Pukul 12.30pm
Agas membawa piring kotornya kedapur. Memasukkan kedalam wastafle begitu saja, karna memang biasanya seperti itu. Menuang air putih kedalam gelas bening lalu meneguknya hingga habis.
Tingtung! Tingtung!
Suara bel dipintu depan membuatnya mengeryit, cukup heran. Mengira-ngira siapa yang bertamu di minggu siang. Menarik tissu, lalu mengelap mulut lebih dulu. Berjalan dengan santai untuk membuka pintu.
Diam dengan perasaan yang sedikit nervous. Aliran darah terasa memanas dengan rasa yang aneh. Milly berdiri didepan pintu dengan dress yang menampilkan kedua bahu putihnya. Lalu tahi lalat yang ada dibahu itu terlihat sangat jelas, membuat Agas mengingat setiap malam sial yang selalu membuatnya bassah. Menelan ludah sambil mengalihkan pandangan.
Milly mengulurkan rantang ke Agas. Membuat Agas kembali mengeryit, tak paham.
“Ini gue bagi buat makan siang.” Ucapnya dengan wajah sedikit manyun.
Agas masih diam, tak gegas menerima rantang susun itu.
“Iihh,” kesal karna tak juga mendapat sambutan, Milly menarik tangan Agas, memaksa cowok tampan itu menerima rantangnya. “Gue boleh main di rumah elo?” matanya menelisih isi dalam rumah.
Tak menjawab, Agas nyelonong masuk. Sedangkan Milly tersenyum girang, melangkah masuk kedalam rumah Agas. Matanya meneliti ke setiap sudut rumah. Terlihat jelas dimatanya jika ia kagum dengan barang-barang yang tentu harganya tak murah. Rumah Agas juga sangat rapi.
Tak mempedulikan Milly, Agas menjatuhkan tubuh di sofa, bersandar disana dengan kedua kaki yang menyilang diatas meja. Lalu menyalakan ponsel, masuk ke menu game. Mata natap game, tapi pikirannya tertuju ke Milly yang masih melihat-lihat isi rumah.
Menit berlalu, Milly masih asik melihat akuarium yang hanya berisi tiga ikan saja. Terlihat sangat menikmati pemandangan akuarium itu, sampai dia tertawa sendiri.
Agas melirik rantang berwarna hijau yang dibawa Milly tadi. Membukanya, tersenyum menatap prekedel kentang yang dari wanginya udah cukup menggoda. Walau ia sudah makan, tapi melihat makanan yang dibawakan langsung oleh Milly, membuatnya tetap ingin makan lagi. Terlebih, udah pasti ini yang masak Milly.
Agas meliriknya, tersenyum kecil. Milly, sangat cantik. “Teri,” panggilnya.
Yang merasa dipanggil, menoleh tanpa menjawab.
“Lo udah makan?”
Milly cemberut, berjalan mendekat, lalu mendudukkan p****t tepat disofa samping agas. “Udah kok.”
Agas melirik wanita cantik yang cemberut disampingnya. Huufft, menggemaskan. Menggigit pelan prekedel yang ada ditangannya.
“Vero nggak jadi main ke rumah. Makanya makanannya gue kasih ke elo. Dari pada mubazir, kan.” Lanjutan yang bikin Agas males.
Mulut yang bersiap muji masakan Milly itu menghentikan kunyahan. Melempar sisa gigitannya kedalam rantang, lalu menutupnya.
“Kenapa? Enggak enak ya?” tanya Milly yang melihat Agas melempar makanan.
Agas berdiri, menuang air putih, lalu meneguknya. Enak sih, Cuma ... dia males karna jadi tempat pembuangan setelah Vero nggak jadi datang. Itu bikin moodnya memburuk.
“Enak kok, tadi udah gue icipi.” Milly mengambil prekedel yang lain, lalu menggigitnya. “Kamu nggak suka prekedel?” tanyanya dengan menatap wajah Agas yang tertekuk.
Tak menjawab, Agas kembali mengambil ponsel, duduk disofa yang berbeda, merebahkan tubuh disana dengan kepala berbantal anak sofa kecil.
“Gas,” panggilnya, matanya melirik lantai atas yang sepi. “Lo dirumah Cuma sendirian ya?”
“Hhmm,” jawab Agas tanpa beralih dari ponsel.
“Emang papa sama mama lo, kemana?”
Kali ini Agas melirik Milly dengan kesal. “Kepo!”
“Diih,” Milly hanya manyun, menjatuhkan tubuh kesandaran sofa, mengambil buku paket yang ada disampingnya.
‘Jadi, dia dandan dan pakai baju terbuka kek gitu, buat cowok jelek itu? cckk, dasar! Mata Milly katarak! Gantengan juga gue kan?’ ngedumel dengan sedikit melirik Milly.
“Lo ngapain ke sini?” tanyanya masih tak ramah.
“Suntuk di rumah sendirian.” Jawab Milly yang fokus membaca buku.
“Bukannya udah biasa sendirian di kost?”
Huufft .... terdengar helaan nafas panjang Milly. Lalu cewek cantik itu menatap Agas dengan sendu. “Iya sih, Cuma ... gue biasa bantuin bibik jualan di warung. Atau ngajar les Sayna, kadang juga bantuin tetangga bibik jual pisang. Sekarang ... gue nggak ada kerjaan. Rasanya malah suntuk banget.”
“Bukannya kerjaan lo nungguin rumah ya?”
“Ya kan suntuk juga, Gas. Masa’ gue mau ngepel rumah tiap hari? Sedangkan, gue Cuma pakai kamar sama dapur doang. Eh, kamar mandi juga sih. Jadi ... rumah itu nggak terlalu kotor. Eh, bentar deh. kok lo tau, kalo gue kerja jagain rumah itu?”
Agas sedikit gelagapan, mengalihkan pandangan. Berusaha untuk tetap santai agar Milly tak curiga padanya. “Ya ... tau lah.” Kembali ia menatap layar ponselnya.
Milly hanya manyun, menatap Agas yang terlihat asik sendiri. Lama ia memperhatikan cowok berambut pirang yang memang sangat tampan. Tubuh atletis yang berbalut kaos singlet warna hitam serta celana pendek warna caramel itu terlihat sangat menarik. Tanpa sadar, ia tersenyum sendiri.
Ia ingat yang dikatakan Vero beberapa hari lalu. Fhagas Anggara, cowok populer seantero SMA Arsel. Siapa saja akan mengenal nama itu, terlebih dikalangan pada wanita dan area gamezone. Dia peringkat pertama di gamezone dan selama dua tahun ini belum ada yang mampu mengalahkan reputasi bermainnya. Selain itu, Fhagas Anggara juga berada diurutan sepuluh besar dalam peringkat satu sekolahan. Pernah sekali ia ada diurutan nomor dua puluh besar, setelahnya, ia menetap di peringkat sepuluh. Sialnya, Milly mengetahui semua itu dari Vero—kekasihnya.
Pluuk!
“Aaww!” Milly mengelus kening yang terkena lemparan pensil.
“Liat gue-nya biasa aja. Gue juga nyadar kalo ganteng. Bahkan, cowok lo itu nggak ada seujung kuku dari gue.” Ucap Agas dengan penuh percaya diri.
“Iissh, pede!” kesal Milly. Mulai beranjak dari duduk. “Gue pulang.” Pamitnya, lalu melangkah menuju pintu utama.
Tak mengatakan apa pun, Agas hanya diam menatap kepergian gadis berstatus istri. Menyentak nafas cukup kasar setelah punggung gadis itu tak lagi terlihat. Menatap rantang yang berisi prekedel dan sayuran, ada nasi juga dirantang paling bawah.
**
Agas, Reon dan El sudah berada di club malam. Tentu berada dilantai tiga, tempat biasa yang mereka sewa untuk mengusir kebosanan. Agas diam menikmati El yang bermain bilyar ngelawan Reon. Sesekali ia tertawa mengejek saat El selalu kalah dari Reon. Hingga jam berlalu, mereka memutuskan untuk pulang.
“Sialnya ya, si Milly nggak kejebak.”
“Salah, bukannya nggak kejebak, tapi dia beruntung. Karna ada yang nyelametin disaat yang tepat.”
“Iya, bangke emang. Dia dapat malaikat penolong.”
Obrolan beberapa cewek disamping mobil yang terparkir tak jauh dari motor Agas membuatnya berfikit keras. Melirik tiga cewek yang berdiri dengan baju kekurangan bahan itu. satu cewek berambut panjang itu menyesap rokok, lalu mengepulkan asap pelan.
“Andai aja malam itu Milly berhasil di tiduri Putra, udah pasti vidionya bakal nyebar. Dan beasiswa masuk ke Arsel akan dicabut.” Lanjut cewek yang baru saja mengepulkan asap itu.
Tangan Agas mengepal sempurna, lengkap dengan rahang yang mengeras. Namun ia masih harus menahannya. Nggak mungkin juga ia akan labrak mereka disini.
“Sial banget! Harusnya gue yang masuk sana. Kesempatan emas buat masuk di sekolahan populer lenyap gara-gara nerd itu, huhh!” kesal cewek yang berambut sebahu.
“Kemarin Putra udah ngelacak keberadaan Milly. Katanya Milly udah nggak tinggal dikost jelek itu.”
“Milly pindah?”
“Punya duit dari mana, kok bisa pindah kost?”
“Gas, ayok.” Reon menepuk lengan Agas, membuat Agas sedikit terkejut. Terlalu fokus menyimak obrolan ketiga gadis itu.
Mendengar suara Reon, ketiga gadis itu menoleh. Mata mereka membulat saat tau ada Agas disana. Lalu menutup mulut yang mengaga.
“Astaga, itu bukannya Agas? Dewanya Arsel?” seru salah satu diantaranya.
“Iya, dia denger kita ngomong tadi nggak ya?” ini si rambut panjang yang ngomong.
“Denger ya nggak masalah, kali, Res. Agas mana ada hubungannya sama Milly.”
Tak lagi peduliin obrolan ketiga gadis itu, Agas berlalu bersama kedua temannya. Berjalan beriritan dijalan raya, sampai mereka bertiga harus berpisah karna jalan menuju rumah mereka sudah berbeda.
Obrolan ketiga cewek diclub tadi membuat pikiran Agas tak tenang. Tapi setidaknya, ia sudah membuat Milly lebih nyaman dan tentu aman dengan pindah dari kost sempit itu.
Di atas balkon kamar, Agas menyesap rokoknya dalam. Tatapannya tertuju kearah rumah yang ada tepat didepan rumah yang ia huni. Rumah mini malis milik keluarganya.
Semenjak mama dan papanya pisah, rumah kecil itu tak lagi ada yang menghuni. Bahkan mamanya memilih membangun rumah didepannya agar tak mengingat kenangan bersama sang suami.
Mata Agas memicing saat melihat ada motor matik berhenti didepan rumah yang ditempati Milly. Seorang cowok yang sudah bisa ia pastikan siapa orangnya, merogoh ponsel dari saku jaket, lalu mengusap layar sebentar, menempelkannya ditelinga.
Tak begitu lama, pintu rumah terbuka, memperlihatkan Milly yang keluar dengan baju tidur, rambutnya dibiarkan terurai.
“Jam sembilan lebih. Milly nyuruh Vero main ke rumah? Dan mereka hanya berdua? Anjiing!”
Tak bisa hanya berdiam, Agas bergegas masuk. Turun dari tangga dengan bergesa, lalu keluar dari rumah. Sedikit berlari menuju rumah depan, membuang nafas kasar lebih dulu sebelum melangkah ke teras.
“Jam sembilan lebih, wooi!”
Bibir yang hampir saya mendarat di pipi itu terhenti.