“Heh!” Agas menendang kursi Milly pelan.
Membuat yang punya kursi melotot, kesal. “Apa sih!” cemberut, sedikit menjauh dari jangkauan kaki Agas.
Agas mengelus tenggorokan. “Beliin minum dong, haus banget nih.” Belagak kek padi yang mati kekeringan.
Milly memutar bola mata, sebal. Kembali fokus dengan buku tulis. Sama sekali nggak peduliin Agas yang terus menatapnya.
“Lo budeg ya!” kembali kaki panjang itu menendang kaki meja.
Milly merem dalam, mereda amarah yang hampir meledak.
Braak!
Kedua tangannya menggebrak meja, menatap Agas dengan sangat kesal. Semua teman yang masih ada didalam kelas menoleh, menatap fokus ke Milly yang sudah terlihat ada dua tanduk kerbau.
“Gue bukan babu lo! Jadi, jan suruh-suruh!” marahnya. Sungguh untuk sekarang ia sedang tak ingin diganggu. Ada banyak pelajaran yang harus ia kejar. Demi tetap bisa terus sekolah sampai lulus.
Agas diam, mengerjap beberapa kali tanpa dosa.
“Cewek gila, untuk pertama kalinya ada yang berani teriakin raja bolos.” Bisikan beberapa teman sekelas.
Agas membuang nafasnya, berdiri, mendekati Milly yang berkacak pinggang menatapnya marah.
“Gue haus, istr—“
“Stoopp!” teriaknya dengan ekspresi khawatir luar biasa. Wajahnya terlihat resah. Menatap Agas dengan sangat kesal. “Iya, gue beliin minum.” Segera melangkah keluar kelas dengan amat sangat kesal.
Agas sedikit tersenyum menatap punggung yang meninggalkan kelas. Teman sekelasnya tak lagi peduli, kembali asik dengan urusan masing-masing. Agas menatap buku tulis Milly yang masih terbuka. Tulisannya rapi, keliatan kalo memang Milly siswi yang rajin.
**
Dengan kesal luar biasa Milly membayar sebotol minuman dingin serta sebungkus roti. Setelahnya meninggalkan kantin, kembali ke kelasnya. Tanpa ngomong apapun, ia letakkan sebotol minum dan sebungkus roti dimeja Agas.
Agas menatapnya tajam, meraih botol itu dan meminumnya. Kembali menatap Milly yang sudah duduk mencatat. Pengen kasih perhatian, pedekate secara normal gitu, tapi kok malu. Akhirnya hanya terus menatap istrinya tanpa kedip.
“Lo ngapain liatin gue?” sewot Milly.
Agas tak menjawab, memilih merebahkan kepala ke meja, kembali menatap wajah serius Milly. Semua dan apapun yang ada di Milly, sangat terlihat menarik dimatanya.
“Eh, teri,” panggilnya.
Milly menoleh, celikukan kekanan kiri. “Lo panggil gue teri?”
Agas ngangguk, membenarkan.
“Gila ya lo! Apanya yang mirip sama ikan teri? Perasaan gue enggak sekerempeng itu.” Menatap tubuhnya yang memang cukup berisi.
Agas tersenyum mengejek. “Iya, elo mah semok, matep banget.” Sahutnya dengan masih menatap Milly.
“Tau gue semok, napa manggil teri! Sedeng!” kesalnya, memukul lengan Agas.
“Yaudah kalo nggak mau dipanggil belakangnya, gue panggil lengkapnya aja. Isteri, ntar—“
Bhuuk!
Tabokan buku paket mendarat dikepala Agas. Mempuat si empunya kepala meringis menahan sakit. “Lo seneng banget main tangan, sih! Herman!” mengelus pelipisnya yang terasa sedikit berdenyut.
“Lo yang bilang mau rahasiain ini. Kenapa malah bikin toa sendiri! Dasar nyebelin!” omelnya lirih.
Agas tersenyum kecil, wajah marahnya terlihat menggemaskan. “Tadi dipanggil teri marah, dipanggil isteri marah, kalo panggil my wife boleh?”
“Agas!” kesalnya. Memberengut dengan tangan yang serasa ingin mencakar wajah Agas yang terkekeh. Sungguh terlihat sangat menyebalkan.
“Uumm ... gue punya panggilan khusus. Anchovy. Ikan teri gue yang katanya semok, gimana? bagus nggak?”
Milly membuang nafas kesal, melirik Agas yang menaik turunkan alisnya. “Serah!” kembali dengan buku paket didepannya.
“Lo liat kan. Ini anak monyet beneran nemu pisangnya. Tumben kan, si monyet nggak mau keluar kelas.” Bisik El yang mengintip dari luar kelas.
Reon geleng kepala. “Kita beneran harus siap-siap jadi murid teladan, nyet.”
“Iya, kalo kek gini nggak ada lagi kata bolos. Apa lagi jadi juara satu di gamezone.” Sahut Elmiro.
“Tamat lah sudah kebebasan kita.” Keluh Reon.
“Yaudah, kita ke perpustakaan aja, yaang.” El merangkul pundak Reon untuk menyeretnya ke perpus.
“Jijik, El!” memilih berjalan menuju gudang untuk merokok.
**
Tet! Tet! Tet!
Bel yang menandakan waktu pulang terdengar sangat nyaring. Milly segera membereskan buku-bukunya. Tanpa peduli dengan sekitar, ia berlari keluar kelas. Menuruni tangga dan kembali berlari menuju gerbang sekolah.
Agas sampai kewalahan mengejar langkah Milly. Mematung didepan gerbang menatap Milly yang tersenyum, naik ke boncengan motor matik warna biru. Lalu motor itu membawanya pergi meninggalkan sekolahan.
Agas membuang nafas kesal, tangannya mengepal. Menunju angin yang tak terlihat. Kembali masuk untuk mengambil motor. Memasang helm dan memutar anak kunci.
“Gue cabut duluan.” Pamitnya pada kedua temannya yang memperhatikannya sejak tadi.
El menepuk pundak Agas. “Lo utang penjelasan, njing!”
“Besok, kalian pasti tau.” Menutup kaca helm, segera melajukan motor meninggalkan area sekolah.
Agas jalanin motor menyusuri jalanan yang menuju kearah kostnya Milly, sesekali melambatkan laju saat melihat motor matik warna biru dengan cewek duduk membonceng. Berhenti disamping gerbang kost, menatap kedalam, sepi. Kost terlihat tak ada penghuninya, pintu kamar Milly pun masih digembok, menandakan jika gadis itu belum pulang.
Agas kembali menjalankan motor ketempat lain yang mungkin akan dikunjungi Milly. Satu yang ia yakini. Pasti cowok dengan seragam sekolah berbeda itu adalah seseorang yang penting untuk Milly. Berhenti saat melihat beberapa anak gelut dijalanan yang cukup sepi. Sementara seorang cewek yang dari tadi memenuhi pikirannya dipegang oleh dua pria. Dan cowok yang membawa Milly dihajar habis-habisan oleh tiga pria.
Agas kembali menjalankan motor, membleyer motornya saat berada diantara mereka. Melakukan atraksi, lalu berputar mengelilingi tiga lelaki yang main keroyokan. Setelah beberapa menit menjadi tontonan, Agas menghentikan motor.
“Banci! Beraninya keroyokan!” teriaknya, lalu turun dari atas motor. “Pulang, pake daster emak aja! Anjinng!” teriaknya kesal.
“Ngebacot lo! Jan sok jagoan!” seru salah satu dari mereka. Putra, si ketua geng. Bahkan dia berasal dari sekolahan yang sama dengan Vero.
Agas melepas helmnya. Senyum menyeringai sambil menatap Putra dan kedua temannya. “Masih ingat gue?”
“Misuaku,” ucap Milly yang nggak bisa didengar oleh siapa pun. Tersenyum saat pandangannya dan Agas bertemu.
Agas mengulurkan tangan untuk membantu Vero berdiri. Mengangkat tubuh Vero saat uluran tangannya mendapatkan sambutan. Wajah Vero sudah babak belur dengan sudut bibir yang mengeluarkan sedikit darah.
“Masih kuat?” tanya Agas.
Vero menatap Agas, sedikit tersenyum, lalu ngangguk. “Gue butuh bantuan elo.”
Tanpa menjawab, Agas hanya sedikit tersenyum. Memasang kuda-kuda, siap adu jotos.
**
Di depan mini market, tiga manusia ini duduk dengan botol minum masing-masing. Agas cemberut, melirik Milly dengan kesal.
‘Mentang-mentang gue nggak bonyok, terus gue dicuekin gitu?’ batinnya kesal.
Dengan penuh perhatian Milly mengusap kening Vero yang memar dengan kapas yang sudah diberi antiseptik. Lalu menutup dengan penutup luka yang tadi sempat mereka beli diapotek terdekat.
“Udah aku kasih obat semua. Semoga besok memarnya udah samar yah.” Ucapnya lembut.
Vero ngangguk, sedikit tersenyum sambil meraba plester yang Milly pasang tadi. “Makasih, Mil.”
Milly tersenyum tulus. Membukakan botol minum Vero. “Nih, minum dulu.” Menyodorkan minuman itu.
Agas tambah kesal melihat dua orang yang kelihatan jika memiliki rasa yang sama. Meminum sebotol minuman dengan cepat. Lalu melempar botol itu ke tong sampah yang tak jauh darinya.
Milly menyodorkan plastik bening berisi obat. “Itu, siku lo luka. Obati gih, biar nggak infeksi.” Suruhnya.
Agas menatapnya kesal, sangat kesal. Sama sekali tak diperhatikan. “Nggak perlu.” Jawabnya jutek.
Milly terlihat tak mempedulikan itu. Ia membuka botol minum, lalu meneguknya.
“Jadi, kalian ini satu kelas?” tanya Vero yang baru tau.
“Hhmm.” Jawaban singkat Agas.
“Aku juga baru tau tadi kalo aku sama dia satu kelas. Soalnya dia kan jarang masuk ke kelas.” Milly mengimbuhi.
“Tapi dia populer lho, Mil. Hampir semua cewek tau Fhagas Anggara.” Vero menatap Agas yang tetap diam.
“Masa’ sih?” Milly mengeryit, sama sekali nggak tau apapun.
Vero terkekeh, mengacak rambut Milly gemas. “Kamu terlalu kutu buku sih. Sampai nggak tau kalo ada cowok cakep yang sangat populer.”
Milly tersenyum malu, kembali meminum minumannya. “Iya, ya. Hampir tiap hari aku jadi penunggu perpustakaan.”
“Itu yang bikin aku selalu sayang kamu. Kamu tuh beda.” Sahut Vero.
Agas mentap langit cerah yang terlihat mendung dimatanya. Beranjak dari duduknya, berjalan masuk lagi ke mini market.
“Gas, lo mau beli apa lagi?” tanya Vero sok peduli.
Sedikit menoleh. “Nyari AC.”
“Orang disini semilir kok. Anginnya sedikit kenceng. Ngapain nyari AC coba?” gerutu Milly yang tak paham.
Vero mengedikkan kedua bahu. “Mungkin mau beli AC buat dipasang dirumahnya.”