Manusia hanya bisa merencanakan, berusaha, dan hasilnya memang tak selalu seperti apa yang kita harapkan.
Milly menatap pantulannya dicermin. Membuang nafas kasar saat melihat ada lingkaran hitam dimata. Benar-benar tak bisa tidur nyenyak, otaknya terus saja memikirkan hubungannya dengan Vero. Lalu dia yang semalam sudah sah menjadi seorang istri Fhagas Anggara.
Memasukkan kembali kaca kecil itu kedalam pouch berwarna merah. Meraih sebungkus roti, membuka kemasannya dan menggigit roti itu. Menunduk merenungi nasibnya yang selalu tak mujur.
Di usianya yang ke 17 tahun, Milly sudah harus kehilangan kedua orang tuanya. Mereka menjadi korban jatuhnya pesawat Sriwijaya air. Setelahnya disusul rumah megah yang disita bank dan usaha papanya bangkrut.
Matanya berair mengingat betapa sempurna hidupnya dulu. Sekarang, bersisa ia sendiri yang harus berjuang untuk tetap hidup normal. Hana (bibinya), membawanya untuk tinggal di kontrakan yang sekarang ia huni. Kontrakan milik Hana.
Walau memang kontrakan ini milik bibinya, bukan berarti ia harus leha-leha tak bekerja, kan? Dia juga butuh makan, butuh beli buku dan yang lainnya. Untuk sekolah, Milly masuk dijalur beasiswa sejak awal. Karna sangat berprestasi, tahun ajaran baru ini ia dipindahkan kesekolahan yang lebih berkelas dari sekolahannya yang lama. Terbukti dengan seluruh muridnya yang berasal dari keluarga berada. Hanya Milly mungkin yang benar-benar miskin.
Mengunci pintu kamar sebelum berangkat ke sekolah. Menenteng buku paket yang cukup tebal, lalu berjalan keluar dari gerbang.
“Eh, keju!” latah saat sesuatu membuatnya terkejut. Milly mengerjap lucu. Menatap cowok tampan yang berdiri disamping gerbang dengan seragam yang sama seperti yang ia pakai.
“Elo ....” memejamkan mata dalam, kali ini dia benar-benar lupa siapa nama cowok tampan ini. “Aiish, gue lupa, nama elo siapa? Yang gue ingat, elo suami gue.” Lalu membuang nafas lesu.
Agas tertawa kecil, gemas melihat Milly yang seperti ini. O’onnya keliatan menarik.
“Ngapain lo disini?” tanyanya, menatap Agas tak ramah.
Agas tersenyum manis, membuat Milly merasa gugup. “Lo murid baru di Asrel?”
Milly ngangguk. “Iya.”
“Kelas berapa?” tanyanya lagi, tak beralih pandang dari wajah cantik didepannya.
“Kelas 12.”
Aggas mengeryit. “Masa’? bukannya kemarin lo baris di kelas 11 ya?”
Milly tertawa kecil. “Kemarin gue salah masuk kelas.” Menggaruk keningnya yang tak gatal.
Aggas ngangguk. “Masuk jurusan apa?”
“Gue kelas IPA2.”
Mata Aggas melotot, sangat terkejut. ‘Jadi, kita sekelas?’ batinnya. “Uumm ... yaudah, Cuma nanya aja. Hati-hati berangkatnya. Gue duluan.” Naik keatas motor, lalu melaju meninggalkan Milly yang masih bengong menatapnya.
“Beneran bikin telat sekolah ya! Hiihh, dasar ngeselin!”
**
Agas terlihat lebih ceria dari biasanya. Membenarkan rambut di kaca spion sebelum turun dari atas motor.
“Semalam nggak mimpi banjir lagi?” tanya Reon yang sudah menatap heran sejak Agas datang tadi.
Agas hanya melirik sahabatnya itu sekilas. “Masih.” Jawabnya singkat.
El mengeryit heran. “Nemu wewe dijalan?” tebaknya.
Agas tak menjawab, hanya mentonyor kepala El dengan kekehan kecil.
“Eh, kemarin gue ketemu Genata.” Seru El tiba-tiba. Reon dan Agas menyimak serius. “Gue berusaha mati-matian nggak peduliin dia, eh dianya malah nyapa. Anyiing, mop on gue gagal.” Memukul tangki motor, memperlihatkan betapa ngenes hidupnya.
Kedua sahabatnya tertawa melihat kacaunya Elmiro kastriwa Xavien karna terlalu cinta dengan seorang wanita.
“Jujur, El. Udah berapa kali lo niduri Gena?” tanya Reon sedikit berbisik. Sementara Agas hanya diam menyimak. Ya, dia memang paling pendiam diantara teman-tamannya.
Terlihat wajah kesal Elmiro mengingat wanita yang baginya paling cantik. “Nggak keitung.” Jawabnya lemah.
Cepat Reon menggeplak bahu Elmiro. “Seriusan lo?!” sedikit berteriak, membuat El membungkam toa Reon.
“Nggak usah kenceng-kenceng, taii!”
“Gue terkejut, anying!” Reon menepis tangan El dari mulutnya. “Tangan lo bau, bangke! Abis cebok pasti.”
“Sembarangan! Ini udah cuci pakai hand sanitizer!” mentonyor kepala Reon.
Reon terkekeh melihat sahabatnya kesal. “El, gimana rasanya enaena?” bisiknya, yang masih mampu didengar Agas.
El ngangguk cepat. “Ah, lo bikin gue ingat, kamvret emang!” mendorong pelan lengan Reon.
“Gue penasaran, anying! Si Agas diem gitu aselinya juga ngampet. Ya, kan?” menatap Agas yang menatap serius sejak tadi.
“Bangsad!” umpatnya kesal.
Agas memilih turun dari motor, mendekati satpam yang menutup pintu gerbang. Lalu menatap jam ditangan kirinya. Berkali-kali menatap luar sekolah, menanti kedatangan Milly sejak tadi. Hampir tiga puluh menit, tapi gadis cantik yang sudah sah menjadi istrinya itu tak kunjung datang.
‘Apa dia nggak dapat bus ya?’ batinnya mulai khawatir.
Matanya berbinar saat melihat bus berhenti didepan sekolah, lalu seorang siswi turun, berlari menuju gerbang yang hampir ditutup keseluruhan.
“Bentar, pak. Biar dia masuk.” Pinta Agas pada pak Parto.
Pak Parto menatap keluar sekolahan. “Aiissh, kamu kan murid baru, baru dua hari masuk, kok udah telat.”
“Haah ... haaah ....” Milly ngos ngosan, membungkuk, kedua tangan bertumpu pada lututnya. “Maaf, pak. Saya tadi ketinggalan bus pertama.” Lalu menatap Agas yang berdiri dengan kedua tangan disaku celana, tentu sambil menatapnya tanpa ekspresi. “Elo tuh, ke kost, nanya nggak penting juga! Bikin telat.” Omelnya.
Tet! Tet! Tet!
Bel tanda masuk benar-benar telah berbunyi. Nggak peduliin Agas yang terus menatapnya. Milly segera berlari menuju kelas.
Agas tersenyum tipis, membenarkan tali tas. Berjalan santai menyusul langkah Milly. Kedua temannya berlari mengejar langkah Agas, merangkul pundak Agas, tapi segera ditepis kasar karna Agas merasa risih.
“Bentar deh, ini bukannya jalan kearah kelas ya? Bukan rooftop atau gamezone.” El mengeryit menyadari sesuatu. Menarik lengan Agas hingga langkah kaki cowok tampan itu terhenti.
“Iya, Gas. Ini kita mau ke kelas?” Reon nimbrung.
“Hhmm.” Jawaban Agas santai, kembali melangkah. Namun lengannya ditarik lagi oleh Reon.
“Eh, jujur deh. Lo kenapa? Kenapa mau masuk kelas?” tanya Reon yang mulai merasa aneh.
“Kita udah kelas tiga. Waktunya serius buat ngejar masa depan.” Menepuk pundak kedua sahabatnya, kembali menaiki tangga, karna kelas mereka ada dilantai dua.
“El, lo ngerasa mau kiamat nggak si?” Reon merangkul pundak Elmiro.
El ngangguk. “Keknya si anak monyet mulai kehabisan stok s****a deh. Makanya tobat.”
“Bacot lo, El. Nggak pakai closap.” Menjitak kepala Elmiro, dan berlari mengejar langkah Agas.
“Anying! Main jitak aja si kamvret! Tungguin, wooi!” ikut berlari mengejar kedua temannya itu.
**
Berdiri didepan pintu kelas yang sudah tertutup. Karna memang setiap pelajaran dimulai, pintu kelas selalu tertutup rapat. Setelah memantapkan hati, Agas membuka pintu, kembali memasukkan kedua tangan ke saku celana. Lalu melangkah masuk kedalam kelas.
Semua mata tertuju kearahnya, tak terkecuali Pak Zainal yang sedang mengajar didepan kelas.
“Waahh, tumben Agas masuk kelas.”
“Astaga, lama nggak liat, Agas tambah ganteng.”
“Ada apa, kok raja ngebo masuk kelas.”
“Kiamat udah dekat gaes, ada raja bolos masuk kelas.”
Riuh suara teman sekelas karna kehadiran Agas dan kedua temannya. Tak peduliin itu, Agas duduk dimeja paling belakang dekat tembok. Karna sekolahan ini menyediakan satu siswa satu meja, maka El dan Reon duduk terpisah dengan Agas.
Agas menyandarkan tubuh ketembok, menatap Milly yang ternyata duduk tepat disampingnya. Tatapan Milly masih terarah pada Agas. Dia sendiri nggak nyangka jika ternyata teman satu kelas.
“Sudah-sudah, sekarang kita lanjutin lagi pelajarannya. Agas, El, Reon, kalian jangan bikin ribut. Tidur aja kalo males ikuti pelajaran.” Seru pak Zainal dari depan.
“Aela, baru juga naruh p****t udah suruh merem. p***s-taan deh bapak.” Balas Reon, bergaya korban yang teraniaya.
Pak Zainal hanya geleng kepala, tak mempermasalahkan itu, ia kembali menerangkan pelajaran.
Milly sedikit mencondongkan kepala. “Eh, elo nggak salah masuk kelas?” bisiknya.
Agas sedikit tersenyum, lalu geleng kepala. Menempelkan kepala diatas meja sambil menatap Milly yang masih terlihat syok karna berada satu kelas dengan suaminya.
“Kerjakan latihan soalnya, satu jam lagi saya kesini.” Pak Zainal menutup buku, berjalan keluar pintu, lalu kembali menutup pintu.
Agas diam menatap keseriusan Milly mengerjakan soal. Menatap bibir Milly dari samping, membuatnya ingat akan ciuman dalam mimpi disetiap malam. Lalu rambut hitam lurus itu, suara desahan dan ... telinga Milly saat ia mengulumnya lembut.
Agas pindah posisi, menatap kearah tembok dan merem.
‘s**t! Pikiran gue m***m terus!’ gerutunya dalam hati.