Tolong klik tanda lovenya dulu sebelum baca.
--Yuwen*Aqsa--
*
Pukul 11.00pm
Milly terbangun dari tidur dengan sangat terkejut. Ada suara barang jatuh yang terdengar sangat dekat. Di dengar dari suaranya, barang itu seperti batu besar, sampai lantai kamar ikut bergetar. Kemudian disusul seperti suara tangis, sangat dekat.
Milly menelan ludah, beringsut bangun, mepet ketembok. Duduk memeluk kedua lutut sambil menatap kearah pintu kamar. Ada rasa takut yang menghimpit d**a, membuat nafasnya terdengar sangat kasar. Bayangan seorang wanita menggunakan pakaian putih dengan rambut panjang yang terurai memenuhi kepala. Akhirnya hanya bisa menyembunyikan wajah dikedua lutut sambil menutup kepala dengan selimut dari jarik tipis pemberian bibiknya.
Satu jam berlalu, bahkan hampir lebih. Milly merekatkan pendengaran dengan terisak. Diam menahan isakan, keningnya berkerut.
“Sialan! Itu kan suara kucing kawin!” teriaknya frustasi.
**
Pukul 4.30 am
Hari sabtu, sekolah libur, Milly benar-benar terjaga sampai pagi. Suara kucing yang membuatnya ketakutan, ditambah takut dengan bayangan yang muncul dari imajinasinya sendiri. Memutuskan untuk keluar dan mandi, lalu mengganti tidurnya yang semalam.
Tok! Tok! Tok!
Milly yang baru saja habis mandi sedikit terkejut mendengar ada yang mengetuk pintu kamar kostnya. Buru-buru ia mengikat rambutnya acak diatas, lalu membuka pintu kayu yang reot itu.
“Bibik, ada apa?” tanyanya.
Bibiknya tersenyum, terlihat jika wanita paruhbaya itu sedang bahagia. Milly mengeryit heran. Menatap keluar kost. Ada taxi yang baru datang. Lalu sopir taxi itu keluar, menghampiri Hana.
“Mana barang yang mau dibawa, bu?” tanya pak sopir.
Hana mencondongkan kepala masuk kedalam kamar Milly. “Itu, pak. Kardus yang didalam. Sama tasnya.”
“Lho, kenapa, bik?” tanya Milly dengan heran, khawatir, takut.
Hana tersenyum. “Kamu pindah dari sini ya.”
Wajah Milly terlihat ketakutan. “Milly bikin salah apa? Kenapa bibik ngusir Milly?” meraih kedua tangan Hana. “Tolong maafin Milly kalo Milly ngelakuin salah. Tolong tampung Milly, bik. Milly nggak punya siapa-siapa selain bibik.” Matanya berkaca-kaca.
Hana tersenyum lebar, tak menyangkal. Ia pun sangat menyayangi keponakannya ini. Membawa Milly kedalam dekapan. “Bibik nggak usir kamu, Mil. Tapi bibik ngasih kamu tempat tinggal yang lebih pantas.”
Milly melepaskan dekapan Hana. Menatap wajah Hana dengan bingung. “Maksud bibik gimana?”
“Teman bibik pergi ke luar kota. Cukup lama, dan rumahnya itu kosong. Dia butuh seseorang untuk mengurus dan menjaga rumah. Bibik rasa ... kamu lebih baik tinggal disana.” Jelas Hana, masih dengan binar bahagia.
Milly terdiam masih berfikir. “Di mana rumahnya, bik?” tentu memikirkan jarak dengan sekolahnya nanti.
“Nggak begitu jauh sama sekolahmu kok, Mil. Mau kan?”
Milly menoleh, menatap dalam kamar yang memang tak layak huni. Apa lagi ingat semalam yang membuatnya tak tidur sampai pagi.
“Milly ngikut bibik aja.” Jawabnya.
Hana mencium kening Milly. “Semoga kamu betah tinggal disana ya, Mil. Kamu akan digaji. Ini atm kamu, bibik udah bikinin.” Menyerahkan kartu atm berwarna biru, tanpa buku tabungannya.
Milly menerima kartu pemberian Hana. “Aku digaji?” membeo, karna tak percaya dengan apa yang didengar.
Hana ngangguk. “Jaga rumahnya dengan baik, harus betah.”
Milly tersenyum, ngangguk cepat. Berhambur memeluk bibiknya. “Makasih ya, bik.”
“Iya, sama-sama, sayang.” Hana melepaskan pelukan. “Udah, jan nangis lagi. Pergi sana.”
Milly ngangguk. “Aku pergi ya, bik.” Melambaikan tangan dengan senyuman dan mata berkaca-kaca.
Langkah yang berat, sangat tak ingin berpisah dari bibiknya. Orang yang sangat sayang, anggaplah pengganti kedua orang tuannya.
Hana melambaikan tangan saat taxi itu pergi membawa keponakan tersayang. Mengusap kedua mata yang basah. Sejujurnya ia tak mau berpisah dengan Milly. Hidupnya terasa lengkap setelah milly menemani. Putra satu-satunya meninggal bersama dengan suami saat pulang dari sekolah. Kejadian tabrakan beruntun itu membuatnya harus hidup sebatang kara seperti sekarang ini.
“Mil, bibik harap kamu bahagia. Bibik yakin, suamimu sangat menyayangimu.”
**
Taxi wana biru itu berhenti didepan rumah minimalis bercat telur bebek. Ada banyak tanaman didepan rumah. Halamannya sedikit luas, gazebo terletak dipojok halaman.
Milly turun, disusul pak sopir yang langsung membuka bagasi. Masih mengamati rumah yang memang nggak megah, tapi cukup bagus.
“Pak, kita nggak salah rumah, kan?” tanyanya.
“Enggak kok, neng. Memang ini rumahnya. Sesuai sama alamat yang tadi buk Hana kasih.” Si bapak menurunkan semua barang Milly. “Ini kunci rumahnya, neng. Tadi buk Hana nitipin ke saya.”
Milly menerima satu kunci rumah.
“Ayo, saya bantu masukin barang kedalam rumahnya, neng.”
“Iya, pak.”
Milly membuka pintu rumah. Setelahnya ikut memasukkan barang-barang yang memang hanya sedikit. Saat semuanya beres, si bapak pamit pergi untuk nyari penumpang.
Nggak langsung mengemasi barang-barang kedalam kamar. Milly memilih untuk melihat seisi rumah lebih dulu. Kamarnya ada dua, ruangannya pun nggak banyak. Ruang tamu, ruang teve yang gabung dengan ruang makan, disisi kiri ada dua kamar yang bersebelahan, lalu disisi kanan, ada dapur yang gabung dengan kamar mandi dan tempat untuk nyuci baju.
Milly berjalan menuju dapur, ada kulkas yang tentu kosong. Kompornya masih nyala, artinya gasnya masih ada. Lanjut membuka pintu yang menuju kesamping rumah. Sebuah teras dengan dua kursi panjang dan satu meja kecil.
“Ini rumahnya bagus banget.” Pujinya. Membuang nafas dengan senyum kecil. “Semoga aku betah tinggal disini. Setidaknya ini lebih bagus dari nomor 15.”
Menutup kembali pintu samping, dia berjalan untuk melihat kamar yang akan dipakai. Membawa semua barangnya masuk kedalam kamar. Mulai menata dan membersihkan rumah. Termasuk ngepel dan masak air.
Setelah selesai, Milly menjatuhkan tubuh kesofa ruang tamu. Merasa sangat lemas dan lelah. Sudah pukul sembilan, ia lupa belum mengisi perut sejak pagi.
Ting tung! Tingtung!
Spontan, Milly langsung bangun mendengar bunyi bel. Pasalnya, untuk satu tahun lebih ia sudah tak pernah mendengar bunyi bel rumah. Selalu saja pintu kamar kost yang diketuk dengan tangan.
Melangkah, mebuka pintu yang tak jauh dari tempatnya istirahat tadi. Seorang wanita berdiri didepan pintu. Tersenyum dengan rantang ditangan. Lalu membungkukkan sedikit kepala.
“Pagi, mbak.” Sapanya ramah.
“Iya, buk, pagi. Mari, silakan masuk.” Mempersilakan tamunya masuk kedalam.
Mereka duduk diruang tamu dengan bersebelahan. “Kenalkan, mbak. Saya Yuni. Saya kerja dirumah depan.” Menaruh rantang diatas meja. “Ini tadi saya bikin nasi goreng kebanyakan, padahal yang makan Cuma satu orang. Melihat ada penghuni baru, jadi saya inisiatif mau bagiin sarapan. Dari pada mubazir kebuang.”
Mata Milly berbinar, tentu sangat senang. Saat perutnya yang terasa sangat perih, ada yang kirim makan. Beneran ketiban bulan purnama.
“Makasih banget, buk. Kebetulan saya baru aja selesai bersihin rumah. Memang lapar, dan nggak ada makanan.” Mengelus perutnya yang bersuara sejak tadi.
Yuni tersenyum. “Syukur deh. Berarti makanan ini datang saat yang tepat.”
“Eh, iya, nama saya Milly, Buk. Saya masih sekolah SMA. Tapi bibik nyuruh saya jagain rumah ini. Memang ini pemiliknya pergi kemana, buk?” tanya Milly sambil menarik rantang yang dibawa Yuni.
Yuni terlihat bingung. “Uumm, saya kurang tau kalo itu.”
Tak mempedulikan itu. Milly menyantap nasi goreng lengkap dengan telur ceplok diatasnya. “Yaampun, ini enak, buk. Makasih banget yah.”
Yuni kembali tersenyum. “Yaudah, saya permisi ya, mbak. Mau selesaiin pekerjaan yang lainnya.”
“Eh, iya, buk. Nanti saya balikin rantangnya. Kalo makanannya udah habis. Heheh ....” nyengir dengan mulut yang penuh.
“Iya, mbak. Permisi ya.”
“Panggil saya Milly aja, biar kita akrab, buk.”
Yuni tertawa kecil, Milly orangnya supel, gampang banget berinteraksi dengan orang baru. Nggak kek majikannya yang irit ngomong. “Iya, Mil. Saya pulang.”
Milly tersenyum, kembali menyendok makanannya.
**
Agas menatap rumah depan melalui kaca. Hanya berdiri mematung menunggu asisten rumah tangga yang diutusnya tadi. Dadanya berdebar melihat Yuni yang keluar dari dalam rumah dengan tangan kosong. Terbit sedikit senyum dibibir tampannya. Berarti ... Milly nggak nolak pemberiannya kan?
“Yang didepan, mau?” tanyanya saat Yuni sudah kembali masuk kedalam rumah.
Yuni nganggu dengan senyuman. “Langsung dimakan, den. Dia kelaparan.” Tertawa kecil mengingat Milly yang makan dengan lahap. “Dia teman sekolah aden?”
“Hhmm.”
Tak ingin terlihat betapa bahagianya dia, Agas memilih pergi menaiki tangga, masuk kedalam kamarnya. Tertawa kecil, ada segumpal bahagia yang ia rasa, tapi ... entah apa itu.
**
Pukul 2.00pm
Yuni sudah pulang sejak pukul 10 tadi, menyisakan Agas yang sendirian dirumah megah berlantai dua ini. Tiduran diruang tengah dengan ponsel ditangan. Tentu main game.
Tingtung! Tingtung!
Mempause gamenya, mengeryit heran. Karna selama ini nggak pernah ada tamu. Diam untuk beberapa menit, sampai bel berbunyi lagi. Agas meletakkan ponsel diatas meja, berjalan menuju pintu depan.
Deg!
Jantungnya berdebar lebih cepat, hanya bisa mengerjap, lalu berusaha menstabilkan diri. Ada yang terasa ngilu melihat tali bh yang kelihatan dibahu putih itu.
“Agas,” Milly pun sama terkejutnya. Celikukan menatap kedalam. “Ini rumah lo?”
Agas ngangguk, kedua tangan ada didalam saku celana.
“Jadi, yang tadi pagi kasih sarapan itu ... pembantu lo?”
Kepala yang rambutnya sedikit pirang itu kembali ngangguk.
Milly ngangguk, memahami sesuatu. Agas memang berasal dari keluarga yang berada. Menyerahkan rantang ke Agas. “Nih, udah gue cuci. Makasih yah.”
Agas menerima rantangnya. “Hhmm.” Diam berdiri menatap Milly, ada gejolak yang berbeda setiap menatap gadis didepannya ini.
Keduanya sama-sama diam dengan tatapan yang bertemu, lalu beralih tatap untuk beberapa detik. Kemudian menunduk, kembali saling tatap.
“Lo nggak suruh gue masuk?”
Agas menggeleng. “Gue ... ngantuk.”
“Oh, uumm ... yaudah, gue pulang. Eh iya. Sekarang gue tinggal didepan rumah elo.”
“Hhmm.” Tanggapan yang tanpa ekspresi sedikitpun.
Milly nyengir. ‘Tanggapan apa coba?’ gerutunya dalam hati. Lalu melambaikan tangan. “Yaudah, gue pulang. Bey ....”
“Hhmm.”
Glek!
Pintu ditutup cepat. Agas segera berlari menaiki tangga setelah menaruh rantang diatas meja. Langsung masuk ke kamar dan berakhir dikamar mandi.