Kedua mata Milly melotot melihat Agas yang tetiba muncul di rumahnya. “Agas, lo ngapain disini?”
Vero juga tak kalah terkejut, bahkan jantungnya serasa ingin melompat. Memang dulu sudah pernah mencium pipi Milly, tapi kali ini, dia menyangka jika tertangkap basah oleh salah satu warga kampung, atau malah lebih parahnya, pak kades.
Mengelus dadaa yang benar-benar berdebar. “Gas, lo ngagetin banget, sumpah.”
Milly membuang muka, bibirnya mengerucut dengan kedua tangan yang terlipat di bawah dadaa. Mendongak, melirik Agas yang berdiri bersandar pilar depan rumah. “Ngapain kesini?”
Agas memasukkan kedua tangan ke saku celana, mengalihkan pandangan. Menyentak nafas kasar saat ternyata Vero menatapnya sejak tadi. “itu,” Menuding Vero dengan gerakan kepalanya, “dia ngapain malam-malam kesini?”
Milly menoleh, menatap Vero yang duduk tepat di sampingnya, hampir tanpa jarak. “Vero ngantarin sisa snack yang di buat sama ibuknya.”
Ngangguk dengan wajah yang terlihat begitu santai. “Oh.” Menatap plastik warna putih yang memang ada di meja kecil. “Ngantar snacknya udah selesai, kan? Kenapa belum pulang?”
Milly dan Vero saling tatap, lalu menatap Agas yang masih berdiri di tempat semula. “Gue sama Vero mau ngobrol bentar. Emang kenapa? Kok lo kepo banget sih?”
Agas mencibirkan bibir, makin merasa kesal dengan lelaki yang menjadi pacar istrinya ini. Tersenyum begitu mendapatkan ide. Ia melangkah, menepuk kaki Vero. “Geser!” pintanya.
Yang di suruh, nurut aja. Vero menggeser duduknya, sampai mepet ke pinggir kursi. Lalu Agas mendudukkan pantatnya di tengah kedua orang berstatus pacar ini.
Kedua mata Milly melotot, ia beranjak dari duduknya. “Agas, lo apa-apaan sih?!” kesalnya, bersungut-sungut.
“Nengahin kalian, biar kalian nggak berbuat yang lebih parah.” Jawabnya santai.
Mendengar jawaban Agas, Vero tertawa kecil. “Kalo ada orang pacaran, lalu ada satu orang hadir diantara mereka berdua, itu disebut se-tan.”
Milly ikut tertawa mendengar apa yang dikatakan Vero. “Nah, bener itu. Lo mau jadi setann? Iya?”
Terdengar senta’an nafas kasar dari Agas. “Gue bukan settan. Gue kan nggak bisikin jelek. Jadi … gue itu malaikat.” Terkekeh menang.
Milly dan Vero kembali saling tatap. Sungguh, kali ini mereka merasa sangat kesal dengan cowok yang memang tampan ini. Karna masih ingin saling bicara, akhirnya Milly memilih kembali duduk dikursi panjang itu. Tepat disamping Agas.
“Jadi … minggu depan ya, kalian ke Bandungnya?” tanya Milly, menatap Vero yang berjarak sedikit jauh.
Vero sedikit beringsut, tapi agak susah, karna kursinya cukup sempit. “Iya, semua keluargaku pergi ke Bandung. Acara nikahannya Ranum ada di pondok pesantren sana.”
Milly ngangguk. “Aku pengen ikut sih, tapi … aku belum lama masuk ke sekolah Arsel, jadi … nggak mungkin bisa ijin. Banyak banget pelajaran yang harus aku kejar. Pelajarannya tuh, sedikit beda sama di sekolah kita dulu.”
Vero menggeleng dengan senyuman manis. “Nggak apa. Nanti aku sampaikan salammu ke Ranum.”
Milly pun membalas senyum itu, membuat Agas makin kesal. Ini ceritanya, dia jadi obat nyamuk, kan? Behahah ….
“Besok, kalo kita nikah, kamu maunya dimana?” tanya Vero tiba-tiba.
Reflek Agas menoleh dengan sangat terkejut mendengar pertanyaan yang di lontarkan Vero. Sementara Milly malah tersenyum kesenengan, tatapannya kini menerawang, mungkin ngebayangin pesta pernikahan. Maybe.
‘Dia mendadak gagar otak? Inget, woii. Lo sama gue udah pernah di nikahin, anjiir!’ Agas ngedumel dalam hati.
“Aku mau kita nikahnya di ….”
Cciiuu … door! Door! Door! Fire! Fire! Dor!
Agas fokus dengan ponsel yang kini ia pegang. Sengaja banget mengeraskan volume game yang sedang ia mainkan. Sangat berharap mereka berdua jadi terganggu sama apa yang sudah ia lakukan.
Bhuuk!
“Agas!” kesal Milly, memukul kaki Agas cukup kencang.
Agas menoleh, melirik Milly yang ada disebelahnya. Hanya diam, tak mengatakan apa pun.
“Kecilin suaranya!” suruhnya dengan bibir mengerucut marah.
Terlihat cuek, bahkan jarinya kembali mengusap layar, membuat suara di ponsel kembali berisik.
“Agas! Gue jadi nggak dengar, Vero ngomong apa!” kembali tangannya memukul kaki Agas.
“Berarti lo budeg!” jawabnya ngasal.
Vero yang sadar jika memang Agas sengaja mengganggu moment mereka berdua, memilih beranjak dari duduknya. Wajahnya udah kelihatan tertekuk, dia marah. “Yaudah, Mil. Aku pulang aja, ya.”
Milly pun beranjak, memilin jari jemarinya. “Maaf ya, Ver.”
Vero geleng kepala dengan senyum yang di paksakan. “Besok, kalo mau ketemu, jangan di rumah ini. Ada malaikat palsunya.” Sambil melirik kearah Agas ketika mengatakan ‘malaikat palsu’.
Namun, Agas terlihat begitu tak peduli, dia tak beralih tatap dari ponsel. Tetap memainkan game dengan hati yang bersorak.
**
Senin pagi.
Agas meneguk air putih yang sudah di siapkan oleh bik Yuni, menarik tisu, lalu mengelap mulutnya. Mendorong kursi ke belakang, beranjak dari meja makan. Mengambil tas selempang yang ia taruh di sofa depan teve. Setelahnya, ia melangkah keluar dari rumah. Kedua mata menyipit menatap Milly yang juga keluar dari pintu depan sana. Sesaat, tatapan keduanya beradu. Milly mempoutkan bibir, lalu melepas tatapan, terlihat jika gadis itu sangat kesal dengan Agas.
Gimana nggak kesal coba? Agas dengan sangat sengaja menunggui Milly dan Vero yang pacaran. Duduk di teras bertiga, dia duduk di tengah-tengahnya. Katanya, pengen jadi malaikat, yang nanti akan mengingatkan mereka saat si settan datang untuk membisiki ke-mesuman. Behahah ….
Ya, itu alasan nggak mutunya Agas aja.
“Nebeng nggak?” menawari Milly yang melangkah ke jalan
Milly menyentak nafas kasar, lalu mengalihkan tatapan. “Nggak!”
Agas hanya menyunggingkan senyum. “Oh, baguslah.”
Menyalakan motor, lalu membleyer motor gede itu lebih dulu, sebelum akhirnya ia menjalankan si motor keluar dari halaman rumah. Sengaja banget belum memakai helm, tersenyum saat melihat Milly dari belakang. Dia melambatkan laju motor, membunyikan klakson tepat saat ada di belakang Milly. Membuat gadis itu menoleh dengan mata melotot, kesal tentunya.
“Yakin nggak mau nebeng?” menawari lagi dengan senyuman yang sengaja mau ngegoda Milly. Anggap aja dia mau balikin mood jelek Milly.
Tak menjawab, Milly tetap melanjutkan langkah, pura-pura nggak dengar apa yang di omongin Agas.
“Yaudah.” Agas memakai helmnya, melajukan motor meninggalkan Milly yang sudah sampai di belokan keluar gang.
Tersenyum saat melihat pantulan gadis itu di kaca spion. Udah pasti si Milly nuding Agas sambil mulutnya komat kamit. Ngapain lagi, kalo nggak ngomel?
Agas memarkirkan motor di parkiran siswa seperti biasa. Melepas helm, lalu duduk nongkrong diatas motornya. Diam mengamati setiap siswa yang memasuki gerbang sekolah. Sampai akhirnya Elmiro dan Reon masuk gerbang dengan berboncengan. El yang ada di boncengan Reon menepuk bahu Agas, karna motornya di parkirkan tepat di samping motor Agas.
“Mana motor lo?” tanya Agas dengan melirik kedua temannya.
“Ban bocor, anyiing!” jawab El dengan tersungut-sungut, keliatan kesal.
Agas terkekeh mendengar jawaban itu, berdiri, membenarkan letak tasnya. “Makanya, jangan suka ngatain orang. Ketularan bocornya kan!”
“Behahah ….” Reon tertawa mengingat semalam.
Di mana El yang nyamperin cewek di pinggir jalan sendirian. Dan ternyata cewek itu sedang menunggu pacarnya yang nambalin ban. Di damprat dong. Beruntung banget bisa kabur, jadi wajahnya baik-baik aja, nggak berubah bonyok.
“Gas, ayok.” Seru Reon saat menyadari jika temannya itu tak mengikuti langkah dia dan Elmiro.
Agas menoleh, memasukkan permen karet yang baru saja ia buka, ke mulut. “Duluan aja. Gue masih mau disini.”
Keduanya saling tatap, berbisik, tentu menggunjing kelakuan Agas yang kini beda dari biasanya.
“Yaudah, kita masuk duluan.”
Agas hanya melambai, membiarkan kedua temannya itu melangkah masuk menuju ke kelas, mungkin. Karna mereka bertiga ini memang jarang, bahkan bisa di bilang tak pernah masuk kedalam kelas.
Cukup lama, sampai beberapa kali ia menatap jam yang melingkar di lengan kiri. Lidahnya pun terasa kebas karna berulang kali menyembulkan permen karet. Sepi, sampai gerbang sekolah hampir di tutup oleh pak satpam. Agas bergegas, berlari kearah gerbang.
“Pak, buka dikit ya, jangan di tutup semua.” Pintanya, menyerahkan sebungkus rokok yang belum di buka. Baru beli semalam.
Pak Yudi yang tengah mendorong gerbang, tersenyum setelah menatap rokok yang Agas ulurkan. “Siap, mas.” Patuhnya.
“Nanti kalo ada cewek pakai name teks Ramillya, suruh masuk ya, jangan di catat.” Lanjut Agas.
Pak Yudi mengangkat tangan, seperti tengah hormat pada sangsaka merah putih. “Siap, laksanakan, mas Agas.”
Tak lagi pedulikan Pak Yudi yang mendorong pintu gerbang, ia berbalik, berjalan kembali ke tempat parkir. Menunduk, bersembunyi di antara puluhan motor yang ada disana. Begitu pak Rifai pergi, ia kembali berdiri dengan tangan yang sibuk membenarkan tali tas. Mendudukkan p****t di beton yang menjadi pembatas tempat parkir. Tatapannya benar-benar tak beralih dari gerbang di depan sana.
Sekitar setengah jam, bahkan di lapangan sana, upacara bendera sudah di mulai sejak dua puluh lima menit yang lalu. Gadis manis yang rambutnya di ikat kuda itu menerobos masuk melalui gerbang yang sengaja sedikit di buka. Nafas gadis itu terlihat ngos-ngosan, kek habis lari-larian.
Tanpa menoleh ke mana-mana, Milly berlari memasuki karidor, jalan utama para penghuni sekolahan masuk ke dalam. Melihat gadisnya tak lagi terlihat, Agas mulai beranjak. Melangkah dengan begitu santai mengikuti langkah Milly tadi.
“Tadi nungguin bus lama banget, pak. Terpaksa, saya naik bajaj.” Tutur Milly, udah pasti menjelaskan alasan keterlambatannya.
“Lalu? Kok tetap telat?” tanya pak Rifai dengan kedua tangan yang bertaut di belakang tubuh.
“Bajaj-nya mogok. Makanya saya terpaksa lari sampai sekolah. Liat nih, seragam saya sampai basah karna keringat.” Menunjukkan bagian bawah lengan.
“Eh, eh, eh, kok pede banget, nunjukin ketiaknya. Iya, iya, nggak perlu di tunjukin mana yang basah. Kamu berdiri di sini. Tunggu sampai upacaranya selesai, setelahnya, cabuti rumput yang ada di belakang ruang komputer.”
Milly tersenyum, mengangkat jempol tangan. “Sip, pak. Gampang.”
“Pakai sumpit.” Lanjut pak Rifai.
Kedua mata Milly melotot mendengar lanjutan hukuman itu. “Pak—”
“Heh, Agas!” teriaknya, nggak terlalu keras, takut mengganggu mereka yang sedang fokus mengikuti pengibaran bendera. Tangannya melambai saat melihat Agas yang jalan santai, seakan tak melihatnya. “Kamu kenapa telat datang?” menggeleng saat melihat baju yang memang selalu tak di masukkan, lalu lengan baju yang di lipat, belum lagi kancing baju bagian atas yang sengaja tidak di kancingkan.
Tak menjawab, hanya diam menatap pak Rifai. Sedangkan Milly menatapnya penuh tanya. Agas udah berangkat sekolah lebih dulu darinya, pakai motor pula. Nggak mungkin banget kan, kalo sampai ke sekolahnya telat? Mampir mana dia? Itu yang kini berkeliaran di kepala Milly.
“Berdiri di sini. Tunggu upacara selesai, lalu bersihkan halaman belakang ruang komputer.” Tutur pak Rifai, menjelaskan yang ia maksud ke Agas.
Agas menoleh, melirik Milly yang memperhatikannya sejak tadi. Kembali menatap pak Rifai dengan begitu santai. “Ya.” Jawabnya singkat.
**