6. Enam

1866 Kata
Agas cemberut, menopang dagu dengan tangannya. Duduk memperhatikan Milly yang mengantar kepergian Vero. Ya, hari ini Vero ada jadwal ngajar ngaji dimasjid dekat rumahnya. Selain itu, dia harus membantu ibunya menyelesaikan pesanan snack. Milly kembali duduk dikursi sebelah Agas. Meraih botol minum, lalu meneguknya. Menatap wajah Agas yang terlihat tak enak dipandang. “Agas, lo kenapa? Perasaan dari tadi banyak diem. Sakit gigi?” tanyanya dengan menatap Agas. Udah kesal karna tadi, Agas beranjak, mendorong kursi kebelakang. “Cabut.” Berjalan meninggalkan mini market. Milly ikut beranjak, mengejar langkah Agas. “Gue nebeng.” Pintanya. Agas melirik Milly yang berdiri disampingnya. “Ogah.” Jawabnya singkat, menaiki motor, lalu memutar anak kunci. Lengannya digondeli Milly. “Plliiss, sekali ini aja. Masa’ lo tega, tinggalin istri di mini market?” mengiba dengan wajah dibuat memelas. Lalu mengerjap beberapa kali, berharap belas kasihan suaminya. Agas menyapu wajah Milly, sedikit mendorongnya. “Ketap-ketip kek coro!” Milly tertawa kecil melihat Agas yang sedikit mengulas senyum. Tanpa disuruh, ia naik ke boncengan. Setelah Milly membonceng dengan nyaman, Agas segera menjalankan motor meninggalkan mini market. Sengaja melambatkan laju, tak sebrutal biasanya. Ingin banget nikmati saat-saat seperti ini. Berkali-kali menatap wajah ceria Milly dari kaca spion. Menatap perutnya, berharap ada tangan yang melingkar untuk memeluknya. Sedikit menoleh, tersenyum melihat Milly yang merem menikmati angin yang menerpa wajah. ‘Cantik.’ Gumamnya. Tiba-tiba kedua tangan Milly menyentuh pundaknya. Membuat aliran darahnya memanas, ada yang bergetar didalam hati. “Gas, lo tinggal dimana?” tanyanya. “Jogja.” Mencoba menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba menghampiri. Milly memukul punggungnya. “Iya, tau. Maksud gue, lo tinggalnya di daerah mana? Siapa tau kalo berangkat sekolah lo lewat depan kost gue, kan? Gue bisa nebeng tuh.” Nyengir, memperlihatkan gigi putihnya. “Nggak lewat.” Jawabnya singkat. Menahan tawa saat melihat mulut manyun Milly. “Yaah nggak lewat ya. Kirain lewat gitu.” Mengerucut dengan kekecewaan. Beberapa menit berlalu, motor Agas berhenti didepan gerbang kost Milly. Gadis itu segera turun. Menepuk punggung Agas dengan senyuman manis. “Thanks ya.” Ucapnya kemudian. “Hhmm.” Jawab Agas singkat. “Uumm ... nggak ngajar les?” Milly geleng kepala. “Gue ngajar les seminggu sekali doang kok.” Menatap jam ditangan kirinya. “Setengah jam lagi, gue mau ke warung. Bantuin bibik jualan.” “Oo ... yaudah, gue cabut.” “Iya, hati-hati ya.” “Hhmm.” ** Agas menghentikan motor digarasi rumah. Segera masuk kedalam setelah melepas helm. Merebahkan tubuh kasar kesofa depan teve. Tersenyum mengingat senyuman manis Milly. ‘Keknya kalo gue ajakin dia tinggal dirumah ini asik deh.’ Monolognya. Bangun, menatap ke sekeliling rumah yang selalu saja sama, sepi. Kalo aja ada jangkrik, pasti Cuma suara jangkrik aja yang kedengaran. ‘Kira-kira respon mama gimana ya? Dia bisa nerima Milly nggak?’ Agas geleng kepala, berdesis pelan. ‘Kalo papa, udah bisa gue pastiin bakalan ngomel.’ Menatap jam yang melingkar dilengan kanannya. ‘Mandi ah. Pergi nyari kesibukan.’ Agas bergegas menaiki tangga dan masuk ke kamarnya. ** Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu kamar membuat Milly harus bangun dari atas kasur lantai. Berjalan santai untuk membuka pintu. Tersenyum melihat Hana, bibiknya yang berdiri diluar kamar. “Bik, kok nggak di warung?” tanyanya. “Mil, kamu pindah kamar, ya. Itu kamu pakai kamar yang nomor 15 aja. Soalnya tadi ada yang mau ngontrak, tapi nggak mau kalo dikamar yang nomor 15.” Terang bibiknya. Milly menoleh ke kanan, tepat di kamar nomor 15 yang berada dipaling ujung. Sempit, menyendiri dan dekat dengan kebun pisang. Bulu kuduk Milly langsung berdiri mengingat penghuni kamar itu dulu. Tiap malam selalu dengar suara aneh, bau kembang, belum lagi pas hujan deras, sendirian dipojok sana. Milly menelan ludah, mengusap kedua lengan yang merinding. Tapi kalo nggak tinggal disini, dia mau kemana lagi? Siapa yang mau menampungnya? Mencari kontrakan? Nggak mungkin banget, dia nggak bisa bayar uang sewa. Untuk makan sehari-hari aja hanya roti dua bungkus. “Iya, bik. Aku berkemas dulu.” Jawabnya dengan senyum terpaksa. Hana tersenyum lebar. “Bibik bantu kemasi barang-barangmu ya.” Milly ngangguk, mempersilakan bibiknya masuk kedalam kamar. Mengambil kardus yang ia pakai alas kasur lantai, kasur yang selama ini ia pakai untuk tidur. “Bibik masukin buku-buku aku aja. Biar aku yang beresi baju-baju dan barang lainnya.” Mengambil lakban dan merapatkan kardus itu. “Iya, Mil.” Hana menatap tumpukan buku yang bisa dibilang cukup banyak. “Buku-buku kamu banyak juga ya.” Mulai memasukkan buku paket kedalam kardus. Milly sedikit menoleh. “Semua penting, Bik. Pelajaranku sekarang banyak yang ngulang saat SMP dulu.” Kening Hana berlipat saat sebuah kertas yang dilipat jatuh dari tengah buku paket tebal. Mengambil dan membuka kertas hvs itu. Matanya melotot membaca isi kertas. “Mil, kamu bisa jelaskan ini?” ** Milly menunduk dalam, takut jika bibiknya akan ngamuk, marah dan berakhir mengusirnya. Melirik Hana yang masih membaca isi kertas itu. Ada tanda tangan Milly dan sang mempelai pria. “Mil, bibik seperti nggak asing dengan nama suamimu. Dia sepertinya berasal dari keluarga yang berada. Fhagas Angara.” Memijat pelipis, mencoba mengingat sesuatu yang mengganjal di kepala. “Bik, janji sama milly ya. Jangan cerita ke siapapun. Milly takut kalo dikeluarin dari sekolah.” Pinta Milly lagi. “Kamu tenang aja, bibik nggak akan cerita ke siapa pun. Tapi bibik pengen kenal sama suami kamu.” “Bik, bukannya nikah siri itu nggak sah ya?” Hana ngangguk. “Jadi, sebenarnya aku sama dia nggak ada ikatan apa-apa kan?” “Ya tetap ada, Mil. Kamu sekarang statusnya udah jadi seorang istri, lho. Kamu punya kewajiban.” Milly menggeser b****g agar menghadap lurus ke Bibiknya. “Aku hanya istri siri, Bik. Aku punya kewajiban apa? Bahkan pernikahan kami hanya ada dikertas hvs ini aja.” Hana menggenggam tangan Milly. “Mil, sebenernya Bibik seneng kamu udah punya suami gini.” “Lho ....” “Bentar, bibik belum selesai ngomong.” Menghirup nafas dalam lebih dulu. Lalu kembali menatap Milly lekat. “Setidaknya ada yang jagain kamu, Mil. Kamu nggak hidup sebatang kara lagi. Kamu punya teman hidup. Ada yang berjuang untuk hidup disamping kamu.” Milly menunduk. Ya, memang apa yang dikatakan Hana benar. Hidup sebatang kara seperti sekarang ini tidaklah mudah. Hidup Milly tanpa tujuan, bahkan ia bingung, untuk apa dia selalu bertahan? Siapa yang akan ia bahagiakan? Untuk apa ia belajar mati-matian agar selalu menjadi juara pertama? Tak ada tawa sambutan selamat atas semua keberhasilannya. Milly mengusap mata yang mengembun. “Iya, Bik. Bibik emang bener. Tapi bukan pernikahan seperti ini yang aku inginkan, bik. Aku juga nggak suka sama Agas. Kita kenal juga karna dia nolong aku malam itu. Kalo aja malam itu dia nggak nolong, aku juga nggak akan mengenalnya.” Hana mengelus punggung Milly. “Kamu percaya takdir?” “ ... mungkin takdir mempertemukan kamu sama jodohmu. Caranya seperti ini, Mil.” Nasehat lembut Hana. ** Hari ini Milly nggak bantu Hana jaga warung. Dia sibuk pindah kamar, beberes semuanya. Termasuk membersihkan sarang laba-laba yang hampir memenuhi atap. Beberapa kali menyalakan saklar, tapi lampunya nggak mau nyala. Terpaksa ia harus mengeluarkan uang untuk membeli lampu. Berjalan keluar gerbang berniat untuk membeli lampu. Cukup terkejut melihat Agas yang ada diluar gerbang. “Gas, elo kenapa ada disini?” tanyanya sedikit bingung. “Uumm ....” Agas menggaruk tengkuk, terlihat mencari jawaban yang pas. “Uumm ... mau pinjem buku catatan lo.” Nyengir dengan tangan menuding kearah Milly. “Iya, pinjem buku catatan biologi.” Milly menatap Agas bingung. “Aneh lo ya. Gue kan baru beberapa hari masuk. Catatan mana punya. Elo tu yang harusnya kasih pinjem ke gue.” Agas membuang nafas, memasukkan kedua tangan kesaku celana. “Yaudah kalo nggak ada.” Kembali menaiki motor. Tangannya ditarik saat hendak memasang kunci. “Lo bisa bantuin gue?” Agas menatap Milly tanpa ekspresi. “Apa?” “Pasangin lampu kamar. Lampu kamar mati, gue takut kalo harus gelap-gelapan.” Pintanya memelas. “Hhmm.” “Tunggu sini ya. Gue beli lampu didepan sana dulu.” “Gue anterin aja biar cepet.” “Aelah, nggak ada setengah kilo juga.” Milly bergegas lari menuju warung. Agas tersenyum menatap punggung itu. Sangat bersyukur karna Milly tak curiga dengannya. Sudah lama ia nangkring disamping kostnya. Dia sendiri juga bingung, untuk apa nongkrong didepan kost Milly? “Ayok masuk.” Ajak Milly dengan membawa sebuah lampu yang masih ada didalam wadah. “Motor lo, bawa masuk kedalam aja. Takut ilang kalo Cuma ditaruh diluar gerbang gini.” Tak menjawab, Agas mengekor dengan mendorong motor. Setelah memarkirkan motor ditempat parkir tamu, Agas kembali mengekor langkah Milly. “Teri,” panggilnya sebelum menginjakkan kaki keteras kamar yang akan Milly tempati. Milly noleh. “Kenapa?” “Lo nggak takut bobok dikamar ini?” menatap kesekitar. Ada banyak pohon pisang yang tanpa sekat disebelah kanan kamar Milly. Milly menggaruk tengkuk, duduk dikursi kayu yang ada didepan kamar. “Sebenernya gue takut tidur disini. Tapi ... mau gimana lagi.” “Nyari kost yang lain aja.” Usul Agas. Milly tersenyum canggung, lalu geleng kepala. “Gue nggak ada duit buat bayar sewanya.” Aisshh, ada yang Agas lupakan. Milly ini yatim piatu tanpa warisan dari orang tua. “Uumm, maaf. Gue nggak tau.” Ucapnya menyesal. “Bukannya saat kita tanda tangan itu lo juga baca ya?” Agas ngangguk. “Lupa.” “Yaudah, ayo masuk. Pasangin lampunya.” Ajaknya, membuka pintu kamar yang bagian bawahnya sedikit bolong karna kayunya sudah keropos. Agas nggak tega liat Milly tinggal ditempat seperti ini. Ini lebih mirip tempat untuk uji nyali. Lantai semen, bagian dalamnya kosong. Hanya ada kasur lantai tipis yang tergelar dibawah. Lalu dua kardus s**u formula yang berisi buku, satu kardus berisi baju dan satu tas ransel. Agas membuang nafasnya. Kalau keadaan Milly seperti ini, kenapa di malam itu bisa tampil modis, cantik, dengan dress yang harganya tak murah? “Udah?” tanya Milly saat Agas selesai. “Hhmm.” Kembali mencoba memencet saklar, lampunya langsung nyala. Bibir Milly melengkung, menciptakan sebuah senyuman manis. Menepuk lengan Agas. “Makasih ya. Setidaknya gue masih bisa belajar kalo lampunya terang kek gini.” Agas memasukkan kedua tangan ke saku celana. Masih sibuk menatap tiap sudut kamar yang ... astaga, dia nggak mungkin bisa menyebutnya tempat tinggal. “Gue cabut.” Langsung melangkah keluar kamar, menyisakan Milly yang mulai sibuk mengabsen barang-barangnya. Tak begitu mendengarkan ocehan Milly yang mengucapkan terima kasih dan, entah apa lagi. Segera menaiki motor putihnya, lalu melaju pelan keluar dari kost. Lima menit kemudian, motornya berhenti diwarung makan kecil yang terletak tak jauh dari kost tadi. Agas turun dari motor, menatap warung yang hanya ada tiga orang pengunjung. Turun dari atas motor, menghampiri Hana yang menggoreng tahu. “Eh, mau pesan apa, mas?” tanya Hana ramah. “Bibiknya Milly?” tanyanya tanpa ekspresi. “Hah?!” Hana melongo, tercengung, kaget. Beberapa detik kemudian sadar dengan pertanyaan Agas. “Eh, iya. Ada apa ya?” “Saya Fhagas Anggara.” Memperkenalkan diri hanya dengan berdiri dan tangan yang ada disaku celana. Hana melotot, nggak nyangka suami Milly seganteng ini. Sudah bisa dipastikan jika Agas bukanlah orang susah seperti dirinya. Melihat wajah terkejut dan kagum dari Hana, Agas beringsut. “Saya mau ngomong.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN