12. Duabelas

1830 Kata
Milly melirik Agas yang malah diam mengusap layar ponsel. Bibirnya sudah maju dengan wajah penuh kesal. Satu tangan menenteng karung, sementara tangan yang lain memainkan sumpit yang biasa dipakai untuk makan mie itu. Berulang kali menarik rumput dengan kedua benda panjang itu, tapi kesulitan. “Cckk,” desisnya kesal. “Pak Rifai emang ngeselin. Mana ada orang narik rumput pakai sumpit. Di kira rumput tuh bentuknya kek bak-mie, apa?” Agas mengangkat kepala, mengamati muka ngomel istrinya itu. Tak menanggapi, dia tetap diam, lalu kembali dengan layar ponsel di tangannya. “Agas!” panggil Milly dengan sedikit berteriak. Hanya mengangkat kepala, menatap wajah kesal disana, tanpa ekspresi. “Lo kan juga di hukum. Malah mainan hape!” Agas tak menanggapi, berdiri, memasukkan hape ke saku celana. Mulai melangkah, mengambil sumpit yang ada di saku baju. Tangannya bergerak, menyumpit satu rumput. “Lho, kok lo bisa sih? Kenapa gue nggak bisa ya?” kagetnya saat Agas bisa dengan mudah mencabut rumput. Agas menyunggingkan senyum. Mentonyor kening Milly. “Bisa lo Cuma ngomel!” Milly mengelus kening bekas tonyoran Agas. “Ngapa-ngapa tuh jan sambil ngomel. Yang ada, otaknya nggak bisa mikir. Adanya omelan terus!” Tak membalas, karna dia kalah. Nyatanya dia bisa melakukan hukuman ini dengan memperhatikan cara Agas. Tangannya mulai bergerak, mempraktekkan apa yang tadi sudah ia lihat. Senyum serta kedua mata berbinar setelah berhasil mencabut satu rumput saja. “Lo ambilin sampahnya aja! Biar hukumannya cepet kelar.” Suruh Agas. Milly diam sebentar, detik kemudian, ia ngangguk setuju. Sedangkan Agas menarik jari-jarinya, terasa sakit japit sumpit terlalu lama. Terlebih di gunakan untuk mencabut tumbuhan. Sial emang! Usai membersihkan taman belakang ruang komputer, kedua anak ini kembali mendapatkan kata mutiara dari pak Rifai. Baru setelah itu, mereka di bebaskan untuk pergi mengikuti pelajaran yang sudah berlangsung selama kurang lebih setengah jam. Agas menarik tangan Milly saat gadis itu hendak melangkah menuju ke kelas. “Beliin minum sana! Haus gue.” Suruhnya, santai. Milly manyun. “Tahan dulu deh hausnya. Pelajarannya tuh—” “Lo kan istri gue, suami kehaus—” Milly berjinjit, membekap mulut Agas, membuat Agas tak melanjutkan kata-katanya. “Nggak usah disebut juga, kan?” ngomongnya lirih dengan kedua mata melotot. Lalu menoleh ke kiri kanan, menatap beberapa adik kelas yang kebetulan lewat. Agas tersenyum dalam hati, seneng tentunya. Tangannya memukul tangan Milly yang masih ada di mulutnya. “Tangan lo bauk, anjir!” Milly manyun, menatap penuh kekesalan ke Agas. Memukul pelan lengan cowok yang ada di sampingnya ini. “Lo ngeselin!” Agas tersenyum kecil. “Yaudah, beliin minum sono. Gue tunggu disini.” Suruhnya lagi, menunjuk kearah kantin dengan dagunya. “Iisshh,” keliatan kalo kesal, tapi tetap menurut. Ia melangkah pergi dari hadapan Agas. Agas memilih menyandarkan tubuh ke tembok samping kelas 11 bahasa, menunggu istrinya yang sedang pergi demi dia yang kehausan. Cckk, sebenernya sih ya biasa aja. Nggak haus banget, tapi … pengen aja lebih lama ngabisin waktu sama Milly. Agas mengulas sedikit senyum saat melihat Milly mulai terlihat di ujung karidor. Ada sebotol air putih dan sebungkus roti di tangan kanannya. Begitu sampai di depan Agas, Milly melemparkan plastik yang ia tenteng itu. Dengan sigap Agas menangkap barang yang sempat mengenai d**a. “Ngasihnya yang sopan, anjiir! Sama suami gitu banget!” Kedua mata Milly kembali melotot, memukul pinggang Agas cukup kencang, membuat yang punya pinggang itu sedikit meringis. “Lo seneng banget sih KDRT ke gue!” “Iya tau, kita udah pernah dinikahin. Tapi nggak usah sebut itu disini!” manyun, keliatan kesal banget sama Agas. Agas memilih membuka botol, lalu meneguk minumannya. Setelahnya, menyerahkan botol yang belum ia tutup itu ke Milly. Tanpa diduga, Milly menerima botol itu, lalu meneguknya hingga habis. Begitu botol kosong, Milly langsung memasukkannya ke dalam tempat sampah yang tak jauh dari mereka. Agas terkekeh kecil, membuka bungkusan roti, lalu menyodorkan roti yang masih utuh itu ke Milly. Lagi, gadis itu membuka mulut, menggigit roti dengan tanpa malu. Cuma liat cewek ini dan segala tingkahnya, rasanya udah kek piknik di puncak. Tangan Agas terulur, mengelap selai coklat yang belepotan di bibir Milly. “Lo nggak sarapan?” tanyanya saat tangannya masih mengusap-usap bibir itu. Beneran nggak ada rasa canggung, Milly menggeleng, menelan yang udah ia kunyah. “Gue bangun kesiangan, jadi nggak sempet sarapan.” Kembali mangap saat Agas menyodorkan lagi rotinya. “Semalam main chat sama si cowok jelek itu?” Nggak terima, kembali Milly nabok perut Agas. “Sembarangan! Dia gan’eng.” Agas mengelus perut bekas tabokan Milly dengan kekegan kecil. “Njirr, itu roti di telan dulu, baru ngomong!” Milly menahan untuk tak tertawa, menutup mulutnya, mengalihkan pandangan karna jadi malu banget. Untung aja makanan di dalam mulut tadi itu nggak nyembur. Begitu makanan tertelan, Milly langsung melangkah menuju tangga. Tak mengatakan apa pun, Agas memasukkan sisa roti bekas gigitan Milly ke mulutnya. Melangkah, mengekor langkah kaki Milly. Ikut masuk ke dalam kelas ketika gadis itu membuka pintu dan masuk. Beberapa pasang mata yang tengah serius mengerjakan tugas, mengangkat kepala. Menatap Agas dan Milly yang baru masuk ke kelas. Dua meja di urutan kedua, sedikit terkejut melihat sahabat mereka baru masuk ke dalam kelas. Tau sih, tadi si Agas memang di hukum. Dan itu karna dia nggak ikut upacara bendera. “El, si Agas naksir itu cewek ya?” bisik Reon setelah menjawil punggung Elmiro. Yang diajakin ngomong sedikit beringsut, menggeser p****t untuk kemudian duduk menghadap samping. Tatapannya tertuju kearah Agas yang udah duduk di kursinya. Seperti biasa, bukannya mengambil buku, tapi malah menjatuhkan kepala ke meja, menatap Milly yang sibuk mengeluarkan buku tulis dan yang lainnya. Elmiro menggeleng, menoleh, menatap Reon yang ternyata juga memperhatikan Agas. “Keknya iya deh. Agas demen sama itu cewek.” “Lo kenal ma tuh cewek?” tanya Reon lagi, tanpa beralih tatap. El menggeleng. “Dia kan murid baru. Pindahan dari sebelah.” Reon menyangga kepala dengan satu tangan. “Pantesan kagak pernah liat. Tapi dia manis sih. Pilihan Agas nggak meleset.” Di pojok kelas, Milly memukul kepala Agas dengan pensil di tangannya. “Ngerjain tugasnya kek, malah ngeliatin gue!” kesalnya, karna Agas hanya diam menatapnya. Kembali hanya mengulas senyum, lalu berpindah posisi. Ia menghadap ke tembok, tersenyum makin lebar, sampai kedua matanya menyipit. Seneng sih, bisa ngobrol dan liat senyuman Milly. Sementara di belakang Agas, Milly melirik ke samping. Tersenyum melihat tubuh Agas dari belakang. ‘Bener kata Vero, Agas memang ganteng. Beruntung memang, bisa sekolah, bahkan sekelas sama Agas. Lebih beruntung lagi, ternyata gue sama Agas itu suami istri. Hihihi ….’ Soraknya dalam hati. Menggigit bibir, menunduk untuk menyembunyikan sesuatu yang baru ia sadari. ** Tepat saat tanda bel pulang berbunyi, Agas mulai mengangkat kepala. Matanya menyipit, menatap ke sampingnya, dimana Milly yang terlihat menatap benda antik di tangan. Hape jadul yang hanya bisa menerima sms dan telpon saja. Bibir gadis itu sedikit mengerucut, terlihat kesal. Agas meraih tas yang ada di samping meja, melingkarkan tas ke tubuh. “Gas, cabut.” Interupsi Elmiro dari tempat duduknya sana. Menatap kedua sahabatnya sejenak, lalu kembali menatap Milly yang terlihat sedang kesal. Tak mengatakan apa pun, ia pun melangkah keluar dari kelas bersama kedua temannya itu. Reon merangkul Agas. “Gas, lo suka sama anak baru itu?” El ikutan merangkul kedua sahabatnya. “Iya, lo naksir dia?” Agas menyunggingkan senyum, menghentikan langkah. Mentonyor kepala keduanya, lalu terkekeh kecil. Segera ia menuruni anak tangga lebih dulu. Reon dan Elmiro saling berpandangan untuk sesaat, lalu ikut tertawa, mengejar langkah kaki Agas. Saling bercanda selama berjalan menuju ke parkiran sekolah. Saling mendorong, sampai Elmiro hampir terjungkal karna tangan jahilnya Agas. Ngobrol sebentar di parkiran, tentu membicarakan hal yang sama sekali nggak penting. Setelahnya, mereka mulai menyalakan mesin motor. Namun, detik kemudian, Agas mematikan mesinnya. Tatapannya tertuju kearah karidor yang agak jauh, dimana Milly baru keluar dari gedung sekolahnya. “Kalian duluan aja.” Suruhnya ke kedua temannya. Reon dan Elmiro hanya tersenyum, membunyikan klakson, lalu melajukan motor, keluar dari halaman sekolah. “Teri!” panggil Agas, sedikit berteriak. Yang merasa di panggil pun menoleh, wajahnya tertekuk, beneran keliatan banget kalo dia lagi badmood. “Nungguin cowok jelek lo itu?” tanyanya, kini memutar kunci motor. Terlihat Milly mendesah kasar, membenarkan tali tas di bahu. Hanya menggeleng, lalu kembali melanjutkan langkah, keluar dari gerbang sekolah. Merasa ada yang aneh, Agas segera menghidupkan mesin motor, lalu menjalankan motor dengan pelan. Berhenti saat ada di samping Milly, melirik gadis itu. “Ikut nggak?” gengsi sih sebenernya, tapi … dirasa perasaan Milly kali ini lagi nggak baik-baik saja. Milly berhenti melangkah, menatap Agas yang diam di atas motor. Nggak ngomong apa-apa, hanya tetap diam menatap wajah tampan lelaki yang sering jahilin dia. “Napa? Kok malah liatin gue kek gitu?” tanya Agas yang jadi kesel karna di liatin terus. Dia pun memilih menatap kearah depan, menghindari tatapan Milly. Kembali, desahan kasar terdengar dari mulut Milly. Gadis itu melangkah, mendudukkan p****t di kursi yang memang ada di trotoar area sekolahan. “Vero marah. Dari semalam dia nggak bales sms.” Curhatnya lirih, tapi tetap mampu di dengar oleh Agas. Melihat wajah sedih istrinya, Agas mematikan mesin motor. Bersedekap, menunggu kata yang mungkin akan keluar dari bibir Milly lagi. “Pasti dia ngambek karna semalam lo ngegangguin kita.” Melirik Agas saat mengucapkan kalimat ini. Tak merasa bersalah sedikit pun, Agas malah menyunggingkan senyum. Mendesah panjang, memainkan jari-jemarinya di tangki motor. Hingga menit berlalu, mereka masih saling diam. Agas memilih mengeluarkan bungkus rokok, lalu menyalakan rokok itu. Merasa kesal, Milly beranjak, melangkah mendekat. “Lo harus jelasin semuanya ke Vero!” ucapnya dengan menepuk kasar bahu Agas. “Aww! Anjiir! Sakit, begoo!” Nggak peduliin Agas yang meringis kesakitan, Milly segera naik ke boncengan. Kembali nabok punggung Agas saat dia sudah duduk dengan nyaman. “Ayok, jalan!” Agas sedikit menoleh, menatap wajah kesalnya Milly. “Jalan kemana?” “Ke SMA Taruna!” “Ogah!” “Agas!” tangannya kembali nabok punggung Agas. “Cckk, apa sih!” “Tanggung jawab dong! Lo yang bikin Vero jadi marah, lo juga yang harus jelasin semuanya ke Vero!” Agas membuang nafas kesal. Menyesap rokoknya, membiarkan kepulan asap itu keluar dari mulut. Wajahnya benar-benar terlihat sangat santai. “Agas!” teriak Milly lagi, cemberut, karna merasa di cuekin. Agas menatap wajah kesal Milly yang berjarak cukup dekat dengannya. Mau berekspresi seperti apa, wajah Milly tetap selalu cantik dan begitu menarik di mata Agas. “Gas!” Agas tak menanggapi, kembali tangannya bergerak, menyelipkan rokok ke bibirnya. Tepat, ketika ia hendak menyesap rokok itu, Milly menariknya, melemparkan rokok itu ke tengah jalan. “Lo—” Tak takut saat Agas terlihat mulai marah. Malah dia mendekatkan wajah, sampai jarak mereka hanya bersisa beberapa senti saja. “Kenapa?” tanyanya dengan santai. Nggak jadi marah. Agas langsung diam, menatap wajah Milly yang sangat dekat. Meneguk ludah sebentar, lalu mengalihkan pandangan. Astaga … kalau aja ini nggak di pinggir jalan, udah pasti itu bibir gue tubruk. Ehh …. “Ok, gue anterin ketemu Vero.”              
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN