembali bekerja di d**a Milly, meremasnya lembut dan bergantian. Melepas pagutan, tersenyum menatap wajah cantik yang tatapannya sama dengannya. Mulai dipenuhi oleh nafsu. Agas kembali miring, mencium telinga Milly, menjilatnya, membuat Milly kembali mengeluarkan suara desahan yang membuat libidonya semakin memuncak, semakin kebawah, menyesap lekuk leher Milly, menciptakan tanda kepemilikan dileher itu. tangannya mengelus lembut perut tipis Milly, menyibak kaos yang masih menutupi tubuh. Tersenyum saat menatap dua gundukan yang tak begitu besar, tapi sangat menggoda. Mengeluarkan benda itu dari dalam cup, terlihat putiing yang sudah menegang, menandakan jika Milly juga menikmati permainan Agas. Agas memaikan lidahnya disana, lalu menyesapnya pelan. Kembali Milly mendesah dengan mata terpejam. “Kamu suka?” tanya Agas disela kegiatan mereka. Milly membuka mata pelan. Wajahnya bersemu, lalu ngangguk. “Aku selalu menantikan sentuhanmu.” Agas tersenyum, kembali fokus pada kedua benda yang sudah lolos dari bra. Mulutnya bermain disana, satu tangannya menelusur kebawah. Menelusup masuk kedalam celana jeans, meraba yang tak terlihat. Agas melepaskan kesenangan. Menatap bagian bawah Milly, menarik celana yang masih menutupi bagian terpenting yang selalu membayanginya. Setelah celana itu menghilang, masih ada celana warna biru motif bintang seperti saat itu. kening Agas berkerut, apa Milly nggak punya celana yang lain? Tak peduliin celana dalamnya, yang terpenting isinya. Ia menariknya kebawah, hingga terlihat milik Milly yang ada sedikit rumput disekitarnya, cocok buat ngumpet derik. Agas menatap wajah Milly yang tak menolak untuk apa pun yang ia lakukan. “Kamu cantik.” Pujinya, membuat Milly kembali tersenyum malu. Detik kemudian, bibir mereka kembali bertemu, saling melumat lembut. Milly sedikit beringsut saat satu jari Agas mulai menelusup masuk bagian bawah. Lalu melengkuh tertahan kala jari itu mulai bergerak maju mundur disana. Mencengkram seprai kencang saat sesuatu akan keluar dari tubuhnya. Bhuk! “Aaww!” Agas meringis kesakitan saat keningnya mencium kaki meja. Menyipit, mengamati ke sekitar. Segera beranjak dari lantai, menatap ke atas kasur. Tentu mencari keberadaan Milly disana. Tak ada siapa pun, hanya ada lingkaran diseprai dan guling. “Annjing!” umpatnya saat menatap kolornya basah. ** “Bik, seprai yang kemarin udah diambil dari laundry?” tanyanya saat Yuni sedang menyiapkan sarapan pagi. “Di lemari masih ada dua, den. Yang kemarin akan diantar kesini, tapi hari senin. Karna minggu nggak beroperasi.” Jawab Yuni. “Oo.” Respon yang biasa Agas keluarkan. “Seprai nya ketumpahan s**u lagi, den?” Agas terlihat gugup, memasukkan potongan roti dengan cepat ke mulut. “Ya.” Jawabnya menunduk, tak berani mengangkat kepala. Yuni geleng kepala. “Aden kok ceroboh banget, bisa s**u tumpah ke seprai setiap malam. Kenapa minum susunya nggak diruang tamu aja? Kan seprainya nggak bakalan ketumpahan. Paling kalo tumpah ya dilantai. Kalo enggak, aden minum susunya sekali teguk aja, kalo nggak bersisa kan nggak ada yang bakalan tumpah.” Agas masih diam menikmati roti panggang. “Nggak akan tumpah ke seprai kalo ucet udah nemu tempat ngumpet.” “Hah?!” Yuni terlihat bingung dengan jawaban Agas. Agas mendorong kursi, beranjak dari meja makan. Keluar rumah, menatap kesekitar yang sudah terang. Matahari mulai mengeluarkan sorotnya. Mengambil sepeda dari garasi, membenarkan tali sepatu lebih dulu sebelum membawa sepeda itu keluar dari halaman rumah. Melirik rumah depan yang terlihat masih sepi. Mungkin Milly masih bobok. Pikirnya. Menyusuri jalanan kecil menuju ke taman kota. Taman tempat biasa anak-anak muda joging pagi disana. Agas menitipkan sepedanya ditempat penitipan kendaraan, menutup kepala dengan tudung hoddie. Lalu berlari mengitari taman. Setengah jam berlari, Agas berhenti disebuah bangku kecil yang tentu masih kosong. Duduk disana, melepas hoddie, menyisakan baju singlet warna hitam yang menutupi tubuh penuh keringat. Mengatur nafas yang ngos-ngosan karna sangat kelelahan. Matanya memicing saat tanpa sengaja melihat gadis cantik dengan kaos warna pink dan celana joging warna hitam. Rambutnya diikat kuda dengan poni miring yang hampir menutupi mata. Berdesis pelan saat melihat ada lelaki yang bergelar pacar berlari disebelahnya. “Ganteng juga gue. Lengket banget sama dia!” gerutunya lirih. Mengambil botol minum yang ada disebelah, lalu meneguknya. Diam, berusaha cuek, menatap lurus kedepan saat dua manusia itu semakin dekat dengannya. “Eh, Agas. Lo juga disini?” Sapa Milly. Kedua orang itu berhenti berlari. Agas tak bergeming, kembali meneguk minumannya. “Udah lama?” tanya Vero yang sok akrab. Duduk disebelah Agas, dan Milly mengikutinya, duduk mengapit Agas, karna Agas duduk dikursi tengah. Agas menoleh ke kanan kiri. Merasa sedikit tak nyaman, hampir saja beranjak, tapi mengurungkan niat saat pikirannya muncul. “Udah.” Jawabnya singkat. “Betewe, sebulan lagi sekolahan kita akan tanding basket. Kenapa lo nggak pernah ikut tanding? Lo nggak gabung sama tim basket?” tanyanya, lalu meneguk minuman. Agas mengeryit. “Nggak tertarik.” Meluruskan kaki, lalu mengambil handuk yang tersampir dileher, mengelap keringatnya yang hampir menetes. “Masuk kelas aja baru sehari, Ver. Ngapain ikutan tim basket. Dia mah nggak jago.” Sahut Milly yang membuat Agas langsung meliriknya. Mengeratkan gigi karna kesal. Vero tertawa mendengar tanggapan Milly. “Masa’ sih? Pantesan tetangga gue yang katanya satu sekolahan sama kalian baru liat sekali doang. Ternyata ....” menggelengkan kepala dengan kekehan. “Kalo kek gitu, ngapain berangkat ke sekolah coba? Aneh.” Agas menarik nafas dalam, lalu membuangnya kasar. Males untuk menjawab. “Eh, Ver. Ntar jadi mampir, kan?” Milly menatap Vero yang masih memegangi botol minum. Vero tersenyum, lalu ngangguk. “Iya, aku sekalian numpang mandi bisa kan? Mau langsung ke pasar, nyusul ibuk.” Seketika mata Agas melotot mendengar ucapan Vero. “Enggak!” reflek, itu keluar dari mulutnya. Vero dan Milly sama-sama menatap kearah Agas yang suaranya sedikit meninggi tadi. Sementara Agas terlihat salah tingkah. Menggaruk tengkuk, lalu nyengir karna nggak punya alasan apa-apa. “Lo kenapa, Gas?” tanya Milly heran. “Uumm, noting.” Kembali dengan ekspresi seperti biasanya. Beranjak, menyampirkan hoddie kebahu, menenteng botol minumnya. “Gue cabut.” “Gas, bareng aja, kita kan searah.” Vero menghentikan langkah Agas. Tak menjawab, Agas memilih lanjutin jalan. Sementara Vero dan Milly mengekor dibelakang. Wajah Agas sudah tertekuk, cemberut nggak enak dipandang. Menyampirkan hoddie distang sepeda, lalu menyelipkan botol minumnya. Segera memutar sepeda dari tempat parkir. Nggak peduliin dua manusia yang entah ngomongin apa, yang paling terdengar jelas adalah tawa kecil Milly. Dan itu cukup membuat mood Agas hancur. “Yaah, bannya kempes.” Agas menoleh saat mendengar keluhan Vero. Sedikit tersenyum, pura-pura nggak tau, mulai menggoes pelan sepedanya. “Agas, wooi!” teriakan Vero membuatnya menghentikan goesan, sedikit menoleh. “Nitip Milly ya. Biar dia pulang bareng elo. Motor gue bannya kempes.” Pintanya. ‘iissh, dipikir Milly barang apa, asal titip aja. Elo tuh yang harusnya tau diri. Jalan sama bini orang! Bangke!’ umpatnya kesal. Memilih tak menjawab, hanya melirik Milly yang terlihat sangat sedih karna nggak bisa boncengan sama pacarnya. “Ntar aku nyusul, lama kalo harus nungguin dibengkel. Kasihan kamunya.” Dengan lembut Vero mengusap puncak kepala Milly. Milly memaksakan senyum. “Beneran ya. Aku tunggu dirumah.” Vero ngangguk, lalu menatap Agas yang masih menunggu kekasihnya. “Ikut Agas aja ya, biar nggak cape.” “Iya, aku pulang ya.” Milly berjalan pelan meninggalkan Vero yang masih berdiri menatapnya. Milly noleh, tersenyum sambil melambaikan tangan saat sudah ada disamping Agas. “Buru naik! Lama, gue tinggal!” sembur Agas. Milly nabok bahu agas. “Iya, bawel!” berpegangan dikedua bahu Agas, lalu kakinya naik ke besi yang ada di sisi kiri kanan sepeda. Pelan sepeda Agas berayun meninggalkan taman kota. “Gas, lo nanti sore ada waktu luang nggak?” tanyanya dibelakang. “Napa?” “Temenin gue ke pasar malem yah.” Pintanya. Agas mengeryit. ‘Ini Milly lagi ngajakin kencan?’ bibirnya sedikit melengkung keatas, menciptakan sebuah senyuman tipis. “Gue pengen beli hadiah. Kalo disana kan harganya lebih murah dari pada dimall.” Lanjut Milly. Agas memutar bola mata, malas. Tak menjawab, memilih menyepatkan goesannya. “Agas, jan kenceng-kenceng!” Milly yang nggak siap, sempat menjatuhkan tubuh kepunggung Agas, lalu menabok punggung pria itu. “Pegangan yang bener, nggak usah banyak bayangan.” Ucap Agas kesal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN